
Tahkimusy Syariah, Tujuan Perjuangan Pahlawan
MUSTANIR.net – Selama 350 tahun lamanya, dari generasi ke generasi, perjuangan melawan penjajah terus dilakukan.
Dari ujung barat, Aceh dan ujung timur Ternate darah syuhada membasahi bumi Indonesia. Demikian fakta dan data tentang sejarah Perang Sabil yang dilakukan oleh umat Islam.
Mereka berjuang dengan penuh heroik yang tak kenal takut. Bahkan ingin mati syahid di medan pertempuran. Dengan semboyan “hidup mulia atau mati syahid”, umat Islam berperang tak mengenal lelah dan menyerah.
Sebaliknya Perang Salib yang dilakukan oleh penjajah Portugis dan Belanda–Kristen, mereka licik, kejam, sadis bagaikan Iblis yang buas. Sehingga menyebabkan bangsa Indonesia 350 tahun hidup melarat lagi sengsara, bodoh terhina sebagai bangsa terjajah. [Abdul Qodir Jaelani, Perang Sabil versus Perang Salib, Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda]
Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia itu merupakan sebuah musibah. Datangnya Portugis dan Belanda ke Indonesia, selain untuk menjajah juga untuk mengkristenkan umat Islam Indonesia.
Kedua tujuan itu dilaksanakan dalam ruang lingkup Perang Salib yang tidak pernah padam dalam dada umat Kristen Barat.
Padahal di Indonesia sendiri sudah berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang telah melaksanakan syariat Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan itu tidak tiba-tiba dan mendadak. Tetapi merupakan hasil dakwah yang telah berjalan cukup lama.
Sebuah kerajaan disebut kerajaan Islam bukan hanya karena raja dan rakyatnya beragama Islam. Tetapi kerajaan itu berubah yang menjalankan hukum dan peraturan Islam meski belum sempurna. Demikianlah yang terjadi pada kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Perjuangan Muslim
Penjajahan di Indonesia tidaklah berlangsung dengan mulus tanpa perlawanan. Bangsa muslim yang memiliki kehormatan dan harga diri ini tidak henti-hentinya melawan. Konfrontasi umat Islam dengan penjajahnya tidak terjadi di Jawa dan Sumatera saja.
Namun juga terjadi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Perang Sabil itu dikenal dengan nama Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Padri, Perang Banjar, Perang Banten, Perang Makassar dan Perang Maluku.
Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulis sendiri di penjara Manado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi untuk agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo.
Dalam sebuah perjanjian dengan Belanda, Jenderal De Kock menanyakan tujuan Diponegoro melancarkan perang Jawa selama 5 tahun ini. Akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan pengatur agama Islam di pulau Jawa.”
Mendengar jawaban ini De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Ketika De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Karena perundingan menemui jalan buntu dan kegagalan. Belanda melakukan pengkhianatan dengan menangkap Pangeran Diponegoro. Diponegoro mengatakan, “Tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan gagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi, “Jika Tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab, “Apabila Tuan perwira dan jantan, mengapa Tuan takut berperang?”
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah tegak dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian besar berideologi Islam dan tujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam.
Di samping terjadi perang Jawa, juga terjadi perang Padri. Perlawanan kaum Padri merupakan sebutan Belanda bagi para ulama yang membawa ajaran permunian Islam di Sumatera (1821-1837 M).
Para ulama yang memimpin antara lain Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao, Tuanku nan Renceh, Haji Miskin dan Haji Sumanang. Mereka tokoh-tokoh yang berhaji ke Mekah dan kemudian pulang membawa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Perang Padri merupakan peperangan yang meninggalkan kenangan heroik sekaligus usaha penegakan syariat Islam di ranah Minang.
Pada awalnya, timbullah kekurangan ini didasari oleh adanya keinginan para ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan manhaj salaf.
Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar adalah salah satu usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna dapat menjalankan syariat Islam dengan utuh dan murni.
Umat Islam Sumatera Barat dengan kaum Padrinya mempunyai tujuan politik yang sama, yaitu berdirinya suatu negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekuen. Dengan kata lain, perjuangan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu: berdirinya negara Islam.
Di Kalimantan terjadi Perang Banjar, gambaran singkat perang ini. Perang ini dipimpin Pangeran Antasari, sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir 1905, terlihat jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam.
Semboyan mereka “hidup untuk Allah dan mati untuk Allah” dengan jalan perang Sabil targetnya adalah berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain, Perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.
Perjuangan Belum Berakhir
Jalan perjuangan penegakan syariat Islam masih panjang. Menurut Cholil Ridwan, Indonesia sekarang ini belum final, tetapi masih semi final. Finalnya nanti kalau syariat Islam bisa tegak di Indonesia. [KH Ahmad Cholil Ridwan, Tabligh Akbar Politik Islam di Masjid al-Azhar]
Berdirinya Indonesia tidak bisa lepas dari jasa umat Islam. Namun dengan hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, ini merupakan bagian dari makar musuh. Umat Islam ini yang berjuang tetapi kaum sekuler yang memetiknya.
Mata rantai perjuangan penegakan syariat terus berjalan. Sebagai bangsa yang besar seharusnya menghargai jasa para pahlawannya.
Melanjutkan tujuan perjuangannya bagaimana syariat Islam bisa juga merupakan sebuah kewajiban. Indonesia ini yang menciptakan adalah Allah, bumi ini adalah bumi Allah. Oleh karena itu sudah selayaknya diatur dengan aturan Allah yaitu dengan syariat Islam. []
Sumber: Abu Mazaya