
Perang AI AS-Cina, Umat Islam Harus Mendapatkan Posisinya dengan Mengembalikan Khilafah
MUSTANIR.net – The Wall Street Journal melaporkan (17-2-2025), DeepSeek tidak menurunkan adanya peningkatan laba bersih Nvidia Corporation sebesar 2,63%. Ini menjadi prospek (yang baik) untuk tahun yang sukses. Namun, harapan yang lebih realistis dapat menghasilkan berbagai keuntungan bagi perusahaan raksasa AI (kecerdasan buatan) tersebut saat mengarungi jalan sulit di depannya.
Kepanikan yang dipicu oleh pengungkapan perusahaan rintisan AI Cina bulan lalu membuat Nvidia kehilangan kapitalisasi pasar hampir $750 miliar hanya dalam waktu sepekan. Sejak saat itu, sahamnya telah pulih, tetapi masih turun sekitar 6% pada penutupan hari Jumat (14-2-2025) dibandingkan dengan kinerja Nasdaq yang datar selama periode yang sama.
Posisi Kita
Menurut aktivis muslim Pakistan Zakariyah Imran, kebangkitan Amerika dan Cina dalam bidang teknologi telah menjadi sorotan terkait peran penting negara dalam mendorong inovasi dan kemajuan. “Sebagai umat Islam, kita harus mendobrak status quo dan mendapatkan kembali posisi kita yang selayaknya di garis depan kemajuan teknologi dengan mendirikan kembali negara Islam Khilafah Islamiah. Adalah tugas kita untuk memimpin dunia dalam segala bidang,” ujarnya kepada Kantor Berita ideologis internasional, Sabtu (22-2-2025).
Ia mengutip firman Allah subḥānahu wa taʿālā yang dinyatakan dalam al-Qur’an surah as-Saff ayat 9. “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya”
Ia menyampaikan, elemen kunci dalam memimpin dunia adalah industri militer yang kuat, yang mencakup kemajuan teknologi yang berkelanjutan. Ia mengutip surah al-Anfal ayat 60, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya.”
Selama berabad-abad, ungkapnya, umat Islam mendominasi industri militer yang merupakan katalisator pembangunan industri secara umum. “Khilafah Rashidah, yakni Khilafah yang mendapat petunjuk akan melakukan hal yang sama lagi, dengan Izin Allah subḥānahu wa taʿālā. Kembalinya Khilafah Rashidah akan menyatukan wilayah umat Islam, mengonsolidasikan sumber daya yang sangat besar untuk mengembangkan teknologi mutakhir, dan mencapai kemandirian penuh,” terangnya.
Hal ini, katanya, akan menantang dominasi kekuatan global, memastikan bahwa Islam sekali lagi memimpin dunia dengan keadilan dan kekuatan. “Kepemimpinan yang kuat di bawah Khilafah bukan hanya kebutuhan politik, tetapi merupakan kewajiban syariat terhadap jemaah muslim,” paparnya.
Kerugian
Menurut Zakariyah, pergeseran teknologi ini menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar bagi perusahaan-perusahaan AS termasuk Nvidia, produsen nanochip terkemuka di Amerika. “Hal ini jelas memicu intervensi negara. Pada tanggal 31 Januari, Presiden AS Donald Trump bertemu dengan CEO Nvidia dan membahas DeepSeek. Namun, strategi Cina tidak melampaui persaingan ekonomi,” jelasnya.
Meskipun, katanya, Cina secara aktif berpartisipasi dalam arena ekonomi global, pendekatannya sebagian besar masih bersifat defensif di kawasannya sendiri dengan memprioritaskan stabilitas dan ekspansi ekonomi strategis dibandingkan dominasi konfrontatif. “Lonjakan AI di Cina ditanggapi Trump dengan meningkatkan keterlibatan negaranya. Amerika Serikat telah lama menerapkan kebijakan untuk membendung Cina dengan membatasi perkembangan Cina di luar wilayahnya dengan segala cara, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI) dan inovasi semikonduktor,” ujarnya.
Ia mengatakan, mulai dari dominasi telekomunikasi Huawei hingga terobosan AI DeepSeek, dan mulai dari kemajuan semikonduktor hingga nanochip mutakhir. “Persaingan ini mewakili kompetisi global untuk memperebutkan dominasi teknologi. Untuk mengekang kemajuan Cina, AS telah menjatuhkan banyak sanksi terhadap industri teknologi informasi dan semikonduktornya,” paparnya.
Di bawah pemerintahan Donald Trump, jelasnya, perusahaan-perusahaan utama Cina dimasukkan ke dalam daftar hitam dan pembatasan tersebut makin diperketat di bawah pemerintahan Joe Biden. “Pada Oktober 2022, Biden melarang pembuat nanochip global menjual teknologi canggih ke Cina sehingga meningkatkan ketegangan. Pemerintahannya kemudian menjatuhkan sanksi yang lebih ketat,” jelasnya.
Menurutnya, Biden atau Trump yang berkuasa, kebijakan untuk mengekang dan membendung Cina tetap dan tidak berubah. “Terlepas dari pembatasan yang sedang berlangsung, Cina baru-baru ini mencapai terobosan dengan model AI R-1 DeepSeek yang berhasil dicapai hanya dengan $6 juta, sesuatu yang gagal dicapai oleh raksasa teknologi AS dengan biaya miliaran dolar,” jelasnya.
Cina, katanya, juga berhasil mengembangkan chip 3 nanometer, sebuah pencapaian yang sebelumnya didominasi oleh Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC). “Meskipun perusahaan-perusahaan AS mengandalkan superkomputer besar dengan 16.000 chip canggih, DeepSeek mencapai hasil serupa hanya dengan menggunakan 2.000 chip Nvidia lama, yang menunjukkan efisiensi dibandingkan kekuatan perangkat keras semata,” pungkasnya. []
Sumber: M News