Perlawanan NU terhadap Asas Tunggal Pancasila

MUSTANIR.net – Perlawanan NU terhadap asas tunggal Pancasila terjadi sangat serius pada Sidang Umum MPR 1978 ketika Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dibicarakan. Hal itu diungkapkan sejarawan dan dosen di IAIN Palangka Raya, Mohammad Iqbal dalam kolomnya yang berjudul ‘NU, PPP, dan Represi Orde Soeharto pada Islam’ di situs tirto.id pada 11 Maret 2017.

Menurut Iqbal, perlawan terjadi lantaran dalam GBHN mengandung dua poin yang sulit diterima kebanyakan umat Muslim Indonesia.

Pertama, menyebutkan aliran kepercayaan berdampingan dengan agama-agama resmi dan karena itu secara implisit memberikan pengakuan formal kepada aliran kepercayaan sebagai agama tersendiri.

Ke dua, usulan program pemerintah untuk melakukan indoktrinasi ideologi negara, Pancasila (menurut penafsiran Orde Baru), secara massal, yang kelak memuncak menjadi keharusan asas tunggal Pancasila.

Kiai Bisri Syansuri, tokoh penting NU, memandangnya sebagai ancaman terhadap status Islam sebagai agama dan memprotesnya dengan keras. Ketika dilangsungkan voting atas pasal itu, para anggota NU yang diikuti kelompok PPP lain secara demonstratif meninggalkan tempat sidang (walk out).

Iqbal juga menyebutkan mediasi antara Islam dan Pancasila di kalangan NU dimulai oleh, salah satunya, KH As’ad Syamsul Arifin —itu pun setelah memasuki dekade 1980-an. Puncaknya terjadi pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Di sanalah NU secara resmi mendukung Pancasila sebagai prinsip dasar kebangsaan.

Selain NU, lanjut Iqbal, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sendiri menerima asas tunggal Pancasila dengan sikap setengah terpaksa —sebagaimana kebanyakan organisasi Islam. Di internal HMI sendiri terjadi perdebatan yang bahkan harus dibayar dengan pecahnya organisasi ini. Kelompok HMI yang menolak asas tunggal itu lalu membentuk HMI tandingan yang dikenal sebagai HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).

Menurut Fikrul Hanif Sufyan, di jajaran para penolak ada pula Pelajar Islam Indonesia (PII) dan tokoh-tokoh Islam macam Deliar Noer, AM Fatwa, dan Sjafrudin Prawiranegara sang ketua PDRI. PII harus mengalami hal pahit. “Mereka harus membubarkan diri sebab pada kongres tahun 1985 yang tidak mendapat izin pemerintah [….] pada 17 April 1987 PII akhirnya membubarkan diri.”

Jika harus dirunut, represi melalui asas tunggal inilah yang justru memicu perlawanan dari umat Islam, baik perlawanan aktif seperti dalam Tragedi Priok (1984) maupun perlawanan pasif (dengan menyingkir dan membangun kampung sendiri) seperti yang dilakukan Warsidi di Talangsari hingga terjadi Tragedi Talangsari (1989).

Ketika Kiai-kiai NU Ditangkapi

Era Orde Baru merupakan masa-masa kelabu bagi umat Islam Indonesia, khususnya kalangan Nahdlatul Ulama. Mereka ditekan, dipaksa agar tunduk dengan kebijakan-kebijakan politik penguasa. Siapa pun yang menentang berarti sama saja melawan, dan mereka pasti dibumihanguskan.

Yang paling fenomenal saat itu adalah pemaksaan asas tunggal oleh penguasa. Semua kelompok Islam dipaksa untuk menerima satu asas dalam ideologinya, yakni asas Pancasila. Mereka dilarang mengemban ideologi lain yang dianggapnya bertentangan dengan ideologi negara. Mengemban ideologi Islam berarti sama saja melawan asas tunggal negara.

Hebatnya, para ulama, termasuk juga kiai-kiai NU saat itu tidak tunduk begitu saja dengan pemaksaan yang dilakukan rezim Orde Baru. Mereka bersikeras menolak asas tunggal Pancasila yang dipaksakan oleh negara. Bagi mereka, sebagai orang Islam, maka yang boleh dijadikan sebagai asas hidup adalah Islam.

Atas dasar sikapnya itulah kemudian kiai-kiai NU banyak yang ditangkapi. Tak jarang mereka harus bolak-balik datang ke Koramil, guna dimintai keterangan, karena dianggap sebagai penentang ideologi bangsa.

Terlebih lagi ketika di musim Pemilu, mereka disisir habis oleh aparat-aparat suruhan penguasa. Rezim saat itu khawatir, jangan sampai kekuasaannya jatuh ke tangan para ulama yang dinilainya anti Pancasila.

NU termasuk kelompok yang paling keras mengkritik semuanya itu, termasuk juga mengkritik berbagai bentuk ketidakadilan yang sedang dipertontonkan. Akibatnya, setiap kali mereka melaksanakan muktamar tidak luput dari yang namanya pantauan penguasa. Kendaraan tempur lapis baja dan panser selalu menyertai setiap kali acara, untuk menakuti-nakuti para ulama, agar tidak mengeluarkan fatwa yang ‘menyerang’ pemerintah.

Orang Kuat NU

Dalam kurun 1971-1977 di Losarang, Indramayu, Jawa Barat, ada sebuah wilayah yang menjadi basis Partai NU, yang mengalami kekerasan sadis, diteror dan diintimidasi. Penduduknya mengungsi untuk menyelamatkan diri, sebagian mereka tinggal di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Jalan Kramat Raya 164, Jakarta.

Peristiwa tersebut terungkap dan diangkat di Harian Sinar Harapan. Media ini mengirim seorang wartawannya, Panda Nababan, untuk meliput Losarang. Nababan datang ke sana dengan ditemani KH Yusuf Hasyim dan Zamroni.

Mereka menyaksikan masjid dibakar dan rumah-rumah dihancurkan. Nababan mengatakan, bahwa kemungkinan besar warga NU Losarang meninggalkan rumahnya secara tiba-tiba dan tergesa-gesa, karena dirinya menyaksikan di atas meja makan masih ada piring-piring dan cangkir beserta makanan yang sudah membusuk. Dan setelah kembali ke Jakarta, Nababan melaporkan hasil liputannya itu dengan judul ‘Empatpuluh Lima Djam bersama Orang Kuat NU’.

Di Brebes, Jawa Tengah, ada pembunuhan aktivis NU dan anggota Komisaris PPP KH Hasan Basri, tahun 1977. Ia merupakan salah satu korban kekerasan rezim Orde Baru. Ia tewas oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dan mayatnya diceburkan ke dalam sumur.

Di Desa Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, terdapat sebuah pesantren besar pimpinan Kiai As’ad Syamsul Arifin yang turut menjadi korban kediktatoran rezim Orba. Kekerasan berupa pembakaran lebih dari 140 rumah milik para kiai dan penduduk menjelang Pemilu 1977.

Kekerasan serupa meluas hampir di seluruh kota-kota basis santri khususnya Nahdlatul Ulama, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Madura, Sulawesi, hingga Lombok, (Harian Pelita, edisi 8 Mei 1977).

Terbagi Dua

Dalam keadaan genting, banyak ulama NU dizalimi karena menolak asas tunggal Pancasila. Di awal-awal tahun 1980, guna meredam kezaliman itu, Gus Dur coba memberi pengertian kepada para kiai, agar mereka mau menerima Pancasila. Dari situlah kemudian Kiai-kiai NU terbagi ke dalam dua kelompok, ada yang menerima dan ada yang menolak.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa semua ulama, termasuk kiai-kiai NU dahulu pun menolak Pancasila. Logikanya, jika mereka menerima Pancasila seharusnya mereka tidak menolak ketika Soeharto memaksakan asas tunggal kepada semua ormas Islam. Nyatanya, mereka menolak, dan kemudian mereka dibredel oleh penguasa.

Jika dikatakan bahwa dari awal NU menerima Pancasila, lalu atas dasar apa para ulama dahulu diintimidasi oleh penguasa?

NU pernah menjadi oposisi, ketika penguasa memaksa pada satu pilihan politik, memaksa pada asas tunggal Pancasila. Lalu, adakah saat ini kelompok Islam yang nasibnya serupa dengan NU di masa lalu gara-gara Pancasila? []

Sumber: Joko Prasetyo & Irkham Fahmi al-Anjatani

About Author

Categories