Politik Demokrasi: Hanya Panggung Pencitraan, Bukan Pengabdian

MUSTANIR.netPolitik adalah satu-satunya profesi yang memungkinkan untuk Anda untuk berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.” — Mark Twain

Pernyataan Mark sejatinya bukan sekadar kritik personal. Apalagi keluhan emosional. Ia justru tanpa sadar sedang memotret wajah asli politik sekuler-demokrasi modern: sebuah panggung besar penuh pencahayaan, kamera, dan slogan-slogan muluk tentang “kepentingan rakyat”.

Akan tetapi, di balik tirai panggungnya berserakan kebohongan, intrik, transaksi gelap, dan manipulasi kekuasaan. Politik hari ini lebih mirip dengan industri pencitraan ketimbang pengabdian. Aktornya berlomba menjual citra paling simpatik, bukan menghadirkan kebijakan paling adil.

Dalam sistem sekuler-demokrasi, kebenaran sering kalah oleh popularitas. Kejujuran tersingkir oleh kepentingan elektoral. Rakyat diagungkan dalam retorika, namun dipinggirkan dalam realitas.

Ironisnya, berbagai kebijakan yang menindas—kenaikan pajak, eksploitasi sumber daya alam, kriminalisasi kritik hingga penggusuran—justru dilegitimasi atas nama “kehendak rakyat”. Padahal rakyat hanya dijadikan stempel sah bagi keputusan elite.

Inilah paradoks demokrasi: mengklaim kedaulatan rakyat, tetapi melahirkan oligarki yang rakus dan korup yang merugikan rakyat. Fenomena ini selaras dengan peringatan Allah ﷻ tentang kepemimpinan yang jauh dari nilai kebenaran:

﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ ۝ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ﴾

Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah para perusak, tetapi mereka tidak menyadari itu (QS al-Baqarah [2]: 11–12).

Demokrasi menempatkan hukum di tangan manusia. Bukan pada wahyu. Akibatnya, benar dan salah menjadi relatif. Fleksibel mengikuti kepentingan. Hari ini satu kebijakan dipuji sebagai solusi. Esok hari terbukti sebagai kezaliman yang dilegalkan.

Inilah politik tanpa rasa takut kepada Allah. Politik yang kehilangan dimensi akhirat.

Berbeda secara diametral dengan politik Islam. Dalam Islam, politik bukan seni meraih kekuasaan, melainkan amanah berat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ. Kekuasaan bukan tujuan, tetapi sarana untuk menegakkan syariah dan mewujudkan keadilan. Rasulullah ﷺ bersabda:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sejarah panjang khilafah Islam menjadi bukti nyata bahwa politik berbasis akidah Islam mampu melahirkan banyak pejabat yang amanah, jujur dan adil. Bukan karena sistem pengawasan kamera dan survei elektabilitas, tetapi karena rasa takut kepada Allah ﷻ.

Khalifah Umar bin al-Khaththab raḍiyallāhu ʿanhū, misalnya, gemetar ketika diangkat menjadi khalifah, khawatir jika seekor keledai tersandung di Irak, Allah akan menuntut dirinya. Inilah standar moral yang mustahil lahir dari politik sekuler. Allah ﷻ menegaskan:

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ﴾

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerima amanah itu dan jika menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum itu dengan adil (QS an-Nisā’ [4]: 58).

Pernyataan Mark, sadar atau tidak, adalah cermin yang memantulkan kebobrokan sistem politik hari ini. Ia bukan anomali, melainkan konsekuensi logis dari sistem yang memisahkan agama dari kekuasaan (sekularisme). Karena itu problem politik umat manusia saat ini bukan sekadar soal aktor yang buruk, tetapi sistem sekuler-demokrasi yang rusak.

Sudah saatnya umat menyadari: selama politik dibangun di atas sekularisme, kebohongan akan terus disulap menjadi kebijakan, dan kezaliman akan terus diberi label “demokratis”. Hanya politik Islam—yang berdiri di atas akidah, terikat oleh syariah dan diarahkan untuk meraih ridha Allah—yang mampu melahirkan kekuasaan yang benar-benar menjadi rahmat bagi rakyat, bukan sekadar slogan kampanye yang hampa.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. []

Sumber: Arief B Iskandar

About Author

Categories