Pemuda Bervisi Politik Islami Tidak Berdiri untuk Demokrasi

MUSTANIR.net – Peran pemuda memasuki tahun politik ialah melawan politik pecah belah. Anak muda bertanggung jawab mengawal persatuan, terutama menuju Pilpres 2024 mendatang. Begitu yang disampaikan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Inovasi, Pendidikan, dan Pembangunan Daerah Berkelanjutan Billy Mambrasar dalam acara The 1st Youth Diversity Forum (Forum Kebinekaan Pemuda I) di Semarang, 11-9-2023

Acara tersebut diselenggarakan oleh Center of Human Excellence and Diversive (CoHesive). Billy mengungkapkan, perlu mengantisipasi adanya pecah belah pada zaman yang semua serba teknologi. Menurutnya, memasuki tahun politik ini, ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah sangat rawan menyusupi media sosial.

Jelang pesta demokrasi memang akan selalu ada “titipan-titipan” pesan untuk memuluskan jalannya pesta. Pemuda diminta mengawal bersama Pilpres 2024 dari politik pecah belah. Bhinneka Tunggal Ika menjadi landasan dalam menjaga kerukunan di Indonesia dengan menanam nilai toleransi, saling menghormati, dan hidup harmonis dalam perbedaan.

Namun, apakah titipan pesan tersebut harus dilakukan oleh anak muda? Ke mana semestinya arah potensi pemuda? Hanya sebagai pengawal pilpres atau sebagai agen perubahan menuju Indonesia sejahtera dalam naungan Islam

Pemuda, Sasaran Pilpres 2024

Penguasa, pejabat, dan politisi mengetahui dan menyadari bahwa pada Pemilu 2024, generasi muda berusia 22—30 tahun akan mendominasi pemilihan. Porsi generasi muda ada sekitar 56% atau 114 juta, separuhnya termasuk pemilih pemula.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, pemilih muda erat hubungannya dengan media sosial yang menjadi salah satu sarana distribusi informasi mengenai pemilu hingga kampanye. (BBC Indonesia, 5-9-2023).

Gen Z sendiri merupakan kelompok demografis yang secara luas dianggap apatis secara politik. Diperkirakan, generasi muda Indonesia cenderung apatis terhadap perkembangan politik dan tidak senasionalis generasi sebelumnya. Pemilih muda juga tidak mudah didorong oleh preferensi keluarga mereka terhadap kandidat tertentu dalam pilpres nanti. Dengan potensi jumlahnya yang sangat besar, tentu peluang untuk mereka terlibat dalam Pemilu 2024 nanti juga sangat besar.

Oleh karenanya, mengingat jumlah pemilih muda sangat besar itu, parpol dan kandidat potensial mulai menerapkan strategi media sosial untuk menarik mereka. Tidak main-main, mereka menggandeng anak muda untuk dijadikan sebagai politisi muda demi melariskan “dagangan” kampanye mereka.

Isu Utama Menjelang Pilpres

Polarisasi, misinformasi, dan disinformasi di media sosial menjadi isu utama menjelang Pemilu 2024. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, 56% masyarakat khawatir akan terjadi perpecahan atau polarisasi akibat pemilu. (Kompas, 8-8-2023).

Namun, hingga kini, belum ada mitigasi risiko di media sosial, seperti disinformasi dan transparansi, sehingga dianggap perlu ada penanganan terkait penangkalan disinformasi. Ini sebagaimana disampaikan Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar secara lugas agar pemuda melawan politik pecah belah dan mengawal jalannya pilpres agar berjalan baik.

Selain itu, ada juga pelatihan juru kampanye Gen Z menuju Pemilu 2024 yang diinisiasi oleh kelompok Muda Mudi untuk Indonesia Hebat (MM UI). Ketum MM UI Nurul Intan mengatakan bahwa generasi muda harus aktif dalam politik secara sehat dan menyenangkan. Pada Pilpres 2024 ini, MM UI sendiri mendukung salah satu kandidat yang diusung parpol berbendera merah.

Benarkah politik identitas sebagai salah satu penyebab yang memecah belah masyarakat, sebagaimana harapan pemerintah agar pemuda bisa aktif melawan politik pecah belah? Terkait narasi ini, dikutip dari Media Umat, Direktur Forkei Agus Kiswantono mengkritisi dan mengatakan ada beberapa hal yang harus publik pahami.

Pertama, politik identitas merupakan hal yang biasa. Kapan pun, di mana pun, hal itu biasa dimunculkan.

Ke dua, memasuki tahun investasi politik saat ini, jika dikalkulasi secara rasional faktual, publik harus legawa bahwa Indonesia adalah negeri mayoritas muslim. Jadi, kekuatan itu adalah kekuatan yang identik dengan Islam. Artinya, konstelasi yang akan diperebutkan adalah mayoritas karena akan menentukan kursi dan kontestasi selanjutnya.

Ke tiga, pasti akan muncul “magnetisasi” terkait komunal (umat Islam). Identitas yang dimaksud ialah terkait keimanan. Di satu sisi, umat Islam dijadikan rebutan, di sisi lain seakan-akan dikanalisasi dengan memarginalkan eksistensinya. Tentu hal ini tidak adil.

Pemuda Tidak Berdiri untuk Demokrasi

Ketahuilah wahai pemuda, demokrasi tidak akan pernah memberi ruang untuk suatu perubahan. Kita bisa lihat, dalam sistem pendidikan, demokrasi memperparah sekularisasi kurikulum. Peran agama dipinggirkan, “haram” turut campur urusan kehidupan. Akhirnya, terus lahir generasi yang minus adab dan kesopanan.

Hedonistik, penyimpangan seksual, narkoba, tawuran, vandalisme, anarkis, plagiarisme, flexing, FOMO, insecure, mental illness, dan sebagainya, melekat dengan kehidupan anak muda. Akhirnya, jati diri pemuda hilang dan sekadar tampil sebagai boneka untuk berbagai kepentingan oligarki, penguasa, maupun asing.

Oleh karenanya, pemuda tidak boleh berdiri untuk demokrasi, termasuk menjadi pengawal pilpres dengan dalih melawan politik pecah belah. Semestinya pemuda berdiri untuk Islam, menjadi agen perubahan di tengah umat agar Indonesia sejahtera dalam naungan syariat-Nya.

Potensi pemuda harus diarahkan untuk melawan politik oportunistis dan transaksional yang dilegalkan demokrasi karena semua itu yang menyebabkan keterpurukan di tengah masyarakat. Pemuda memiliki peran strategis sebagai lokomotif utama untuk perubahan dan tegaknya peradaban Islam.

Pemuda Bervisi Politik Islam

Pemuda dalam Islam wajib beraktivitas politik. Mereka mengoreksi kebijakan penguasa yang tidak membela kepentingan umat, ataupun ketika penguasa lalai terhadap tugas utamanya mengurusi kepentingan umat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Hakim).

Pemuda tidak boleh diam. Mereka harus berbicara yang hak, berdiri melawan kezaliman yang mengancam kedaulatan bangsa, serta memaksimalkan semua potensi keimanan, kecerdasan, dan keberaniannya.

Para pemuda juga seyogianya melakukan sejumlah hal.

Pertama, menghunjamkan keimanan bahwa Islam adalah agama yang paripurna, mengatur urusan dunia dan akhirat, bukan sekadar spiritual.

Ke dua, mengkaji Islam sebagai ideologi, bukan sekadar ilmu pengetahuan. Mereka terikat dengan syariat Islam hingga bisa menilai baik dan buruk berdasarkan ajaran Islam.

Ke tiga, senantiasa memiliki sikap berpihak pada Islam, bukan netral, apalagi oportunis demi mencari keuntungan duniawi. Mereka pun memiliki visi politik yang islami, bukan mengambil nilai-nilai demokrasi.

Ke empat, terlibat dalam dakwah Islam demi tegaknya Islam kafah dalam naungan Khilafah. Al-Qur’an telah merekam keteguhan iman dan kesungguhan perjuangan para pemuda Kahfi hingga mereka mendapat pertolongan dan perlindungan dari Allah Taala.

Ingatlah sabda Nabi ﷺ, wahai pemuda, “Janganlah kalian menjadi imma’ah (suka ikut-ikutan)! Kalian berkata, ‘Jika manusia berbuat baik, kami pun akan berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, kami juga akan berbuat zalim.’ Akan tetapi, kukuhkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik. Jika mereka berbuat buruk, jangan kalian berlaku zalim.” (HR At-Tirmidzi). []

Sumber: Rindyanti Septiana, SHI

About Author

Categories