Politik Uang Warnai Pilkada 2017, Bukti Mahalnya Demokrasi
Politik Uang Warnai Pilkada 2017, Bukti Mahalnya Demokrasi
Pemilihan kepala daerah serentak 2017 tinggal sepekan lagi. Politik uang (money politics) di pilkada 101 daerah masih menghantui.
Terlebih survei Founding Father House (FFH) periode 2010-2016 menunjukkan persepsi publik yang permisif menerima uang masih tinggi, yakni 61,8% (Media Indonesia, 7/2). Artinya, publik masih menggandrungi praktik haram dalam pesta demokrasi itu.
Di Tasikmalaya, Jawa Barat, dilaporkan bahwa kubu pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota nomor urut 2, Budi Budiman dan Muhammad Yusup, diduga membagikan uang kepada warga di Kampung Cimerak, Kelurahan Sukamenak, Kecamatan Purbaratu, pada kampanya terakhir, Minggu 5 Februari.
“Pembagian uang mulai warung kecil hingga pedagang sayuran keliling. Pendukungnya membagikan uang Rp50 ribu-Rp100 ribu agar calon nomer 2 dicoblos pada 15 Februari 2017,” ujar Lilis, 30, warga Cimerak, 8 Februari 2017.
Ketua Panwaslu Kota Tasikmalaya Edi Supriadi mengaku tidak mengetahui hal itu. “Panwas tidak tahu (pembagian uang). Selama ini yang menjadi persoalan ialah penerobosan car free day (CFD).”
Di Provinsi Bangka Belitung, Bawaslu setempat memetakan tiga serangan politik uang, yaitu di tengah malam, subuh, dan saat warga menuju TPS. “Serangan politik uang ini kami waspadai,” kata Ketua Bawaslu Provinsi Bangka Belitung Bagong Susanto.
Di Aceh, Panwaslih melantik Panitia Pengawas Pemilihan dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara untuk menghadang politik uang. “Selain mengawasi masa tenang, mereka juga mengawasi serangan fajar,” jelas Ketua Panwaslih Aceh Samsul Bahri.
Pelapor Jadi JC
Setali tiga uang. Bawaslu pusat memandang politik uang masih menjadi momok pada pilkada 2017. Komisioner Bawaslu Nelson Simanjuntak menegaskan akan menjadikan penerima uang yang melapor ke Bawaslu sebagai justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama).
“Supaya ada orang yang mau melapor,” kata Nelson seusai Rakor Persiapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilkada 2017 di Gedung KPU, Jakarta, kemarin.
Di lain hal, Nelson mengakui kerepotan untuk menegakkan sanksi administratif terhadap calon yang terbukti melakukan politik uang menjelang pemungutan suara. Pihaknya akan mengejar sanksi pidana-nya.
“Kalau yang bersangkutan (calon) nanti menang dan ternyata terbukti tindak pidananya, dia akan dibatalkan,” tandasnya.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Khairul Fahmi mengatakan UU Pilkada Nomor 10/2016 memang mengatur sanksi administratif, tapi mekanisme pembuktiannya tidak jelas.
“Mestinya kualifikasi politik uang sebagai pelanggaran administrasi dan juga pidana pemilu diatur tegas sehingga proses penegakan hukumnya juga jelas,” kata Fahmi yang juga mantan Komisioner KPU Agam, Sumbar. (metrotvnews/rs)
Komentar Mustanir.com
Dalam sistem politik demokrasi, praktik politik uang sudah menjadi hal biasa. Setiap pasangan akan mencari dukungan dari masyarakat agar bisa memenangkan pertarungan politik dengan menghalalkan segala cara. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam dunia politik demokrasi nilai-nilai ketakwaan nihil dan hampir tidak akan pernah ada. Sistem politik yang jauh dari pondasi agama, alias sekuler.
Sistem politik yang lahir dari cara pandang benefit (asas manfaat), di mana untung dan rugi merupakan satu-satunya standar dalam berpolitik. Untuk meraih benefit (keuntungan), segala cara pun dihalalkan, asal tujuan tercapai.
Oleh karena itu, setiap muslim sudah selayaknya memahami dengan benar hakikat dari sistem politik demokrasi. Sistem politik demokrasi itu adalah sistem yang kedaulatannya ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang menentukan hukum dan ini jelas-jelas bertentangan dengan Islam.