Potret Miris Transportasi Air di Negara Maritim

MUSTANIR.COM, Jakarta – Polemik terkait keamanan angkutan perairan kembali menggema setelah terjadi kecelakaan kapal dalam waktu yang cukup berdekatan.
Belum sembuh duka dari kabar tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatera Utara, yang menyebabkabn 164 orang belum ditemukan sampai saat ini, muncul lagi kabar kandasnya KM Lestari Maju di perairan Selayar, Sulawesi Selatan yang menyebabkan puluhan orang hilang dan ratusan lainnya menyelamatkan diri.
Catatan keselamatan pelayaran di Indonesia memang cukup suram.
Data kecelakaan pelayaran KNKT menunjukkan bahwa pada periode 2010-2017 terjadi 88 kecelakaan kapal laut yang terdiri dari tenggelam, terbakar/meledak/tabrakan, kandas dan lain-lain.
Korban meninggal/hilang dalam kecelakaan itu mencapai 371 orang sementara 496 lainnya luka-luka.
Bahkan KNKT menyebut jumlah kecelakaan pelayaran pada 2017 naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu 34 kecelakaan.
Catatan buruk pelayaran ini tentu membuat banyak warga pengguna angkutan laut menjadi was-was, tak terkecuali saya.
Ironisnya, banyak warga Indonesia yang menggantungkan diri pada angkutan perairan dalam melakukan kegiatan, baik kegiatan ekonomi maupun sosial karena Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas dan belum semua bisa dijangkau dengan pesawat atau pun jalan darat.
Sebagai salah satu pengguna angkutan perairan ketika mengunjungi wilayah-wilayah terpencil, kesan yang muncul di kalangan pengguna dan penyelenggara angkutan laut adalah pandangan yang penting sampai tanpa memperdulikan aspek keselamatan dalam kapal.
Pengalaman terburuk saya dengan angkutan perairan ini adalah perjalanan menuju Banda Neira, Maluku pada November 2017 lalu. Kalau kondisinya sudah berubah sekarang, itu bagus, sangat bagus, tapi pengalaman buruk akan melekat selamanya, bukan?
Waktu itu, saya menumpang kapal jurusan Jakarta-Fak Fak (Papua) dari Ambon. Kapal ini berhenti di beberapa wilayah.
Pukul 21.00 saya naik ke kapal, tapi kapal baru diberangkatkan pukul 02.00 dan sampai di Banda Neira sekitar pukul 12.00 keesokan harinya.
Kapal yang saya tumpangi itu jauh dari kata nyaman. Kondisi kapal kotor, toilet tidak berfungsi dengan baik, air di mana-mana, bau pesing, keran mati. Itu baru soal kebersihan.
Soal ketertiban? Jangan ditanya. Walaupun saya mempunyai tiket resmi–tangan saya pun dicap sebelum masuk kapal, tapi saya tidak punya tempat beristirahat yang seharusnya menjadi hak saya. Semua sudah ditempati penumpang lain. Ketika saya datang, “sudah ada orangnya,” kata penumpang lain. Tidak ada petugas untuk tempat mengadu kala itu dan saya pun berakhir tidur di geladak sekoci, beralaskan tikar yang dijual Rp10 ribuan.
Keamanan pun sangat buruk. Tengah malam saya diincar copet. Mungkin karena saya membawa tas carrier besar dan terlihat seperti pelancong yang membawa banyak harta, saya dan teman saya ‘diincar.’ Untung ada penumpang lain yang “menjaga” kami. Kru kapal? Tidak tahu ada di mana.
Dari semua itu, yang paling fatal adalah faktor keselamatan yang sangat buruk. Pelampung yang seharusnya menjadi syarat utama dalam pelayaran, tidak terlihat dan tidak ada penjelasan dari awak kapal mengenai hal ini.
Tidak ada pula peragaan atau prosedur keselamatan bagi para penumpang oleh awak kapal.
Padahal pada 2017 lalu, Dirjen Hubungan Laut Kementerian Perhubungan menerbitkan instruksi untuk mempertegas peraturan keselamatan pada kapal penumpang.
Instruksi No. UM.008/I/II/DJPL-17 itu memuat Kewajiban Nakhoda dalam Penanganan Penumpang Selama Pelayaran.
Nakhoda diwajibkan mengecek kesesuaian jumlah penumpang dalam manifest dan jumlah penumpang yang ada di atas kapal yang memiliki tiket.
Sementara itu, awak kapal wajib melakukan pengenalan penggunaan baju pelampung dan menunjukkan jalur keluar darurat, tempat berkumpul dan perintah penyelamatan diri kepada penumpang.
Tempat-tempat penyimpanan alat keselamatan kapal dan pengoperasiaanya juga wajib diketahui penumpang.
Untuk kapal tradisional, penumpang wajib memakai jaket pelampung.
Semua instruksi dari Dirjen Hubungan Laut itu akhirnya baru saya rasakan ketika menumpang kapal ekspedisi milik satu organisasi internasional.
Sebelum berlayar, semua penumpang diwajibkan menonton video prosedur keselamatan. Setelah itu, awak kapal berulang kali memberi tahu letak pelampung dan apa yang harus dilakukan ketika alarm tanda peringatan berbunyi.
Potret Miris Transportasi Air di Negara MaritimDi Danau Toba, keluarga korban KM Sinar Bangun masih berharap pemerintah terus melakukan pencarian. (Antara/Sigid Kurniawan)
Setelah berlayar, seluruh penumpang diwajibkan mengikuti simulasi jika terjadi kebakaran.
Awak kapal sangat teliti dengan prosedur keselamatan, bahkan kancing pelampung pun mereka perhatikan untuk memastikan semua terkunci. Pelampung harus melekat di badan dengan baik.
Selain itu ada juga simulasi menyelamatkan diri ketika kapal dibajak.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa perjalanan mempergunakan transportasi laut seharusnya memiliki standar keselamatan yang sama.
Sebagai negara maritim yang juga memiliki sungai dan danau yang luas, sudah sepantasnya memiliki transportasi air yang laik, yang memenuhi standar kenyamanan, keamanan, kebersihan, dan keselamatan.
Tak perlu mewah karena sebagian besar penggunanya pun kelas menengah, yang tak mampu membeli tiket pesawat, yang lebih memilih menghabiskan banyak waktu di jalan dibandingkan menghabiskan uang di jalan.
Setelah sarananya terpenuhi, selanjutnya edukasi penumpang. Minimal para penumpang harus tahu bagaimana seharusnya berperilaku di atas kapal, terutama jika menghadapi keadaan berbahaya.
Hanya saja, jangan mudah putus asa mengedukasi karena penumpang sering kali tak peduli sebelum sesuatu benar-benar terjadi.
(cnnindonesia.com/7/7/18)