Protes Petani Kendeng dan Keberpihakan Pemerintah kepada Para Pemodal
Sembilan petani perempuan asal kawasan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, kembali menggelar aksi protes di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018).
MUSTANIR.COM, JAKARTA — Sembilan petani perempuan asal kawasan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, kembali menggelar aksi protes di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018).
Mereka menggotong lesung dari Tugu Tani ke depan Istana Merdeka kemudian menabuhnya secara bergantian.
Lima petani memukul-mukul lesung dengan tongkat. Sementara satu orang menembangkan lagu dengan syair berbahasa Jawa dan tiga orang petani lainnya berdiri sambil mengibarkan bendera Merah Putih.
Sembilan petani perempuan itu dikenal sebagai sebutan Kartini dari Pegunungan Kendeng.
Gunretno dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) mengatakan, aksi protes yang dilakukan Sembilan Kartini Kendeng itu menunjukkan selama ini kebijakan pemerintah belum berpihak pada para petani. Pemerintah saat ini dinilai lebih berpihak pada para pemodal.
“Hal itu terbukti dengan banyaknya lahan-lahan pertanian yang produktif dijadikan pertambangan,” ujar Gunretno seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (12/2/2018).
Gunretno menuturkan, pada 2 Agustus 2016 silam, saat bertemu sedulur petani Kendeng di Istana, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di sepanjang Pegunungan Kendeng Utara.
Kawasan Pegunungan Kendeng Utara meliputi Kabupaten Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Rembang, Blora, Grobogan dan Pati.
Dalam keputusan tersebut, kata Gunretno, Presiden juga meminta selama proses KLHS berlangsung, tidak boleh ada izin pertambangan baru yang keluar.
Artinya, semua proses pertambangan batu kapur dan aktivitas produksi yang sedang berlangsung harus dihentikan.
“Dan KLHS harus dilakukan secara terbuka serta melibatkan rakyat secara aktif,” kata Gunretno.
Bertentangan
Yang terjadi di lapangan sangat bertentangan dengan mandat Presiden Joko Widodo. Menurut Gunretno, izin baru telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah, proses penambangan batu kapur terus berjalan dan aktivitas produksi pabrik semen di Rembang juga terus berlangsung.
Kemudian, saat hasil KLHS tahap pertama diumumkan pada tanggal 12 April 2017, pemerintah daerah tidak menjalankan hasil rekomendasi tersebut.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, lanjut Gunretno, justru meminta Badan Geologi dari ESDM agar melakukan kajian lagi di lapangan.
Dalam proses tersebut, keterlibatan masyarakat JM-PPK hanya dijadikan legitimasi temuan hasil kajian Badan Geologi yabg diolah tanpa ada keterlibatan masyarakat.
“Padahal data-data masyarakat sudah diserahkan ke Badan Geologi, cara ini menunjukkan Badan Geologi dalam melibatkan masyarakat hanya untuk kepentingan formal,” tuturnya.
Melalui aksi protes itu, petani Kendeng meminta Presiden Jokowi setia dengan mandatnya serta mengumumkan dan menjalankan hasil KLHS.
Gunretno menegaskan bahwa dengan menolak keberadaan pabrik semen bukan berarti petani Kendeng anti-pembangunan. Justru petani Kendeng berupaya menjaga marwah pembangunan agar tetap berjalan tanpa merusak keseimbangan ekosistem.
Pembangunan yang berkeadilan sosial dan tidak memberangus masyarakat lokal hanya demi kepentingan investasi yang jauh dari kata menyejahterakan rakyat.
“Sudah banyak pelajaran nyata yang dialami rakyat di daerah-daerah tambang terutama di daerah karst. Justru mereka menjadi ‘dimiskinkan’ karena kehilangan jati diri sebagai petani,” ungkap Gunretno.
(kompas.com/13/2/18)