Sains Telah Mengingatkan Kita soal Virus Corona di Tahun 2007
MUSTANIR.net – Setelah melewatkan berjam-jam waktu membaca, saya memutuskan membagikan sedikit review dari jurnal biologi berjudul: “Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus as an Agent of Emerging and Reemerging Infection“.
Penelitian ini ditulis oleh 4 (empat) orang peneliti Universitas Hongkong, bernama: Vincent Cheng, Susanna Lau, Patrick Woo, dan Kwok Yung Yuen yang diterbitkan untuk Jurnal American Society for Microbiology.
Pertama-tama, saya tidak tahu proyek penelitian ini dikerjakan berapa lama. Tapi saya bisa membayangkan kerumitan prosesnya, karena referensi jurnal ini ditulis dengan 434 rujukan jurnal/buku. Pun ini pertama kali pula, saya membaca jurnal dengan rujukan sebanyak itu. Bagi saya ini sungguh ‘gila’.
Sedikit review saya atas isi jurnal ini–penelitian ini secara gamblang menuliskan kemunculan virus corona di China yang diperkirakan akan menjadi pandemi (wabah global) di era milenium baru (abad 21).
Alasannya, adalah pertumbuhan ekonomi yang cepat di China Selatan yang membuat permintaan akan protein meningkat tajam.
Banyak orang-orang di China, dengan kebiasaan memakan kelelawar, tikus, ular dan musang alasannya tentu saja selain gizi dan protein. Juga mitologi di China, misalnya: yang beranggapan memakan semangkuk sup kelelawar akan membawa keberuntungan.
Dampak dari perilaku ekstrem orang-orang di China Selatan, jumlah varietas hewan-hewan tersebut menjadi langka yang membuat melemahnya Biosecurity.
Biosecurity pada pengertian yang sederhana menurut kamus biologi berarti prosedur atau ketahanan manusia atau hewan terhadap penyakit biologis (virus) yang berbahaya.
Pun secara langsung, dari penelitian ini, virus tersebut secara gamblang dituliskan peneliti: akan ditularkan melalui kontak fisik manusia atau udara. Adalah rumah sakit dan bandara menjadi medium yang diprediksi memfasilitasi virus ini semakin meluas. Pada akhirnya tesis ini terbukti.
Secara lanjut, saya membatasi review saya sampai di situ. Alasannya banyak istilah-istilah biologi dan kesehatan yang kurang saya pahami dan tidak berani saya tafsirkan. Karena takut menimbulkan kesesatan informasi.
Pada porsi saya di bidang ilmu politik, saya membaca jurnal dan artikel lanjutan, ternyata tahun 2007 setelah jurnal itu terbit para peneliti sudah akan membuat vaksin virus corona. Namun, terhalang oleh izin pemerintah China.
Pun secara gamblang, pada lanjutan review atas jurnal ini, dituliskan bahwa eksperimen dan pembuatan vaksin membutuhkan waktu 12-18 bulan. Alasannya selain izin pemerintah, peneliti juga harus memastikan vaksin tersebut aman dikonsumsi oleh manusia.
Pembelajaran
Pembelajaran bagi saya, setelah membaca jurnal tersebut adalah bahwa ternyata informasi mengenai virus corona di China sudah dipublikasi hampir 13 tahun lalu.
Sebelum wabah corona menjadi pandemi global. Namun, kebijakan soal riset di masing-masing negara yang berbeda, utamanya China yang sempat mendiamkan hal ini telah berdampak global.
Kemampuan sains membaca situasi dunia pasca pandemi corona pun sebenarnya sudah bisa diantisipasi sejak 1 dekade lalu.
Tapi sekali lagi, ini soal bagaimana suatu pemerintahan merujuk riset sebagai landasan kebijakan-kebijakan yang hendak diambil.
Situasi ini, tidak hanya terjadi di China tapi di banyak negara termasuk Indonesia. Saya tidak tahu berapa persentase sebuah riset dijadikan rujukan dalam mengambil putusan.
Pun saya katakan, ada banyak riset-riset akademik di Indonesia yang telantar di lemari perpustakaan dan desktop komputer.
Pembelajaran soal sains ini menjadi pelajaran amat berharga bagi dunia, yang kini seolah menunggu keputusan 2 negara. Tentang apa yang akan dilakukan oleh China dan Amerika dalam mengatasi pandemi ini.
Sejalan dengan itu, kita berhadap lembaga-lembaga penelitian universitas di Indonesia, seperti: UI, UGM, Unpad, Undip, Unair, hingga USU bisa mulai bersikap atas situasi ini.
Kenapa Universitas?
Alasannya dalam konsep Tri Darma perguruan tinggi selain proses pengajaran di kelas. Penelitian merupakan indikator utama yang harus dicapai, sebelum seorang dosen melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Rektor universitas harus sudah mulai bersuara, selain hanya sekadar imbauan pada mahasiswa bahwa proses belajar mengajar dilakukan di rumah secara online. Kalau belum bisa melakukan penelitian soal vaksin corona, minimal mulai memilih pakar-pakar terkait untuk bicara di media terkait pandemi ini.
Alasannya, informasi corona kini mayoritas diproduksi oleh orang-orang yang bukan berasal dari ruang lingkup kampus. Mengakibatkan informasi ilmiah soal pandemi ini menjadi liar.
Jika universitas diam maka kita hanya akan menunggu pandemi ini menyerang lebih banyak orang di Indonesia karena minimnya ucapan ilmiah yang keluar dari kampus.
Jika universitas bersuara, maka itu menjadi oase bagi kita semua mengatasi situasi ini, selain pemerintah dan WHO yang rutin menjadi rujukan bagi manusia Indonesia dalam informasi dan imbauannya. Artinya kita berharap kampus lebih aktif lagi soal menyikapi pandemi ini. []
Sumber: Anwar Saragih