Sebab Pelemahan Rupiah dan Solusinya

rupiah-melemah

Sebab Pelemahan Rupiah dan Solusinya

Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan dalam beberapa bulan terakhir hingga menyentuh level Rp13.000 perdolar AS (18/3/15). Beberapa negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Thailand dan Korea Selatan juga mengalami hal serupa. Meskipun demikian, pelemahan rupiah relatif lebih besar dibandingkan negara-negara tersebut.

Pelemahan tersebut di satu sisi memang menguntungkan para eksportir karena pendapatan mereka meningkat jika dinilai dengan rupiah. Namun demikian, pelemahan tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap perekonomian. Biaya impor menjadi semakin mahal. Beban utang valas pemerintah dan swasta semakin tinggi. Harga barang-barang impor dan barang yang mengandung bahan baku impor meningkat (imported inflation). Beban APBN juga semakin besar karena sebagian utang harus dibayar dengan dolar dan sebagian belanja barang dan modal juga berasal dari impor. Pelemahan Rp 100 saja dari asumsi yang dipatok pada APBN akan menambah belanja langsung hingga Rp2,5 triliun.

Penyebab Fluktuasi Rupiah

Sebagaimana halnya mata uang kertas lainnya, nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama pelemahan rupiah belakangan ini yaitu: Pertama, semakin tingginya ketergantungan Indonesia pada impor barang dan jasa seperti BBM, bahan pangan, bahan baku industri dan alat-alat berat lainnya. Di sisi lain, kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan baik akibat melemahnya permintaan negara-negara tujuan ekspor maupun penurunan harga-harga komoditas terutama perkebunan dan pertambangan yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Akibatnya, surplus neraca perdagangan Indonesia semakin menipis.

Kedua, ketergantungan pada jasa asing terutama transportasi barang dan penumpang. Indonesia, misalnya, masih sangat bergantung pada kapal asing untuk mengangkut barang ekspor dan impor. Demikian pula dengan pembayaran royalti, lisensi, sewa barang dan jasa berbasis kecakapan intelektual—seperti konsultan bisnis dan riset—kepada penduduk asing jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan Indonesia.

Ketiga, tingginya investasi asing dan besarnya utang luar negeri Pemerintah dan swasta membuat aliran pendapatan investasi keluar asing dan pembayaran bunga dari Indonesia ke luar negeri jauh lebih besar dibandingkan dengan yang masuk.

Keempat, aliran masuk investasi terutama investasi portofolio seperti saham, obligasi dan transaksi derivatif mengalami peningkatan yang sangat besar. Meskipun demikian, dana-dana tersebut juga amat mudah untuk keluar, baik karena faktor fundamental seperti penurunan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tinggi atau faktor spekulasi, motif yang sangat mendominasi investasi di sektor ini. Dalam tiga tahun terakhir, neraca pembayaran Indonesia yang merupakan akumulasi dari poin-poin di atas sudah negatif alias dolar yang mengalir ke luar jauh lebih besar dibandingkan yang masuk ke Indonesia.

Tatanan Moneter Global Kacau

Ketika krisis tahun 2008, Bank Sentral AS, The Fed, meluncurkan kebijakan quantitave easing atau pelonggaran moneter dengan meningkatkan pasokan uang. Caranya dengan membeli surat-surat berharga pemerintah dan swasta setelah penurunan suku bunga tidak mungkin dilakukan karena telah mendekati nol persen. Harapannya, tambahan uang tersebut dapat mendorong pemulihan ekonomi, termasuk menggenjot ekspor. Kebijakan ini merupakan alternatif terakhir karena suku bunga yang telah mendekati nol persen tidak mungkin lagi untuk diturunkan. Kebijakan yang ditempuh The Fed, belakangan juga dilakukan oleh bank sentral Jepang, Uni Eropa dan Tiongkok. The Fed hingga Oktober tahun lalu telah menabur uang sebesar US$ 3,7 triliun (sekitar Rp 46.000 triliun). Adapun Bank Sentral Eropa telah memutuskan untuk menerbitkan €1.1 triliun (sekitar Rp 15.900 triliun) hingga tahun 2016.

Kebijakan tersebut tidak hanya mendorong terjadinya inflasi domestic, namun juga mendorong inflasi global khususnya di negara-negara berkembang. Dana-dana tersebut diinvestasikan dalam bentuk investasi di pasar modal maupun dalam bentuk komoditas. Akibatnya, harga aset-aset finansial negara-negara tersebut meningkat tajam (bubble) dan nilai tukar juga mengalami penguatan. Celakanya, penguatan tersebut bersifat temporer. Ketika The Fed menghentikan kebijakan pembelian aset dan berencana menaikkan suku bunga acuannya, dana-dana panas tersebut kembali berhamburan ke AS sehingga mengoyak-ngoyak nilai tukar negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, nilai dolar AS mengalami penguatan berlebihan sehingga mengganggu kinerja ekspor negara tersebut.

Respon otoritas moneter negara yang mata uangnya melemah tidak membuat keadaan lebih baik. Mereka berupaya mengendalikan pelemahan tersebut dengan menaikkan suku bunga. Harapannya, investor kembali dan betah berinvestasi di negara mereka. Kebijakan ini ‘ramah’ terhadap investor, namun ‘kejam’ terhadap sektor riil yang denyut nadinya dipengaruhi oleh suku bunga. Biaya kredit menjadi semakin mahal sehingga konsumsi dan investasi tertekan. Kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga 70 persen pada tahun 1998—demi menjinakkan rupiah yang kala itu menembus hingga Rp14.000 per US$ dari kisaran Rp 2.300 pada awal 1997—membuat perekonomian Indonesia terkapar.

Kebijakan lainnya adalah melakukan intervensi pasar dengan membeli dolar. Namun demikian, biaya dari kebijakan cukup besar dan sangat bergantung pada seberapa besar cadangan devisa yang dikoleksi oleh bank sentral. Beberapa Negara, termasuk Indonesia pada krisis 1997/1998, terpaksa melakukan pinjaman ke negara dan lembaga-lembaga donor terutama IMF untuk mendapatkan tambahan cadangan devisa. Kekuatan bank sentral mengintervensi pasar tersebut tentu saja dapat dipermainkan oleh para spekulan. Walhasil, biaya yang dikeluarkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar mata uang menjadi sangat besar. Anehnya, sistem moneter tersebut hingga saat ini masih terus dipertahankan.

Mata Uang Emas dan Perak

Rusaknya tatanan moneter negara ini dan dunia secara menyeluruh membutuhkan solusi yang fundamental. Islam yang merupakan wahyu dari Allah SWT telah memberikan solusi yang sangat terang atas segala persoalan manusia termasuk dalam masalah standar mata uang. Islam telah menetapkan bahwa mata uang yang wajib digunakan oleh negara adalah mata uang emas dan perak.1

Emas dan perak memiliki keunikan dan nilai yang tinggi. Pada saat mata mata uang kuat seperti dolar AS kehilangan kepercayaan pada saat krisis, orang ramai-ramai memborong emas. Mata uang emas juga tidak dapat dimanipulasi dan dicetak seenaknya oleh pemerintah sebagaimana halnya uang kertas. Dengan demikian standar mata uang emas akan menghapus masalah inflasi yang selama ini ditimbulkan oleh mata uang kertas. Memang, peluang inflasi dapat terjadi jika terdapat tambahan pasokan emas ke dalam negeri seperti akibat peningkatan ekspor. Namun demikian, jika tidak ada hambatan sirkulasi perdagangan, penyesuaian harga akan secara alamiah. Peningkatan jumlah emas akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi barang dan jasa sehingga harga akan kembali normal.

Standar emas juga akan mengurangi masalah perdagangan internasional akibat ketidakstabilan kurs mata uang. Pasalnya, nilai mata uang negara ditentukan oleh nilai emas dan perak itu sendiri, tidak bergantung pada kekuatan ekonomi dan politik suatu negara. Dengan demikian, pebisnis yang mengandalkan komoditas impor tidak khawatir barang yang diimpor akan menjadi lebih mahal karena mata uang negaranya melemah (depresiasi) atau nilainya diturunkan oleh pemerintah (devaluasi). Pelaku usaha yang melakukan ekspor juga tidak cemas komoditas mereka menjadi lebih mahal di negara lain akibat kurs mata uang mengalami penguatan. Walhasil, mata uang emas akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat dan stabil.

Oleh karena itu, ketika negara Khilafah tegak maka segera standar mata uang emas dan perak akan diterapkan. Khilafah akan menghimpun emas dan perak agar mampu menjamin mata uang resmi negara yang beredar setelah sebelumnya mengkonversi mata uang lama yang dimiliki masyarakat. Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan negara seperti: mendirikan pabrik pertambangan dan pengolahan emas dan perak; mengambil-alih yang telah ada dan sepenuhnya dikontrol oleh negara; mendirikan bank sentral yang bertugas untuk mengatur back-up emas dan perak dengan mata uang yang beredar; meminta kaum Muslim untuk menjual atau bahkan menghibahkan emas dan perak mereka kepada negara; mengupayakan agar impor barang dilakukan secara barter atau membeli dengan mata uang kuat yang dimiliki negara; mengambil ‘usyur dan pungutan yang sah dari orang-orang kafir yang berdagang atau melintasi wilayah negara dengan emas dan perak.

Negara juga mengupayakan agar hasil ekspor dibayar dengan emas dan perak; mempertahankan jumlah mata uang keras yang dimiliki negara sebagai tambahan cadangan emas dan perak serta tidak melakukan pembatasan keluar masuknya aliran emas dari negara.

Khilafah juga mendorong agar negara lain mengadopsi emas dan perak sebagai mata uang dan bukan sebagai komoditas (spekulasi).2

Sejalan dengan penyatuan wilayah negeri-negeri Islam, kekayaan dan potensi ekonomi negara Khilafah akan semakin besar. Nilai uangnya dan standar gajinya menjadi lebih tinggi. Perekonomian negara tersebut akan sangat maju dan mampu menjadi negara yang unggul dalam segala hal, baik dari dalam ilmu pengetahuan, industri, penemuan dan inovasi.3

Dengan kekuatan tersebut, Khilafah mampu mempengaruhi negara lain untuk membentuk tatanan moneter dan ekonomi global yang lebih stabil dan mensejahterahkan umat manusia.

WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Lajnah Maslahiyah DPP HTI]

Catatan kaki:

1      Lihat: Taqiyuddin an-Nabhâny (2004). An-Nizhamu al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 270-273. Beirut: Darul Ummah

2      Kayfiyyah Tahwîl al-‘Umûlât al-Mahalliyah ila ‘Umûlât Dzahabiyyah waFfidhiyyah, Al-Waie vol. 145; Ahmad Abu Qudûm, Thariqah Ttahwîl al-‘Umûlât al-Hâliyah ‘ila Uumûlât Dzahabiyyah wa Fidhiyyah, Al-Waie vol. 169

3      Abu Mu’tashim, Kayfiyyah Tahwîl al-‘Umûlât al-Kâsidah ila Dzahabiyyah wa Fidhiyyah fi Dawlah al-Khilâfah, Al-Waie vol. 170.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories