Bersama Kita Hancurkan Pilar-pilar Sekularisme dan Gurita Iblisnya
MUSTANIR.net – Umat Islam hari ini sedang menghadapi masa-masa terburuk dalam kehidupannya akibat ketiadaan daulah yang sekarang membuatnya rendah dan terhina. Pemikiran-pemikiran sekularisme dan orang-orang jahat yang menjadi antek mereka, telah mengendalikan umat. Penyebab dari semua ini adalah jauhnya umat dari hukum-hukum Allah yang diturunkan kepada kita sebagai hidayah, petunjuk, dan jalan keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Jauhnya umat dari hukum-hukum Allah pada awalnya hanya karena runtuhnya daulah Islam. Akan tetapi, keadaannya makin memburuk sampai masuk ke rumah-rumah kita, menimpa keluarga serta anak-anak kita secara akal dan jiwa, menyebabkan perceraian tanpa adanya jalan kembali ke sumber hidayah dan ketakwaan.
Benar, sekularisme telah memperdaya dengan tipuan yang tidak dapat ditoleransi umat Islam. Keselamatan dari sekularisme sejatinya ada di tangan kita dengan keyakinan bahwasanya Allah tidak mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubah segala yang ada pada diri mereka sendiri. Allahlah yang akan menghancurkan seluruh tipu daya dan makar mereka.
Sedangkan negara Islam sebelum era ini tidak mengenal sekularisme dikarenakan ciri masyarakat Islam memang tidak sama dengan masyarakat Barat yang realitasnya memaksakan munculnya bencana ini pada negara dan rakyat.
Sekularisme masuk pertama kali di Afrika Utara, tepatnya di Aljazair. Hukum Islam dihapuskan setelah pendudukan Prancis pada 1830. Kemudian di Mesir, disusul Tunisia ketika hukum Prancis diperkenalkan pada 1906, dan di Maroko pada 1913—tanpa melupakan masuknya ke sebagian besar Afrika, India, Turki, Irak, Syam, dan Indonesia.
Begitu juga sejak tersebarnya partai-partai sekuler; kecenderungan sektarian; partai kebangkitan maupun nasionalis; perselisihan antara kelompok Firaun, Turania, dan Berber; dan lainnya.
Tidak ada keraguan bahwa sekularisme membuka jalan bagi pengenalan hukum-hukumnya ke negara kita, yakni ketika ia menarik orang-orang yang ditundukkan oleh Barat, orang-orang yang berjiwa lemah dan yang imannya goyah dengan godaan uang, posisi, dan wanita yang bersifat duniawi. Sekularisme juga mengangkat promotor untuk dididik dalam asuhannya yang berada di negeri-negeri Barat, kemudian memberi mereka gelar ilmiah, seperti gelar doktoral atau jabatan profesor dan pakar.
Propaganda yang intens pun diadakan untuk orang-orang ini, lewat media yang dikendalikan oleh kaum sekuler untuk menunjukkan kepada mereka dalam kedok para sarjana, pemikir, dan orang-orang dengan pengalaman luas dan elite. Alhasil, kata-kata mereka dapat diterima oleh masyarakat kebanyakan.
Dengan demikian, mereka mampu menipu banyak orang serta mempraktikkan distorsi dan pemalsuan Islam di hati kaum terpelajar secara besar-besaran, juga mengulangi klaim sekularisme di telinga anak-anak kita.
Hari ini, kita melihat trompet sekularisme dan keberaniannya melawan aturan agama, banyak menentang beberapa submasalah dan menyibukkan anak muda dengannya. Ia juga terlibat dalam pertempuran imajiner atas masalah ini untuk mengalihkan perhatian anak-anak kita serta mengalihkan mereka dari memainkan peran nyata untuk kebangkitan.
Betapa banyak podium yang menggambarkan kepada kita perpecahan para syekh, ulama, penuntut ilmu, dan dai di berbagai media massa, audio maupun visual. Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang menyimpang secara moral, ataupun dekat dengan uang, kedudukan. Alhasil, para pemuda tidak mendengarkan mereka dan tidak memercayai perkataan mereka. Dengan demikian, yang ada adalah arena kosong bagi kaum sekuler untuk menyebarkan ‘dakwah’ mereka.
Betapa banyak pula orang-orang yang fokus akan wacana mereka tentang persoalan khilafiah dan memperbesar hal itu. Alhasil, para pemuda menduga bahwa agama seluruhnya adalah perselisihan dan perbedaan; bahwa tidak ada kesepakatan tentang apa pun—sekali pun itu di kalangan ulama—sehingga diri mereka menganggap bahwa tidak ada ketentuan dan kepastian dalam agama, yang berarti lebih baik bagi mereka untuk meninggalkan segala sesuatu yang berasal darinya.
Betapa banyak sekolahan, universitas, pusat budaya, klub, dan universitas asing yang didirikan di negeri-negeri Islam yang semuanya ada di bawah pantauan negeri sekuler. Mereka berusaha maksimal untuk merapuhkan hubungan pemuda Islam dengan agamanya. Pada waktu yang sama, mereka juga menyebarkan pemikiran sekuler dalam skala luas, terutama dalam studi sosial, filsafat, dan psikologis.
Betapa sering mereka bersandar pada penyesatan dan penyelewengan sebagian kaidah hukum syarak dengan menggunakannya tidak pada tempatnya untuk menyebarkan pemikiran sekuler, seperti kaidah “mengerjakan mudarat yang paling ringan di antara dua mudarat” atau “menanggung kerusakan yang paling ringan di antara dua kerusakan”.
Juga kaidah “keadaan darurat mengizinkan kita untuk melakukan perkara yang dilarang”. Mereka akhirnya mengambil dua kaidah ini—atau yang semisalnya—untuk memisahkan Islam dari diri pemuda Islam, serta memecahkan dan melelehkan Islam dalam diri pemuda Islam.
Betapa banyak dari mereka yang mengambil peraturan dalam bidang pendidikan. Mereka mentransfer dan membebek dalam bidang ekonomi dan politik yang berlaku di dunia kufur ke negeri muslim, tanpa menyadari bahaya akan hal ini.
Dalam kondisi yang sangat buruk ini, pada kondisi anak-anak kita dibesarkan dan dididik, menjadi suatu kewajiban besar dan keharusan untuk para ayah dan ibu untuk berusaha merobohkan pemikiran dan mengubah kenyataan yang menyakitkan ini dan yang hampir menyimpangkan bangsa seluruhnya untuk jauh dari Islam.
Para ibu seluruhnya saat ini dituntut untuk mengerahkan segala usaha; mengorbankan waktu, jiwa, dan upaya untuk merealisasikan ini. Walau sesungguhnya hal tersebut merupakan kewajiban bagi para ulama, pelajar, pendakwah, militer, dan penguasa. Ini karena pada hakikatnya, mereka adalah pemimpin dan di antara mereka adalah pewaris para nabi—yang semua orang mengikuti mereka.
Tidak ada jalan keluar bagi umat Islam dari realitas yang menyakitkan ini, kecuali dengan pemikiran yang diikuti tindakan demi tujuan akhir dalam suasana kolektif. Ini karena pemikiran dan ilmu yang tidak diikuti dengan tindakan tidak akan mengubah realitas apa pun.
Bekerja tanpa pemikiran, wawasan, dan kelompok hanya akan merusak lebih dari yang diperbaiki. Aksi kolektif menjadi dasar dari persatuan, perlindungan, dan keselamatan setelah kita mengetahui bahaya sekularisme yang mengancam dan mengintai kaum muda.
Sebagai kesimpulan, kami mengingatkan kembali besarnya tragedi yang dialami oleh umat Islam pada umumnya dan masyarakat Tunisia pada khususnya. Kesulitan, penderitaan, perlawanan sebagian orang, tekanan, dan serangan dari para penguasa, antek, serta agen sekuler tidak akan menghalangi kami untuk menjalankan peran ini.
Oleh karena itu, perlu untuk memperjuangkan agama ini demi agama ini sendiri, serta menghilangkan debu untuk menjaga anak-anak kita dengan sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya cintai, yakni berupa perkataan dan perbuatan.
Begitu pula wajib bagi kita untuk menanggung konsekuensi dalam hal tersebut, serta mendeklarasikan pertempuran intelektual untuk melawan setiap orang yang memerangi Tuhan dan Rasul-Nya. Alhasil, tidak akan ada hasutan dan agama sepenuhnya untuk Tuhan.
Saya tidak menganggap bahwa dengan demikian saya telah berbicara tentang kewajiban wanita muslimah, tetapi cukuplah muslimah menjadi ibu rumah tangga sebagaimana mestinya, ini sebagai peringatan untuk keselamatan bagi kita semua. Semoga Allah memberi manfaat kepada kita.
Semoga risalah ini bisa mendatangkan pengaruh dalam mencerahkan perempuan muslimah pada umumnya, juga para ibu khususnya, tentang realitas ini sebagai seruan dalam mengklarifikasi bahaya sekularisme dan efeknya yang beracun dan mematikan bagi pendidikan anak-anak kita.
Hendaknya kita bersegera untuk melindungi diri darinya, menolaknya, serta membongkar seruan dan propagandanya agar kita kembali menjadi umat terbaik bagi manusia dengan izin Allah Taala, juga kehormatan bisa kembali lagi pada kita seperti sebelumnya.
Kami memohon kepada Allah pertolongan berupa taufik, petunjuk, dan jalan keluar. Segala puji bagi Allah di dunia dan di akhirat. []
Sumber: Prof. Khadijah binti Ahmidah