
Antara Isu Terorisme dan Bahaya Neoimperialisme
MUSTANIR.net – Selama ini, terorisme memang menjadi salah satu fokus isu yang menjadi perhatian besar pemerintah. Maklum sejak 2000-an telah terjadi beberapa kasus teror di Indonesia. Antara lain peristiwa pemboman beberapa gereja pada 2000 yang menewaskan 16 orang dan 92 orang luka-luka, peristiwa bom Bali I 2002 dengan korban 202 orang tewas dan bom Bali II tahun 2005 yang menewaskan 23 orang. Lalu pemboman Hotel JW Marriot (tahun 2003 dan 2009) dan Ritz Carlton (2009) yang memakan puluhan korban tewas dan luka-luka, serta berbagai peristiwa berbau teror lainnya yang pelakunya melibatkan perempuan dan anak-anak.
Mirisnya, yang selalu menjadi tertuduh sebagai penanggung jawab teror adalah umat Islam. Hal ini sejalan dengan narasi yang digaungkan secara global bahwa ajaran Islam adalah ideologi setan dan menjadi biang terorisme internasional. Sementara itu, gerakan-gerakan Islam yang mengusungnya dicitrakan sebagai gerakan radikal, tidak ubahnya seperti monster yang membahayakan.
Tahun-tahun tersebut benak masyarakat dunia benar-benar dicecar dengan berbagai berita tentang aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Nama Saddam Hosen, al-Qaeda, Jama’ah Islamiyah, Osama bin Laden, hingga IS1S yang diproklamasikan di Irak dan Suriah, benar-benar menjadi musuh bersama dunia internasional.
Amerika dalam hal ini, tampil terdepan bak pahlawan. Peristiwa bom WTC di New York, 9 September 2001, menjadi starting point untuk memulai Global War on Terrorism (GWOT) yang sejatinya merupakan perang melawan Islam. AS yang saat itu masih menjadi the number one, bahkan mampu memaksa semua negara di dunia untuk berjalan bersamanya dengan menerapkan kebijakan stick and carrot. Meskipun pada akhirnya, dunia tahu bahwa semua teror dan pelakunya adalah hasil setting-an intelijen Amerika.
Hidden Agenda
Kepemimpinan AS dalam proyek GWOT memang sempat mengalami masa keemasannya. Berbagai negeri muslim termasuk Indonesia pun akhirnya menerima kepemimpinan Amerika dengan segala intrik liciknya. Krisis ekonomi dan politik di dunia, termasuk yang melanda Indonesia, menjadi pintu masuk bagi Amerika menancapkan kuku-kuku hegemoninya.
Ironisnya, Amerika sendiri tidak mampu menutup agenda tersembunyi di balik proyek yang diusungnya. Amerika berkepentingan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dunia dari dampak kerusakan sistem kapitalisme global yang dipimpinnya. Pada saat yang sama, Amerika ketar ketir melihat adanya ancaman baru yang membahayakan posisinya.
Sejak kepemimpinan Uni Soviet (blok Timur) runtuh, tidak ada musuh potensial bagi hegemoni kapitalisme pimpinan Amerika selain ideologi Islam. Terlebih di berbagai negara di dunia, tengah muncul gelombang kesadaran untuk kembali melangsungkan kehidupan Islam. Terutama dipimpin oleh gerakan ideologis yang konsisten mengajak umat mengembalikan khilafah sebagai kepemimpinan Islam secara global.
Atas rekomendasi lembaga-lembaga think tank-nya, dibuatlah berbagai strategi menghadang kebangkitan Islam. Mulai dari pendekatan hard power, hingga pendekatan soft power. Dua strategi ini pun lantas di-copas oleh negara-negara di dunia, dan pelaksanaannya, dikawal langsung oleh Amerika dan di-support dananya.
Di Indonesia sendiri dibentuklah Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Negara Republik Indonesia (Densus 88 AT Polri) sebagai pelaksana teknis pendekatan hard power. Pasukan antiteror ini dibiayai oleh pemerintah AS melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri AS dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan US Secret Service. Bahkan tidak tanggung-tanggung, mayoritas staf pengajarnya adalah eks anggota pasukan khusus AS.
Ada pun untuk strategi soft power, atas rekomendasi RAND Corp., AS mengaruskan strategi deradikalisasi sekaligus membangun jaringan muslim moderat secara global. Di Indonesia sendiri salah satunya diimplementasikan dengan pembentukan BNPT yang bertugas mengoordinasi berbagai elemen masyarakat untuk turut serta dalam proyek rekomendasi RAND Corp. ini. Targetnya adalah menjauhkan umat dari pemahaman Islam ideologis (deideologisasi Islam) hingga pemahaman mereka kian sejalan dengan ide-ide Barat.
Itulah yang melatari munculnya narasi Islam ramah, Islam inklusif, Islam toleran, pluralisme beragama, dialog antaragama, dan sebagainya. Juga mulai marak program-program mainstream Islam moderat di berbagai lini kehidupan, termasuk kurikulum dan pembelajaran, proyek kepemudaan, media massa, keormasan, dan sebagainya. Bahkan, tampak ada upaya alienasi, monsterisasi, hingga kriminalisasi terhadap pemahaman Islam ideologis seperti jihad dan khilafah, beserta para pengusungnya.
Neoimperialisme Ancaman Nyata
Umat semestinya paham, bahaya yang mengancam sejatinya tidak datang dari Islam. Buruknya kondisi yang mereka hadapi sekarang justru diakibatkan tegaknya sistem kapitalisme global, serta hadirnya para penguasa antek kapitalis yang menyukseskan agenda penjajahan. Tidak heran jika kita melihat proyek liberalisasi dan kapitalisasi berbagai bidang kehidupan hari ini sedang gencar-gencarnya dilakukan.
Betul bahwa penjajahan fisik sudah berakhir, tetapi penjajahan pemikiran, ekonomi, politik dan budaya, benar-benar tengah berjalan masif dan didukung secara struktural. Penjajahan inilah yang memuluskan perampokan kekayaan umat Islam oleh negara-negara kapitalis dan menjerumuskan mereka pada krisis di berbagai bidang kehidupan, mulai dari kebodohan, kemiskinan, dekadensi moral, konflik horizontal, keterpecahbelahan, dan sebagainya.
Umat pun semestinya paham bahwa Islam ideologislah justru jalan keselamatan. Karena Islam adalah sistem hidup yang mensolusi seluruh problem kehidupan, dan aturannya dipastikan akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Semestinya mereka tidak terjebak oleh segala bentuk propaganda melawan Islam, termasuk dengan munculnya narasi terorisme yang sejatinya merupakan propaganda Barat mengadang kebangkitan Islam. Juga narasi lain yang digunakan untuk menjauhkan umat dari keinginan kembali hidup dalam sistem Islam, sebagaimana yang kental dalam konsep-konsep atau gagasan moderasi Islam.
Sungguh, Islam tidak mungkin tegak dengan baik jika diperjuangkan melalui jalan kekerasan. Oleh karenanya, paham dan aksi-aksi terorisme jelas bukan dari Islam dan bukan jalan menegakkan Islam. Kemunculan narasinya adalah fitnah keji demi mengadang keinginan umat untuk bangkit dengan Islam, sekaligus melanggengkan agenda neoimperialisme yang berjalan secara terang benderang.
Khatimah
Saatnya umat berjalan bersama para pejuang penegakan Islam yang berjalan di atas minhaj dakwah Rasulullah ﷺ. Umat tidak boleh gentar dengan narasi buruk dan berbagai fitnah tentang Islam karena justru di sanalah jalan keluar dari semua keburukan dan kunci kembalinya kemuliaan.
Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali ‘Imran: 110) []
Sumber: Muslimah News