Selamatkan akidah, ratusan Muslim Uighur tempuh perjalanan mencekam dari Cina menuju Turki
Ratusan Muslim Uighur telah meninggalkan Cina untuk menghindari penganiayaan dan diskriminasi agama yang mengancam keselamatan jiwa dan akidah mereka. Mereka melakukan perjalanan mencekam itu untuk bisa mencapai Turki.
Mereka yang akhirnya menetap di perumahan negara di kota Kayseri, di pusat kota Turki, mengatakan meskipun harus menempuh perjalanan yang penuh penderitaan, mereka merasa tetap harus melakukannya untuk menyelamatkan diri dari penindasan di negara asal mereka.
Ketika diberitahu bahwa wartawan akan mengunjungi mereka, para Muslim Uighur di Kayseri awalnya menolak untuk mendiskusikan dan berbagi mengenai bagaimana cara mereka meninggalkan Cina. Mereka menolaknya karena khawatir akan keselamatan keluarga dan saudara-saudara mereka yang masih berada di Cina.
Namun demikian, beberapa di antara mereka akhirnya setuju untuk berbicara dengan Al Jazeera, dengan bantuan seorang penerjemah, dengan ketentuan identitas mereka dirahasiakan, sebagaimana dilansir Documenting Opression Against Muslims pada Senin (9/2/2015).
Seorang pria, AB, mantan pedagang dan ayah dari tujuh anak, mengatakan dia tidak mendaftarkan kelahiran tiga anak-anaknya, dan berhasil menyembunyikan keberadaan mereka dari pemerintah Cina. Sementara anak bungsunya lahir dalam perjalanan ke Turki.
Dia menjelaskan mengapa dia meninggalkan Cina: “Tidak ada cara kami bisa tinggal di sana lagi. Istri saya tidak bisa menutupi kepalanya [dengan kerudung]. Kami tidak bisa membaca Al-Qur’an, dan bahkan ibadah pun dilarang,” katanya.
AB mengatakan beberapa temannya ditangkap dalam penggerebekan polisi kafir terhadap komunitas Uighur. Takut dirinya juga akan segera ditangkap, dia pun memutuskan untuk melarikan diri, tetapi karena dia tidak bisa mendapatkan paspor, dia harus pergi secara ilegal – yang berarti harus melewati jalur yang lebih berbahaya, katanya sambil menangis, meninggalkan empat anaknya dengan seorang teman.
“Kami tidak bisa membawa sisa anak-anak kami bersama kami karena kami tidak tahu ujung jalan yang kami tempuh. Kami tidak tahu apa yang sedang menunggu kami dalam perjalanan berbahaya ini. Saya tidak ingin mengirim semua anak-anak saya pada kehancuran mereka,” katanya.
“Saya pergi keluar setiap pagi pukul 7, dan saya tidak pernah berhenti memikirkan anak-anak saya untuk sejenak pun sampai saya kembali di malam hari. Tidaklah mudah untuk meninggalkan anak-anak Anda. Anda hanya bisa membayangkan sejumlah ketidakadilan yang memaksa kami untuk melakukannya,” katanya.
“Kami didampingi oleh keluarga lain di perahu dalam perjalanan ke Malaysia. Gadis kecil mereka yang berusia 5 tahun jatuh dari pangkuan ibunya ke laut. Kami tidak bisa menyelamatkannya karena tak satu pun dari kami yang bisa berenang. Tangisan ibunya masih juga terngiang di telinga saya.”