
Kenapa Demokrasi Disebut Sistem Kufur?
MUSTANIR.net – Tidak sedikit dari kalangan umat Islam, bahkan pada tataran ulama sekali pun yang masih gagal paham terkait apa itu sistem demokrasi.
Demokrasi selalu diidentikkan dengan kebebasan rakyat dalam memilih kepala negara (pemilu), bahkan demokrasi juga sering disamakan dengan syuro. Karena pandangan inilah mereka beranggapan demokrasi itu sesuai dengan Islam.
Padahal praktik demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan tidak sesederhana itu, Asas dari sistem demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan).
Pada titik inilah jurang perbedaan antara sistem demokrasi dengan sistem Islam tampak begitu terang benderang.
Masalah kedaulatan (as-siyadah) yang berkaitan dengan sumber hukum inilah, yang menyebabkan demokrasi dikatakan sebagai sistem kufur.
Sistem demokrasi meletakkan kedaulatan membuat hukum ada di tangan rakyat (as-siyadah li asy-sya’bi), sedangkan Islam kedaulatan berada di tangan hukum syara’ (as-siyadah li asy-syar’i).
Dalam pandangan Islam, satu-satunya sumber hukum (masdarul hukmi) adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Tidak boleh yang lain.
Dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 57 tegas disebutkan; inil hukmu illa lillâh, hak membuat hukum semata mata milik Allah. Barang siapa bertahkim dengan apa apa yang selain dari Allah subḥānahu wa taʿālā, maka dia fasik, dzalim atau bahkan bisa kafir (QS al-Maaidah 44, 45 & 47).
Sementara dalam demokrasi, benar-salah, baik-buruk, bukan ditentukan oleh dalil syara’ melainkan oleh hawa nafsu atas nama suara mayoritas (anggota parlemen). Maka jangan heran ada istilah “hukum konstitusi di atas hukum agama”.
Maka telah teranglah bahwa sistem demokrasi telah merampas hak Allah sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan ini merupakan kekufuran yang nyata.
Adi ibnu Hatim pernah mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di lehernya, kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Hai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu!” Kemudian aku melemparkannya.
Setelah itu, beliau membaca QS at-Taubah ayat 31 yang artinya: “Mereka menjadikan para pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”.
Kemudian aku berkata, “Sungguh, kami tidak menyembah mereka.”
Beliau menjawab; “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian ikuti; mereka pun menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, lalu kalian pun ikuti?”
Aku menjawab, “Memang benar.”
Beliau bersabda, “Itulah bentuk penyembahan kalian kepada para pendeta dan para rahib kalian.” (HR ath-Thabrani dari Adi bin Hatim).
Berkaca dari hadits di atas, bisa kita simpulkan bahwa aktifitas membuat hukum/aturan yang dilakukan para pendeta Nasrani tersebut sama dengan yang dilakukan oleh para penguasa kita (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) maka itu adalah bentuk kekufuran yang nyata.
Maka dari paparan di atas bisa kita simpulkan bahwa sistem demokrasi adalah sistem kufur, karena merampas kedaulatan Allah dalam menetapkan hukum/aturan bagi manusia. Bahkan saking kurang ajarnya sistem demokrasi itu, jikalau hukum Allah ingin diterapkan di suatu negeri, maka hukum itu harus didiskusikan dulu, direstui dahulu oleh para wakil-wakil rakyat.
Wallahu a’lam bishowab. []
Sumber: Dakwah Serpong