Solusi Islam dan Negara Islam atasi Banjir
Banjir di Indonesia memang bukan hal baru, setiap musim penghujan beberapa kota besar di Indonesia selalu jadi langganan. Ibu kota Jakarta, misalnya, tahun ini mendapat giliran sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total wilayah Jakarta yang terendam banjir selama Ahad (8/2) hingga Selasa (10/2) yaitu sebanyak 323 rukun warga, 88 kelurahan, 33 kecamatan. Sementara masyarakat yang terdampak langsung banjir sebanyak 16.387 kepala keluarga atau 56.883 jiwa. (nasional.republika.co.id,11/2/2015).
Sejarah mencatat Jakarta pernah dilanda banjir besar juga pada tahun 1621, 1654, 1872, 1893, 1909. Selanjutnya banjir pun terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, 2007, 2013, dan 2014. Sekarang baru saja Indonesia memasuki era Jokowi, kembali ibukota negara mengalami banjir, sampai muncul wacana presiden akan pindah ke Bogor demi mengungsi dari banjir.
Menurut pakar planologi dan tata kota Dr. Waluyo Sakarsono, sebenarnya untuk tangani banjir sudah ada rencana tata air Jakarta sejak zaman Belanda. Tahun 1923, rencana itu disusun oleh Prof Van Breen, kemudian Prof W.J Blommestein 1949, terus lembaga komando proyek banjir tahun 1960, master plan pengendalian banjr tahun 1973, proyek pantura tahun 1995, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta 2005, Rencana Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta tahun 2030, dll. (mediaumat.com, 21/2/2013).
Namun, meski pemerintah sudah berupaya mengatasi banjir, faktanya, selama lima tahun sebanyak 56 situ penting –untuk tangani banjir– di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi malah menghilang. Yang tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah dan terlihat diabaikan. Sedangkan luas total situ di Jabodetabek berkurang drastis yaitu 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektare untuk 184 situ. Padahal dengan potensi 42 danau, 13 sungai, kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga kapasitas 2 miliar kubik per tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah, serta terhindar dari banjir. (Iwan Januar, Kala Berkah Menjadi Musibah, 22/1/2014).
Sungguh aneh memang, persoalan banjir ini terus menerus berulang. Ganti gubernur berkali-kali, Jakarta tetap tak berubah. Apakah tidak ada ahli yang mampu mengatasi masalah ini? Ataukah ada faktor lain yang membuat masalah ini tidak pernah beres?
Mengurai Masalah
Dalam mengurai masalah banjir yang terus berulang ini, penulis sepakat dengan analisis Prof Fahmi Amhar (mediaumat.com, 21/2/2013), beliau nyatakan jika banjir itu hanya insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Tetapi jika banjir itu selalu terjadi, berulang, dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik. Banjir sistemik dapat selesai dengan proyek bendungan baru, pompa baru, kanal baru dll, ini berkaitan sistem-teknis.
Namun, jika masalahnya menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai, keserakahan investor yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran pemerintah yang tidak sesuai mengatasi bencana, pejabat yang tidak kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dsb, maka itu sudah terkait dengan sistem-non teknis. Sistem non teknis ini, jika saling terkait dan bermuara pada pemikiran mendasar bahwa semua ini agar diserahkan kepada mekanisme pasar sistem ekonomi kapitalis dan proses demokratis, maka persoalannya sudah ranah ideologis atau pandangan hidup.
Mekanisme pasar berarti menyerahkan semuanya pada hukum permintaan dan penawaran. Misalnya, kepemilikan tanah sepenuhnya tergantung pasar. Akibatnya, banyak orang yang tadinya punya lahan resapan air, akhirnya lahan itu dijual karena perlu uang. Dan demi profit, oleh investor lahan itu diubah menjadi real estate. Sedangkan demokratis, artinya semua peraturan diserahkan pada ‘kehendak rakyat’, padahal rakyat hanya legitimasi saja, sebab sejatinya wakil-wakil rakyat lebih mewakili kepentingannya sendiri. Bahkan, proses demokratis juga membuat para politisi hanya berpikir pendek 5 tahun kedepan, dan kadang hanya memikirkan bagaimana agar balik modal, dan bagaimana nanti bisa terpilih lagi.
Terbukti menurut Prof Amhar, mekanisme pasar ini hanya menghasilkan kerusakan lingkungan yang luar biasa dan menimbulkan masalah kemiskinan yang serius. Ini terjadi karena kebijakan penguasa dinilai tidak bisa melihat persoalan sebenarnya, tapi hanya memperhatikan sisi materi belaka apakah menguntungkan atau tidak. Rakyat hanya dijadikan obyek, sementara pemerintah sendiri bertindak laksana korporasi atau perusahaan, bukan pelayan dan pengayom.
Karena itulah harus ada perubahan ideologi agar berbagai permasalahan negeri ini, termasuk banjir, bisa terselesaikan. Sudah tidak layak Indonesia mempertahankan ideologi kapitalisme yang terbukti destruktif ini. Sebagai negeri dengan mayoritas berpenduduk Muslim, tentu tidak ada pilihan lain kecuali perubahan menuju ideologi Islam.
Solusi Islam Atasi Banjir
Sesuai uraian masalah yang dikemukakan sebelumnya, pendekatan penyelesaian problem banjir bukanlah domain individu maupun sekedar masalah kelompok-masyarakat, namun solusi banjir mesti ditilik dari perspektif kebijakan negara.
Untuk mengatasi banjir yang melanda sebuah negeri, menurut Syamsuddin Ramadhan (hizbut-tahrir.or.id, 6/1/2013), negara dalam Islam harus memiliki kebijakan mutakhir dan efisien, yang meliputi sebelum, ketika, dan pasca banjir. Kebijakan dalam mencegah terjadinya banjir tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, kasus banjir yang disebabkan keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dll, maka negara dalam Islam atau Khilafah Rasyidah akan menempuh beberapa upaya berikut:
(1) Membangun berbagai bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dll. Di masa keemasan Islam, bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun demi mencegah banjir maupun keperluan irigasi. Misalnya, di dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan Qusaybah, yang memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter, yang dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah. Di masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad-Irak, yang terletak di sungai Tigris. Di Spanyol, kaum Muslim berhasil membangun bendungan di sungai Turia, kehebatan konstruksinya membuat bendungan ini bertahan hingga sekarang. Bendungan tersebut mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia, Spanyol tanpa memerlukan penambahan sistem;
(2) Memetakan berbagai daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dll), dan selanjutnya mengeluarkan kebijakan melarang membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, negara akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka berbagai wilayah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan. Sedangkan daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun karena berbagai sebab terjadi penurunan tanah, sehingga terkena genangan atau banjir, maka negara khilafah akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu, dan jika tidak mungkin negara akan mengavakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan kompensasi;
(3) Membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apapun namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, dilakukan pengerukan lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, Khilafah juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau.
(4) Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan sebagai tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama musim kemarau atau paceklik air.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah akan menggariskan beberapa hal penting berikut:
(1) Membuat kebijakan tentang master plan, yang di dalamnya ditetapkan kebijakan sebagai berikut; pertama, pembukaan pemukiman atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase; kedua, penyediaan daerah serapan air; ketiga, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Dengan kebijakan ini, Khilafah mampu mencegah kemungkinan terjadinya banjir.
(2) Mengatur syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. Jika seseorang hendak membangun sebuah bangunan, baik rumah, toko, dll, maka ia harus memperhatikan syarat-syarat tersebut. Kebijakan tersebut tidak untuk menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan. Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasi, dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi warganya. Hanya saja, ketika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, diduga bisa mengantarkan bahaya, maka Khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Hal ini sesuai kaidah ushul fikih ad-dhararu yuzâlu (bahaya itu harus dihilangkan). Khilafah pun akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pandang bulu.
(3) Membentuk badan khusus yang menangani berbagai bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Selain dilengkapi peralatan canggih, petugas lapangan juga dilengkapi pengetahuan yang cukup tentang SAR (search dan rescue), serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat, dan bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
(4) Menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam yang harus dilindungi. Juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Termasuk memberi sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup.
(5) Menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. Ini sesuai ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi. Negara pun mendorong kaum Muslim menghidupkan tanah-tanah mati atau lahan kurang produktif, sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh.
Ketiga, dalam menangani korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan lokasi bencana. Lalu menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak, agar korban bencana alam tidak menderita wabah penyakit, kekurangan makanan atau terlantar. Selain itu, negara mengerahkan para alim ulama memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.
Terakhir, bagaimana solusi dana bagi negara jika bencana datang? Menurut Yahya Abdurrahman (syariahpublications.com, 4/2/2014), di dalam syariat Islam sudah diatur bagaimana negara Khilafah mendapatkan sumber pemasukan penanganan bencana, yakni:
Pertama, Pos fai’, yakni berbagai harta yang dikuasai kaum Muslim dari orang kafir, sebagai pengampunan, dengan tanpa pengerahan pasukan, tanpa bersusah payah, serta tanpa melakukan peperangan. Devisa negara yang berasal dari pos fai’ ini, sebagian dialokasikan untuk penanganan bencana alam.
Kedua, Pos kharaj (pungutan atas tanah kharajiyyah), setiap negeri yang masuk Islam melalui jalan peperangan/futuhat seperti Irak atau Mesir, juga negeri-negeri lain, telah ditetapkan oleh hukum syara sebagai tanah kharaj. Tanah ini akan dipungut biayanya yang disebut uang kharaj, dimana besarannya diserahkan kepada ijtihad khalifah. Devisa negara dari tanah kharaj ini terbilang besar, seperti yang diperoleh dari tanah Irak di masa Kekhilafahan Umar bin Khattab ra. Dari pos kharaj ini sebagian akan dialokasikan untuk pos penanganan bencana.
Ketiga, Pos milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Di dalam negara Khilafah berbagai kepemilikan umum seperti barang tambang migas, mineral, batu bara akan dikelola negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana alam.
Keempat, Pos dharibah (pungutan atas kaum muslimin). Ini bukan pajak. Bila dalam sistem kapitalisme pajak dijadikan urat nadi perekonomian, termasuk dalam penanganan bencana, Islam menolak jauh-jauh konsep ini. Haram bagi negara memungut pajak dari rakyat. Akan tetapi manakala kas negara kosong sedangkan kebutuhan mengayomi rakyat harus tetap berjalan, maka ada pungutan yang dinamakan dharibah. Perbedaannya dengan pajak adalah obyeknya. Dharibah hanya diambil dari warga muslim yang mampu/kaya, tidak dipungut dari yang menengah apalagi yang tidak mampu. Warga non muslim bahkan sama sekali tidak diambil dharibah-nya. Ini sesuai keputusan Rasulullah saw. yang beberapa kali meminta kaum muslim untuk mengalokasikan hartanya demi keperluan umum. Misal, Beliau saw. memotivasi kaum muslim untuk membeli sumur Raumah dari pemiliknya, seorang Yahudi. Hal tersebut dilakukan karena saat itu Madinah kekurangan air bersih. Akhirnya Utsman bin Affan ra. mewaqafkan tanahnya demi membeli sumur itu. Beliau saw. pun memuji sikap Utsman bin Affan ra.
Demikianlah paparan sederhana solusi komprehensif mengatasi bencana banjir menurut syariat Islam. Wallahu a’lam.