Antara/Wahyu Putro A

Staf Khusus Milenial dan Konflik Kepentingan

MUSTANIR.net – Bocornya surat dari Andi Taufan kepada Kemendes PDTT bisa menjadi contoh bagaimana konflik kepentingan memang tak bisa lepas dari lingkaran pemerintah di negeri ini.

Staf khusus presiden mulanya diatur dalam Perpres No. 3 tahun 2011 tentang Staf Khusus Presiden dan Staf Khusus Wakil Presiden. Namun peraturan ini kemudian dicabut dengan dikeluarkannya Perpres No. 17 tahun 2012 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden. Hingga hari ini, peraturan ini sendiri sudah mengalami tiga kali perubahan yaitu pada tahun 2015, 2018, dan 2020. Sehingga pelacakan terakhir tentang perubahan peraturan terkait stafsus presiden dan wapres ini jatuh pada Perpres No. 56 tahun 2020 yang baru diteken tanggal 6 April 2020 lalu.

Jika merujuk peraturan induk tahun 2012, staf khusus presiden memiliki tugas sebagai melaksanakan tugas tertentu yang diberikan oleh presiden di luar tugas-tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintah lainnya. Hal ini termaktub dalam pasal 18 Perpres No. 17 tahun 2012 dengan 14 (empat belas) posisi staf khusus presiden. Dalam melaksanakan tugasnya, para stafsus wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik dengan instansi pemerintah.

Sehingga secara langsung para staf khusus ini tidak memiliki wewenang untuk melakukan sesuatu dalam kapasitasnya secara mandiri. Sebab, segala tugas stafsus merupakan bagian dari koordinasi hierarkis yang diatur oleh Kantor Staf Kepresidenan dan juga tata kerja mereka diatur oleh Sekretaris Kabinet.

Dalam periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, keberadaan staf khusus menjadi sorotan. Hal ini tentu saja tak lepas dari pencomotan kata “milenial” yang memang sedang santer di perbincangan publik. Hal ini bisa saja dikarenakan adanya rasa tidak percaya diri pada kalangan pejabat di pemerintah pusat yang umumnya terdiri dari generasi pra milenial. Dalam bahasa luaran disebut sebagai boomers dan generasi X. Oleh karena itu, demi harapan untuk menggaet suara para milenial di negeri ini yang dianggap memiliki suara cukup besar secara politis.

Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2017, jumlah generasi milenial mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari total penduduk Indonesia. Proporsi tersebut lebih besar dari proporsi generasi sebelumnya seperti generasi X yang (25,74 persen) maupun generasi boomers dan veteran (11,27 persen). Demikian juga dengan jumlah generasi Z baru mencapai sekitar 29,23 persen. Dari jumlah itu, sekitar 55,1 persen generasi milenial tinggal di perkotaan.

Dalam laporan Kementerian PPA yang berjudul Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia dijelaskan bahwa generasi milenial perkotaan memiliki tiga ciri utama yaitu confidence, creative, dan connective. Hal ini yang kemudian ingin dijaring oleh pemerintah pusat dengan mengajak serta generasi milenial dalam ruang lingkup istana. Yaitu dengan mengedepankan ide kepercayaan diri, keberanian membuat gagasan, dan relasional antarpersonal yang luas.

Bisa diasumsikan bahwa langkah ini diambil oleh pemerintah pusat untuk menekan bisingnya kritik dari generasi milenial terhadap iklim politik di Indonesia. Khususnya, pasca Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017. Tekanan terhadap generasi boomers dan generasi X yang menguasai roda pemerintahan membuat mereka nampak perlu strategi untuk merangkul generasi tukang protes ini. Ditambah lagi, gerakan golput pada pemilu yang saat itu santer bergaung di media sosial, sebagai salah satu ruang maya bagi generasi milenial dalam melancarkan idenya.

Jika diruntut, hal ini juga beriringan dengan partisipasi partai-partai peserta Pemilu 2019 yang kemudian mulai menggaet kawula milenial untuk ikut ambil bagian. Bahkan, salah satu partai baru dengan berani mengangkat milenial sebagai fondasi utama mereka.

Tak cukup dari situ, proses rekonsiliasi antara pemerintah yang disokong para boomers ini kemudian merasa perlu menggaet milenial lebih ke dalam. Yaitu ke dalam lingkar istana. Hal ini kemudian direalisasikan dalam pengangkatan tujuh staf khusus Presiden dari generasi milenial pada periode kedua pemerintahannya. Tentu saja, nama-nama stafsus milenial ini tak lepas dari dua hal, pertama privilise dan kedua nama tenar orang tua.

Privilise dalam hal ini tentu saja hak istimewa bagi beberapa dari mereka untuk mencicipi pendidikan berkualitas wahid dengan embel-embel kampus Ivy League di AS. Nama tenar orang tua adalah hal lain yang sedikit banyak juga menjadi bagian dari privilise ini. Dari tujuh orang stafsus milenial, setidaknya ada lima orang CEO. Putri Tanjung sebagai CEO Creativepreneur, Belva Devara sempat menjadi CEO Ruang Guru, Andi Taufan sebagai CEO Amartha Mikro Fintek, Billy Mambrasar CEO Kitong Bisa, dan Angkie Yudistia sebagai CEO Thisable Enterprise.

Tentunya, pemilihan para chief executive officer ini tak lepas dari motor penggerak pemerintahan Presiden Jokowi yang berpusat pada kerja dan investasi. Dengan demikian, entrepreneur menjadi tolok ukur kesuksesan milenial yang diharapkan oleh pemerintah. Sehingga harapannya, setiap milenial di negeri ini dapat membuat perusahaannya masing-masing. Cara ini diharapkan pemerintah untuk dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat dan perekonomian negara secara langsung. Meski di sisi lain, dua hal fundamental dari pengentasan kemiskinan justru hadir dari pendidikan dan kesehatan. Hal ini mengutip buku Poor Economics yang ditulis dua pasangan peraih Nobel Ekonomi tahun 2019, Abhijit Banerjee and Esther Duflo.

Selebihnya, perihal jabatan stafsus dan kedudukan para milenial pada instansi privatnya masing-masing membuka potensi adanya konflik kepentingan.

Konflik kepentingan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi dijelaskan sebagai situasi yang memiliki potensi untuk merusak ketidakberpihakan seseorang karena kemungkinan benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Di sisi lain KPK juga mengutip Duncan Williamson yang mengartikan konfik kepentingan sebagai suatu situasi di mana seseorang pejabat publik, pegawai, atau profesional memiliki kepentingan privat dengan memengaruhi tujuan dan pelaksanaan tugas-tugasnya.

Lembaga Transparency International Indonesia dan Yayasan Tifa mendefinisikan konflik kepentingan sebagai situasi di mana seorang penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan dan kewenangan berdasar peraturan perundang-undangan memiliki atai diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenangnya sehingga memengaruhi kualitas dan kinerjanya. Mengutip Council of Europe, konflik kepentingan atau conflict of interest adalah potensi yang jika tak dikelola secara transparan dan akuntabel akan mendorong pejabat publik mengambil keputusan tak berdasar pada kepentingan publik.

Secara konstitusi, UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 ayat 14 (empat belas) menegaskan bahwa konflik kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.

Sedangkan, frasa lain yang kerap dikaitkan dengan konflik kepentingan adalah penyalahgunaan wewenang. Frasa ini tercantum dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga pada UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam kedua undang-undang itu, penyalahgunaan wewenang secara tersirat diartikan bahwa seseorang telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang. Atau dengan kata lain penyalahgunaan wewenang merupakan pelanggaran terhadap dasar kewenangan tertulis dengan maksud penyimpangan dan berpotensi merugikan negara.

TJA Pramesti dalam tulisannya yang mengutip Jean Rivero dan Waline juga menjelaskan bahwa penyalahgunaan wewenang dalam PTUN disebut juga detournement de pouvoir. Dalam artiannya, detournement de pouvoir bisa berarti sebagai tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.

Selain itu, pengertian lain yang ditulis Jean Rivero dan Waline adalah bahwa tindakan itu benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh UU dan peraturan-peraturan lain. Sehingga, dalam taraf prosedural, penyalahgunaan wewenang adalah praktik menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Definisi ini sekiranya tepat untuk menggambarkan bagaimana kasus Andi Taufan yang memakai kop surat Kantor Staf Presiden untuk menawarkan urusan perusahaannya (Amartha) pada Kementerian Desa dan PDTT lalu. Sebab dalam arti luas memang ia menujukan hal itu untuk kepentingan umum, dalam hal ini para camat seluruh Indonesia, tetapi menyimpang karena memasukkan kepentingan pribadi melalui Amartha.

Terkait penyalahgunaan wewenang ini, Indonesia memiliki banyak contoh kasus. Salah satu yang terbesar dan tak bisa lepas dari ingatan tentunya adalah kasus pemalsuan peta pengusahaan hutan dan pembakaran hutan di Sumatra oleh Bob Hasan. Bob Hasan adalah nama tenar yang sempat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Kabinet Pembangunan VII, kabinet titik nadir Jenderal Soeharto. Dalam dunia kehutanan, nama Bob Hasan selalu lekat dengan istilah HPH, atau Hak Pengusahaan Hutan, di mana pada tahun 1970-an ia menguasai 2 juta hektare lahan HPH melalui Kayumanis Group.

Di sisi lain, Bob Hasan yang merupakan salah satu kawan terdekat Soeharto dalam urusan bisnis ini juga tenar sebagai tokoh peletak dasar industrialisasi kayu nasional. Ibaratnya, jual-beli kayu sebagai komoditas ekspor tak akan pernah muncul di negeri inii jika tak ada peran Bob Hasan di masa lalu. Tak aneh jika pada 1997, namanya masuk jajaran orang terkaya di dunia menurut Forbes. Tentu saja, dalam daftar itu juga tertera nama Soeharto pada posisi keenam dan Sudono Salim (Liem Sioe Liong) pada posisi ke-76. Bob Hasan sendiri berada di posisi ke-106 dengan total kekayaan sekitar tiga miliar dollar AS.

Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme terbesar Indonesia bisa dibilang terjadi pada tiga tokoh di atas. Dan hal itu dilakukan dalam kurun waktu sekitar dua dekade masa terakhir pemerintahan Soeharto. Selepas turun dari kursi menteri, Bob Hasan sendiri kemudian diadili pada masa awal reformasi dengan kasus pembakaran hutan di Sumatra dan penyalahgunaan wewenang dalam pemalsuan peta penguasaan hutan. Mengingat posisinya saat itu yang berdiri di dua kaki, satu sebagai menteri dan sisi lain sebagai pengusaha. Bob Hasan adalah contoh nyata dari bagaimana urusan privat dan publik tak bisa serta-merta dijalankan secara adil.

Peraturan perundang-undangan dan beberapa pengertian tadi dapat menjadi dasar untuk tuntutan terhadap staf khusus Presiden jika di kemudian hari terdapat penyalahgunaan wewenang terkait kedudukan mereka sebagai pejabat dan sebagai pengusaha. Dalam hal ini tentu terkait pula dengan posisi mereka dalam setiap perusahaan yang mereka dirikan atau pimpin. Sehingga, sah-sah saja jika lantas setiap proyek pemerintah pusat yang bergandengan dengan Ruang Guru atau Amartha Mikro Fintek dan sebagainya perlu diusut proses relasinya. Sebab kedudukan stafsus tak serta merta dapat menjadi relasi bisnis untuk tujuan keuntungan privat. Apalagi, jika proyek itu terkait dengan kebijakan pemerintah terhadap publik secara luas.

Bocornya surat dari Andi Taufan kepada Kementerian PDTT bisa menjadi contoh bagaimana konflik kepentingan memang tak bisa lepas dari lingkaran pemerintah di negeri ini. Dan sudah barang tentu, hal ini hanya riak kecil dari lautan konflik kepentingan yang sudah jadi rahasia umum. Sebab proses bagi-bagi proyek bukan lagi kabar baru bagi masyarakat di negeri ini. Dan tak mengagetkan pula jika beberapa pejabat publik di negeri ini juga duduk pada jajaran tinggi suatu perusahaan tertentu. Harusnya, dalam hal ini sisi profesionalitas mereka harus dipisahkan secara tajam.

Urusan publik dan urusan privat memang agak rancu bagi mereka-mereka yang ingin mengeruk keuntungan dari kedua sektor. Yaitu sektor pemerintahan dan pasar secara luas. Atau, memang hanya mereka sekadar tak sengaja, tak sadar, bahkan lupa bahwa secara individu mereka berdiri di atas dua kaki. Satu sisi berpijak pada profesionalitas enterpreneur, dan satu sisi berpijak pada tanggung jawab terhadap negara, atau publik secara luas.

Dalam praktiknya di kemudian hari, harusnya negara bisa lebih teliti menyoal penempatan individu tertentu dari pihak swasta untuk masuk ke dalam lingkaran istana. Sebab, hal ini dapat menjadi bumerang bagi kredibilitas presiden. Bahkan sekadar teguran keras pun rasanya tak menghasilkan efek jera apapun. Apalagi, para stafsus, melalui Perpres No. 144 tahun 2015 mendapat hak keuangan sebesar 51 juta setiap bulannya. Yang sudah tentu, hal ini belum ditambah penghasilan mereka sebagai pemimpin perusahaan dan insentif lainnya dari negara.

Oleh karena itu, besaran anggaran negara ini yang kemudian harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai penyokong utama dari suatu negara. Jika kemudian besaran uang itu hanya menjadi pemanis bibir dan pelanggeng privilise beberapa individu saja, maka urgensi apa yang dikejar presiden melalui para staf khusus dengan embel-embel milenial ini? [] 

Sumber: Algonz Dimas B Raharja

About Author

Categories