Tak Sekedar Gadis Kecil
Tak Sekedar Gadis Kecil
MUSTANIR.COM – Nuansa senja di penghujung musim dingin begitu memesona. Jingga keperak-perakan. Begitu sempurna. Langit menjadi kanvas akan ciptaan-Nya. Sunset di negeri rantauan ilmu, Negeri Kinanah. Mesir I’m in love. Matahari perlahan tertutup awan nan lembut. Meninggalkan rasa takjub dan ketakutan akan kebesaran Ilahi Rabbiy.
Begitulah dunia. Silih berganti. Cerahnya mentari pagi dengan sinarnya yang hangat berlalu mengiringi kehidupan. Lantas kehidupan ditutup dengan tenggelamnya matahari sebagai perwujudan dunia yang fana. Tak bersisa kecuali amal-amal sholih yang akan diperhitungkan di hadapan-Nya kelak. Begitu singkat kehidupan ini.
Berbicara kehidupan yang tak lebih sekedar kejapan mata, ku teringat akan gadis kecil berambut pirang di bus merah bernomor 80/ yang ku tumpangi pagi ini. Gadis kecil itu cantik-menurut perspektif dunia Kapitalisme saat ini- dengan rambutnya yang pirang tak lupa dengan balutan syal hingga membuatnya tak henti-henti memainkannya di depan kaca bus meski membuat penumpang yang lain ikut menoleh.
Iya. Saat ini demikian fakta Kapitalisme berbicara. Kecantikan seseorang ditentukan oleh penampilan fisik. Cantik, tinggi, slim body, dan ciri-ciri fisik yang lainnya. Sekedar itu. Inilah yang membuatku memiliki mainstream yang berbeda. Sejak awal ku duduk- disamping jendela favorite tentunya- tak sengaja mata tertuju dimana gadis kecil itu duduk. Sejak itu pula, ku sudah memiliki perasaan yang tidak nyaman meskipun dia memiliki paras yang cantik.
Kecantikan di dalam Islam ditentukan oleh pola pikir dan pola sikap sesuai aqidah yang benar yang diyakininya hingga terbentuklah kepribadian yang islami. Khas dan unik. Yang tidak akan pernah dijumpai di bangku pendidikan kecuali pendidikan dalam Islam. Siapapun itu bisa dikatakan memiliki kepribadian jika ia mengabungkan pola pikir dan pola sikap islam. Bukan penampilan fisik yang menjadi standarnya.
Menutup aurat di dalam Islam itu adalah wajib dan haram untuk menampakkannya hingga orang lain- yang bukan mahram- tidak bisa memandang dengan seenaknya. Sekalipun masih kecil, tidak ada salahnya bukan untuk menutup aurat. Sehingga ketika dewasa sudah menjadi habit. Meski negeri ini, Mesir, adalah mercusuar ilmu namun ada sesuatu yang disayangkan jika dibandingkan dengan negeri zamrud khatulistiwa, Indonesia, disini tidak ada habit untuk anak kecil dipakaikan jilbab dan kerudung oleh kedua orangtuanya. Mereka baru mengenakan jilbab dan kerudung jika sudah baligh atau ketika masuk sekolah. Menyedihkan.
Seperti biasa, bis yang ku tumpangi ini akan meluncur jika penumpang dari Al Hayu Al ‘Asyir dirasa sudah tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Aku pun memanfaatkan waktu selama perjalanan- yang biasanya memakan waktu kurang lebih 45-60 menit- untuk membaca dzikir pagi, menyelesaikan ODOJ, dan tak lupa ku ambil handphone untuk menyelesaikan berbagai urusan yang belum sempat ku selesaikan karena waktu pagi hari tidak pernah tidak sibuk. Dan lamanya perjalanan menuju tempat kuliah adalah momen yang selalu ku tunggu untuk bisa sedikit rilex membaca setumpuk messages ‘penting’ bagi dunia baruku- dunia tulis menulis.
Sayang, pagi ini schedule harian di bis hancur berkeping-keping. Gadis kecil tadi mampu memalingkan duniaku. Membuatku fokus padanya. Tidak lain karena ku merasa geli dengan tingkah pola gadis kecil yang seharusnya tidak berbuat seperti itu. Gadis kecil itu entah mau kemana dan dengan siapa. Yang jelas, dia duduk bersebelahan dengan cowok seumuran yang tak ku sangkah memiliki tingkah yang tak berbeda dengan sang gadis kecil itu. Nakal.
Berbicara kenakalan remaja saat ini, benar-benar di luar akal sehat. Kenakalan yang tak bisa ditoleransi lagi. Seperti halnya gadis kecil tadi yang juga ‘kissing’ dengan anak cowok disebelahnya tanpa ada rasa berdosa atau apa. Oorghhh. Benar-benar membuat hari serasa mendung dengan awan pekat diiringi halilintar yang siap menurunkan hujan deras airmata saking shock nya melihat tingkah mereka di tempat umum- bis yang kutumpangi.
Dunia!!!
Inilah kondisi yang menimpamu. Inilah kondisi yang dialami negeri-negeri muslim. Tak berbeda dengan kehidupan di Amerika, Eropa, kehidupan hedonis di Korea Selatan hingga ujung dunia manapun. Faktanya sama bahkan hingga batas yang luar biasa. Kerusakan moral yang merenggut kehidupan remaja dimana mereka adalah generasi pejuang estafet kehidupan Islam. Bagaimana mungkin dunia akan bersandar kepada remaja jika remajanya sendiri sudah penuh dengan ‘noda’ kemaksiatan.
Inilah pentingnya kebangkitan pada diri umat Islam termasuk remaja. Kebangkitan menuju perubahan yang lebih baik. Perubahan apa yang mampu membangkitan umat? Tidak lain adalah dengan memahami bahwa kehidupan ini tidak ada dengan sendirinya. Semua yang ada di dunia ini adalah makhluk bagi penciptanya, Allah swt, yang harus memahami posisinya sebagai makhluk. Memahami dari mana kita datang, untuk apa kita diciptakan di dunia ini, dan akan kemana kita setelah kehidupan yang fana ini. Kemana kita akan lari???
Tanpa ada perubahan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri, mustahil umat Islam akan mengalami masa kejayaan dengan berkualitasnya remaja. Begitulah yang disampaikan oleh Allah swt di dalam kalamnya, Al Qur’an, bahwa:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغييروا ما بأنفسهم
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka”. (QS. Ar Rad’; 11)
Adalah dengan memahami tiga pertanyaan agung itulah manusia akan mengalami kebangkitan. Baik kebangkitan dalam berfikir maupun kemampuan untuk mempertahankan kebangkitan yang ada. Jika umat telah mampu menjawab bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah swt di dunia ini untuk senantiasa beribadah untuk amal di hari yang tidak ada naungannya, hari kiamat, maka tentunya manusia akan memperhatikan seluruh aktivitasnya selama melangkah di salah satu planet-Nya ini, bumi.
Berbeda dengan makna kehidupan dalam Kapitalisme yang menganggap bahwa dunia ini hanyalah tempat untuk menikmati kesenangan hingga terpuaskan meski dengan jalan yang mendzalimi orang lain. Hal ini tidak lain karena menduga bahwa kelak tidak ada penghisaban akan seluruh aktivitasnya selama di dunia. Ia akan seenaknya. Entah dengan cara menjajah Negara lain hingga benar-benar tunduk dengan hegemoninya atau dengan cara embargo untuk melanggengkan kekuasaannya atas negeri-negeri muslim.
Di dalam agama yang kaffahnya ini, Islam, manusia yang hidup tanpa visi misi bagaikan hewan. Inilah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an, mereka disebut bagaikan hewan bahkan lebih dari hewan. Mereka tidak mau berpikir, meskipun sudah diberikan akal (qolbu). Tidak mau menggunakan mata untuk melihat kebenaran. Telinga pun seakan ditutup tidak mau mendengar kebenaran.
Dan yang paling tahu untuk apa kita hidup, tentu saja yang menciptakan kita, Allah swt. Allah-lah yang Maha Tahu, paling mengerti untuk apa kita hidup, untuk apa Dia menciptakan kita. Adalah sangat rasional kalau kita mencari arti hidup dengan melihat firman Allah SWT di Al Qur’an. Dengan sangat jelas, Allah swt menyebutkan misi hidup utama kita adalah beribadah. Firman Allah swt: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.”. (QS Adz Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas dengan: agar mereka (jin dan manusia) menetapi ibadah kepada-Ku. Ibn al-Jauzi menafsirkan ayat di atas dengan: agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku. (Zâd al-Masîr, 8/43). Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-‘ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat Yang ia patuhi dan Yang dia ikuti perintah (ketentuan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/90).
So, makna ibadah adalah tunduk dan patuh kepada hukum-Nya. Inilah ibadah dalam pengertian yang luas, yakni taat kepada kepada seluruh aturan Allah swt. Taat kepada Allah artinya tunduk kepada seluruh aturannya. Tidak dibatasi hanya pada ibadah mahdhoh seperti sholat, zakat, puasa, haji. Tetapi juga aspek mu’amalah seperti ekonomi, politik, keluarga, pendidikan, dan juga pakaian.
Makna ibadah diatas juga berarti merupakan penolakan terhadap seluruh aturan yang bukan berasal dari Allah SWT. Sebab, beribadah semata-mata kepada Allah SWT, artinya semata-mata diatur oleh hukum Allah SWT. Menjadikan hukum selain Allah sebagai hukum, berarti bermakna menyembah dan tunduk kepada selain kepada Allah SWT.
Misi hidup inilah yang nanti akan dituntut pertanggungjawabannya oleh Allah swt. Misi hidup untuk beribadah inilah yang akan menghantarkan dia pada ghayahul ghayah (ultimate goal) seorang muslim yakni meraih ridho Allah swt. Dengan kerinduan yang penuh ridho-Nya, sementara diapun ridho kepada Allah swt: Firman Allah SWT:
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jam’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS Al Fajr: 27-30)
Imam Bukhori Muslim meriwayatkan dari Anas ra. Dari Rasulullah saw bahwa beliau pernah bersabda: ”Jenazah itu akan diikuti oleh tiga perkara, yakni keluarga, harta, dan amalnya. Yang dua perkara itu akan pulang, sedang yang akan tetap menemaninya hanya satu perkara. Keluarga dan hartanya akan pulang, sedangkan yang akan tetap menemaninya hanyalah amalnya”. Allahu ‘aliimun. [rs]
Ima Susiati
Mahasiswi Darul Lughah Al Azhar University, Cairo, Mesir.