Tawakal dan Rezeki
Tawakal dan Rezeki
لَوْ أَنَّكُمْ تَوكَّلُوْنَ عَلَى الله حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغدُوْ خِمَاصاً وتَرَوْحُ بِطَان
Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, niscaya Allah memberi kalian rezeki seperti Dia memberi burung rezeki; burung itu berangkat pagi dengan perut kosong dan kembali di sore hari dengan perut kenyang (HR Ahmad, ar-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban dan al-Hakim).
Hadis ini dicantumkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali di kitabnya, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hadis ke-49, melengkapi Arba’un an-Nawawiyah menjadi 50 hadits. Imam at-Tirmidzi berkata tentang hadis ini: “hasan shahih.”
Hadis ini merupakan pokok tentang tawakkul (sikap tawakal) dan rezeki. Hadis ini menegaskan bahwa siapa saja yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan member dia rezeki (Lihat: QS ath-Thalaq [65]: 3).
Sikap tawakal, usaha dan rezeki harus didudukkan dengan tepat. Masalah ini termasuk salah satu masalah akidah yang sudah terkotori oleh debu dalam pemahaman kaum Muslim yang membuat akidah kaum Muslim tidak lagi muntij (produktif).
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani menjelaskan di dalam Fath al-Bârî bahwa asal dari tawakkul adalah al-wukûl. Dikatakan: wakkaltu amrî ilâ fulân, artinya: aku mengembalikan urusanku—dan menyandar-kannya kepada—si fulan. Dikatakan pula: Wakkala fulân, artinya: dia mencukupkan (suatu perkara) kepada si fulan karena percaya dengan kemampuannya.
Kata Ibn Hajar al-‘Ashqalani pula, yang dimaksud tawakal adalah keyakinan terhadap apa yang ditunjukkan oleh ayat:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah Yang memberi rezekinya (QS Hud [11]: 6).
Tawakal bukanlah meninggalkan sebab dan hanya bersandar pada apa yang datang dari makhluk. Yang demikian kadang menjerumus-kan pada lawan dari apa yang diinginkan dari tawakal.
Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menjelaskan, hakikat tawakal adalah benarnya penyandaran hati kepada Allah SWT dalam meraih maslahat dan menolak madarat dari urusan dunia dan akhirat; mewakilkan (menyerahkan) semua urusan kepada Allah SWT; serta perealisasian iman bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, memadaratkan dan memberikan manfaat kecuali Dia.
Realisasi sikap tawakal itu tidak menafikan upaya menempuh berbagai sebab. Allah SWT justru memerintahkan kita menempuh sebab-sebab itu, yakni melakukan ikhtiar dan usaha. Pada saat yang sama Allah SWT juga memerintahkan kita untuk bertawakal kepada Dia. Dengan demikian usaha menempuh berbagai sebab atau menjalankan kaidah sababiyah merupakan bentuk ketaatan badaniah kepada Allah SWT. Adapun tawakal dengan hati kepada Allah SWT merupakan keimanan kepada Dia. Perintah menempuh sebab dan perintah bertawakal adalah perintah pada dua wilayah yang berbeda serta harus ditempatkan dan dijalankan pada wilayahnya masing-masing. Jadi menempuh sebab dan tawakal harus ada pada saat bersamaan dan saling beriringan.
Hadis ini mengaitkan tawakal dengan rezeki. Tawakal dalam konteks ini pada dasarnya adalah keimanan bahwa di tangan Allah sajalah rezeki setiap hamba; bahwa Allah telah menetapkan dan menjamin rezeki bagi tiap hamba. Rezeki itu akan diberikan kepada hamba tersebut dalam kondisi apapun.
Jadi al-mutawakkil (orang yang bertawakal) hakikatnya adalah orang yang tahu bahwa Allah menjamin untuk hamba-Nya rezeki dan kecukupannya. Dengan itulah ia percaya kepada Allah SWT atas apa yang Dia jamin. Hatinya tsiqah. Ia merealisasikan penyandaran dirinya kepada Allah terkait rezeki dan yang lainnya yang telah Dia jamin. Rezeki itu telah dibagi untuk tiap hamba, baik itu orang yang baik (birrun) atau jahat (fâjirun), Mukmin ataupun kafir. Karena itu rezeki hamba itu tetap datang dan tetap Allah berikan ketika hamba itu memintanya baik dengan cara halal maupun haram. Namun, orang yang bertawakal kepada Allah, karena keyakinan dan tawakalnya, ia tidak akan mencederai tawakalnya dengan meminta rezeki secara haram. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ وَاتَّقُوا الله يَا أَيُّهَا النَّاسُ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
Hai manusia, sesungguhnya salah seorang kalian tidak akan mati sampai Allah menyempurnakan rezekinya. Karena itu janganlah kalian menganggap lelet rezeki, dan bertakwalah kepada Allah, hai manusia; baguslah dalam meminta, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Majah).
Rasul saw. juga bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى الله مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِالله وَلا تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ الله وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah sukai daripada Mukmin yang lemah. Pada masing-masing itu (yang kuat dan yang lemah) ada kebaikan. Perhatianlah apa yang manfaat untuk kamu, mintalah tolong kepada Allah serta jangan menggampangkan perkara (tasahul). Jika sesuatu menimpa kamu maka jangan engkau berkata, “Seandainya aku melakukan begini dan begini.” Akan tetapi, katakanlah, “Itu telah menjadi ketetapan Allah. Apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia lakukan.” Sesungguhnya kata-kata “law (seandainya)” itu membuka aktivitas setan (HR Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Rezeki setiap hamba telah Allah tetapkan. Umar bin Khathab berkata, “Di antara hamba dengan rezekinya ada tirai. Jika ia qana’ah dan jiwanya ridha, maka rezekinya datang kepada dia. Jika ia mendobrak dan merobek tirai tersebut, hal itu tidak menambah rezekinya.”
Karena itu, hendaknya yang dibangun adalah sikap qana’ah, ridha dan sabar, serta mencukupkan diri meminta rezeki dengan cara halal. Sebaliknya, hendaknya tidak tergesa-gesa dan meminta rezeki dengan cara haram.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Yoyok Rudianto/Yahya Abdurrahman]