Tawassul (Mencari Perantara/Wasilah Kepada Allah) dalam Berdo’a
Tawassul (Mencari Perantara/Wasilah Kepada Allah) dalam Berdo’a
Oleh : M. Taufik N.T
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maa-idah 35)
Wasilah dalam ayat ini bermakna مَا يُقَرِّبكُمْ إلَيْهِ مِنْ طَاعَته (= apa-apa yang mendekatkan dirimu kepada-Nya dengan jalan taat)[1]
Tawassul Yang Tidak Ada Pertentangan Kebolehannya:
1. Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah – (QS al-A’raf: 180)
2. Tawassul melalui Amal Saleh
3. Tawassul melalui do’a Rasulullah dan doa saudara mukmin yang masih hidup.
4. Tawassul dengan minta do’a Rasulullah (syafa’at) pada hari kiamat
Tawassul Yang Dipertentangkan Kebolehannya:
1. Tawassul melalui Dzat (Diri) Para Nabi dan Hamba Saleh Setelah wafatnya
2. Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh
Beberapa Landasan Yg Difahami Berbeda
1. Tawassul Kepada Rasul Saat Masih Hidup: Dari Utsman bin Hunaif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia (Allah) menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata:“Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca do’a berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi –Mu Muhammad, Nabi yang penuh rahmat, ( Ya Muhammad) sesungguhnya aku telah datang menghadap Tuhankudengan (perantaraan) engkau untuk meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku
[HR. at-Tirmidzi (no.3578), an-Nasa’i (no. 10495), Ibnu Majah (no. 1385), Ahmad (no. 16789), al-Hakim (1/313)]. At Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan shahih, Al Hakim menyatakanhadits ini shahih menurut syarat Bukhory dan Muslim. Al A’dzomy menyatakan sanadnya shahih dalam Ta’liq Shahih Ibnu Khuzaimah, Adz Dzahabi mensahihkannya, Al Albani menyatakan hasan shahih dalam Misykâtul Mashâbîh]
2. Tawassul Kepada Orang Shaleh: Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Muththalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا ، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ
Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan. (HR. Bukhari 2/27)
3. Tawassul Kepada Rasul Setelah Beliau Wafat: Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Lalu lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku …. [HR. Ahmad ( 4/138), at-Tirmidzi (5/569), Ibnu Majah (1/441), Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/313) dia mengatakan hadis ini sanadnya sahih, dan disepakati oleh adz Dzahaby lihat تَنْبِيهُ الهَاجِدْ إلَى مَا وَقَعَ مِنَ النَّظَرِ فى كُتُبِ الأَمَاجِدِ (2/28)]
Sedangkan yang tidak menggunakan tawassul kepada diri (dzat) orang yang sudah meninggal dalam berdo’a, memahami lafadz إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ (sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi –Mu) dan yang semakna dalam hadits-hadits tersebut dengantakwilan:
إِنِّي أَسْأَلُك بِإِيمَانِي بِهِ وَبِمَحَبَّتِهِ
Sesungguhnya aku memohon kepada Engkau dengan (perantaraan) imanku kepadanya dan kecintaanku kepadanya (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 14/156). Sehingga mereka menolak dikatakan bertawassul dengan dzat/diri Nabi setelah meninggal. Namun hal ini dibantah oleh orang yang bertawassul kepada diri (dzat) orang yang sudah meninggal dalam berdo’a dengan menyatakan bahwa: bertawassul kepada diri (dzat) orang yang sudah meninggal pada dasarnya adalah karena kecintaan mereka kepada orang yang sudah meninggal tersebut, dan kecintaan ini adalah termasuk amal dari orang yang bertawassul, sehingga masih termasuk dalam kategori bertawassul dengan amal shalih sendiri[2]. Sehingga tidak ada bedanya menyatakan إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ maupun إِنِّي أَسْأَلُك بِإِيمَانِي بِهِ وَبِمَحَبَّتِهِ. Lebih lanjut, yang membolehkan tawassul memberikan beberapa catatan, antara lain[3]:
a. Tawassul adalah salahsatu cara berdo’a, dan yang dituju asalnya (hakikatnya) adalah Allah SWT, mengingkari hal ini berarti telah musyrik.
b. Tidak boleh bertawassul kepada suatu wasilah kecuali karena kecintaan kepada yg dia bertawassul dengannya dan kepercayaan bahwa Allah mencintai orang yang jadi wasilah tersebut, walaupun dalam hal ini memang ada ikhtilaf, dan sebagian sangat tidak menyukai hal ini.
c. Orang yang bertawassul jika ia mengi’tikadkan bahwa yang dia jadikan wasilah mampu memberikan manfa’at atau mudlorot sendiri maka telah musyrik.
d. Tawassul bukanlah perkara yang esensial dan penting, dan tidaklah pengabulan do’a bergantung dengannya, bahkan hukum asal berdo’a adalah langsung kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Baqarah: [4]
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
Dan jika hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat.
Kesimpulan
Ada Ikhtilaf mengenai tawassul dg orang yang sudah mati, ringkasnya[5]:
a. Mayoritas Ahli Fiqh (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah yang akhir, dan Hanabilah) membolehkan tawassul dg nabi saw, baik saat beliau hidup maupun sesudah beliau wafat[6]. Al Qashtalani meriwayatkan bahwa Imam Malik membolehkan juga, ketika ditanya kemana menghadap saat berdo’a, ke kiblat atau ke kubur Rasulullah SAW? Maka Imam Malik menjawab:
وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ
Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada nabi saw) maka Allah akan menolong engkau[7]. Dan Imam Nawawi juga berpandangan seperti ini[8].
b. Sebagian ulama Hanafiyyah, semisal Abu Yusuf memandang tawassul dengan ucapan بِحَقِّ رُسُلِك (demi kebenaran Rasul-Mu) dan ungkapan semisalnya, hukumnya makruh.
c. Ibnu Taymiyyah dan sebagian kalangan akhir madzhab Hanbali menyatakan tidak boleh bertawassul dengan dzat nabi SAW. Akan tetapi Ibnu Taymiyyah membolehkan jika dihadirkan makna tawassul dengan keimanan dan kecintaan kepada nabi[9], dalam titik ini seharusnya pendapat mereka bisa bertemu walaupun mungkin beda pengungkapan.
d. Adapun tawassul dengan selain nabi, pembahasannya sama dengan diatas.
Saya menulis artikel ini bukan bermaksud ikut campur dalam perdebatan sengit di beberapa blog, namun saya berharap baik yang pro maupun yang kontra bisa melihat permasalahan umat yang jauh lebih besar yang seharusnya mereka ikut berjibaku mengatasinya. Adapun ikhtilaf dalam masalah ini tidak cukup untuk menganggap orang yang berbeda pendapat telah keluar dari Islam, atau saling serang dengan predikat telah musyrik, kafir atau sesat. Allahu Ta’ala A’lam. [https://mtaufiknt.wordpress.com]
[1] Tafsir Jalalain, Tafsir Rûhul Ma’âniy, dan tafsir Al Qasimy
[2] Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, Mafâhim Yajibu An Tushahhah, bab Mafhûmut Tawassul, (kitab ini memang juga dibantah oleh kitab lain yang menentang tawassul, namun masalah ikhtilaf walaupun sampai nanti juga senantiasa ada bantahan dan bantahan balik, tidak akan ada habisnya)
[3] Diringkas dari Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, Mafâhim Yajibu An Tushahhah, bab Mafhûmut Tawassul
[4] أن التوسل ليس أمراً لازماً أو ضرورياً وليست الإجابة متوقفة عليه بل الأصل دعاء الله تعالى مطلقاً، كما قال تعالى: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 14/157 dst
[6] شرح المواهب 8 / 304، والمجموع 8 / 274 والمدخل 1 / 248 وما بعدها، وابن عابدين 5 / 254، والفتاوى الهندية 1 / 266، 5 / 318، وفتح القدير 8 / 497 – 498، والفتوحات الربانية على الأذكار النووية 5 / 36
[7] وَقَدْ رَوَى هَذِهِ الْقِصَّةَ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ فِهْرٍ فِي كِتَابِهِ ” فَضَائِل مَالِكٍ ” بِإِسْنَادٍ لاَ بَأْسَ بِهِ وَأَخْرَجَهَا الْقَاضِي عِيَاضٌ فِي الشِّفَاءِ مِنْ طَرِيقِهِ عَنْ شُيُوخٍ عِدَّةٍ مِنْ ثِقَاتِ مَشَايِخِهِ
[8] وَقَال النَّوَوِيُّ فِي بَيَانِ آدَابِ زِيَارَةِ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثُمَّ يَرْجِعُ الزَّائِرُ إِلَى مَوْقِفٍ قُبَالَةَ وَجْهِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّل بِهِ وَيَسْتَشْفِعُ بِهِ إِلَى رَبِّهِ،
[9] وَيَذْهَبُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ إِلَى أَنَّ التَّوَسُّل بِلَفْظِ ” أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ ” يَجُوزُ إِذَا كَانَ عَلَى تَقْدِيرِ مُضَافٍ، فَيَقُول فِي ذَلِكَ: فَإِنْ قِيل: إِذَا كَانَ التَّوَسُّل بِالإِْيمَانِ بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَاعَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ: تَارَةً يَتَوَسَّل بِذَلِكَ إِلَى ثَوَابِ اللَّهِ وَجَنَّتِهِ (وَهَذَا أَعْظَمُ الْوَسَائِل) وَتَارَةً يَتَوَسَّل بِذَلِكَ فِي الدُّعَاءِ – كَمَا ذَكَرْتُمْ نَظَائِرَهُ – فَيُحْمَل قَوْل الْقَائِل: أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ: إِنِّي أَسْأَلُك بِإِيمَانِي بِهِ وَبِمَحَبَّتِهِ، وَأَتَوَسَّل إِلَيْك بِإِيمَانِي بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَقَدْ ذَكَرْتُمْ أَنَّ هَذَا جَائِزٌ بِلاَ نِزَاعٍ. قِيل: مَنْ أَرَادَ هَذَا الْمَعْنَى فَهُوَ مُصِيبٌ فِي ذَلِكَ بِلاَ نِزَاعٍ، وَإِذَا حُمِل عَلَى هَذَا الْمَعْنَى لِكَلاَمِ مَنْ تَوَسَّل بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ السَّلَفِ، كَمَا نُقِل عَنْ بَعْضِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَعَنْ الإِْمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ، كَانَ هَذَا حَسَنًا، وَحِينَئِذٍ فَلاَ يَكُونُ فِي الْمَسْأَلَةِ نِزَاعٌ، وَلَكِنْ كَثِيرٌ مِنَ الْعَوَّامِ يُطْلِقُونَ هَذَا اللَّفْظَ، وَلاَ يُرِيدُونَ هَذَا الْمَعْنَى