Tercelanya Bakhil Buah Dari Cinta Dunia
Tercelanya Bakhil Buah Dari Cinta Dunia
KIKIR atau dalam bahasa arab disebut “bakhil” merupakan sifat tercela lainnya. Dalam konteks agama Islam, maksud bakhil lebih dikhususkan kepada sifat seseorang yang tidak ingin mengeluarkan harta yang wajib dikeluarkan, baik dalam ketentuan agama seperti zakat, nafkah keluarga, atau menurut ketentuan prikemanusiaan seperti sedekah, infak, dan hadiah.
Bakhil merupakan buah dan akibat dari cinta dunia. Allah SWT melarang siapapun memiliki sifat bakhil, seperti yang ada dalam firman-Nya berikut ini: “Janganlah menjadi orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka. Mereka mengira kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada Hari Kiamat. (QS. al-Imraan [3]: 180)[i]
Rasulullah juga mengingatkan dalam salah satu haditsnya, Dari Jabir r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,”Takutlah engkau semua dari perbuatan kikir, sebab sesungguhnya kikir itu telah membinasakan orang-orang – yakni ummat- yang sebelummu. Kikir itulah yang menyebabkan mereka suka mengalirkan darah-darah sesama mereka dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan pada mereka.” (HR. Muslim). [ii]
Sedangkan Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sifat kebakhilan itu disebabkan oleh dua hal. Yaitu angan-angan yang panjang dan terlalu mencintai harta. Selain menyebabkan kikir, kedua hal ini jugalah yang membuat seseorang menjadi lupa bahkan tidak takut pada kematian. Manusia akan senantiasa disibukkan untuk mengejar materi namun ia enggan untuk berbagi, karena merasa apa yang didapatkan berkat usahanya sendiri.
Maka untuk mengobati sifat kikir, Imam Ghazali menganjurkan untuk mengurangi angan-angan, sehingga ia tidak bergelut dengan kebutuhan-kebutuhan sekundernya. Ataupun merenungkan kematian, bahwa harta yang dipunya tidak akan dibawa hingga akhirat, sehingga jalan terbaik untuk menyelamatkan dirinya dengan mendermakan harta yang dimiliki di jalan Allah.[iii]
[i] Syamsudin Muhammad, (2007), Dosa-dosa Besar, Solo: Pustaka Arafah, cet. 5, hlm. 12
[ii] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, hlm. 273
[iii] Imam al-Ghazali, (), Mutiara Ihya Ulumudin, Bandung: Mizan, hlm. 266-267