Titik Jenuh Demokrasi
MUSTANIR.net – Jargon demokrasi yang membius para pejuangnya sesungguhnya berakar pada sejarah kelam masyarakat Kristen Eropa. Jargon “vox populi, vox dei” adalah ciri khas demokrasi yang artinya “suara rakyat adalah suara Tuhan.” Istilah ini merupakan antitesis jargon “vox rei, vox dei” atau “suara kaisar/raja adalah suara Tuhan”.
Penindasan oleh para raja yang mendapat legitimasi dari gereja memunculkan perlawanan dari rakyat pada masa itu. Berikutnya, muncul kesepakatan bahwa agama tidak layak mencampuri perkara apa pun. Agama hanya ada di altar-altar suci peribadahan, bukan dalam sistem bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang dikenal dengan istilah sekularisme.
Selanjutnya, jargon “suara rakyat adalah suara Tuhan” memunculkan keyakinan bahwa rakyatlah yang sejatinya berdaulat. Namun, benarkah demikian? Tentu tidak! Realitasnya, anggapan bahwa demokrasi menempatkan rakyat setara dengan suara Ilahi terlalu hiperbola. Sebagai sebuah sistem politik, demokrasi sejatinya mengadopsi ide kebebasan. Itulah sebabnya demokrasi juga disebut sebagai sistem liberal. Bahkan, kebebasan menjadi hal agung dalam demokrasi.
Dalam sistem ini, manusia merasa berhak merumuskan berbagai kebijakan yang mewadahi prinsip kebebasan tanpa batas. Lantas, di mana suara Tuhan itu? Hal itu tentu tidak mungkin kita temukan pada sistem yang justru menafikan aturan Tuhan dalam kehidupan mereka.
Dalam pemerintahan, demokrasi memberikan peluang bagi siapa pun untuk berkompetisi secara bebas, bahkan untuk meraih kekuasaan. Prinsip kebebasan ini pula yang melegitimasi masuknya para elite di ranah politik. Dengan kapital, para elite dan kroninya berpeluang besar mengendalikan kekuasaan.
Pada titik jenuh sistem politik demokrasi, tentu saja manusia kerap memunculkan pembahasan moralitas sebagai kritik. Hanya saja, karena kebebasan menjadi prinsip demokrasi, kebenaran pun bersifat relatif. Untuk itu, kita tidak perlu berbusa-busa bicara moralitas di dalam sistem demokrasi karena kebenaran tunduk pada syahwat manusia.
Untuk mewadahi pendapat masyarakat yang beragam, demokrasi mengadopsi sistem voting sebagai jalan tengah. Meski meyakini jalan tengah sebagai solusi, tetap saja banyak pertentangan di masyarakat. Konsep trias politica ala Montesquieu itu menunjukkan bahwa lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif kerap bertentangan karena memihak kepentingan elite tertentu.
Lihat saja kondisi hari ini, ketika MA dan MK sebagai lembaga yudikatif berselisih jalan dengan DPR. Semua itu karena jalannya praktik politik sejatinya berada di dalam kendali para elite. Dengan begitu, siapa yang sejatinya memiliki kuasa di negeri demokrasi? Tentu saja tetap para elite. Jadi demokrasi sesungguhnya tidak lebih sebagai alat politik yang menopang kekuasaan pejabat yang bersekongkol dengan pemilik modal.
Sedangkan rakyat dalam sistem demokrasi, nyatanya suara mereka tidak sesakral suara Tuhan. Apalagi, suara manusia pada dasarnya rawan dengan berbagai perbedaan kepentingan, baik itu rakyat, lembaga negara atau siapa pun, akan selalu ada pertentangan. Inilah kecacatan demokrasi, yang memang sudah cacat sejak lahir. Sebaliknya, secara fitrah, manusia membutuhkan aturan yang menihilkan perbedaan dan pertentangan.
Meninggalkan Demokrasi
Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History menulis bahwa pemenang pertarungan antarideologi dari masa ke masa adalah demokrasi liberal dengan dukungan ekonomi kapitalis. Fukuyama berpendapat bahwa demokrasi liberal mungkin merupakan titik balik dari evolusi ideologis dan bentuk final pemerintahan manusia.
Hanya saja, pernyataan Fukuyama ini memunculkan banyak perdebatan. Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization menyebutkan adanya kecenderungan kebangkitan Islam yang menentang nilai-nilai dan peradaban Barat. Namun berbeda dengan Huntington, dalam bukunya yang berjudul Demokrasi Sistem Kufur, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, seorang pemikir dan politisi Islam menjelaskan bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam secara diametral. Ini bukan semata karena cacat bawaan yang melekat pada demokrasi, tetapi juga karena prinsip dasar demokrasi bertentangan dengan Islam.
Pemikiran Huntington seakan-akan membenarkan postulat bahwa Islam sendiri memiliki pandangan khas mengenai sistem pemerintahan. Sedangkan Syekh Abdul Qadim Zallum memaparkan lebih jauh alasan bahwa umat Islam harus meninggalkan demokrasi. Di antara pemaparannya adalah sebagai berikut.
• Pertama, demokrasi sesungguhnya lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan.
Ini bertentangan dengan Islam karena selayaknya manusia tunduk dan patuh pada aturan Sang Khalik. Sumber kekacauan hidup justru tercipta saat manusia meninggalkan agama sebagai sistem kehidupan. Bagaimanapun, secara fitrah hanya aturan Sang Penciptalah sumber ketenangan hidup manusia.
• Ke dua, kedaulatan yang katanya ada di tangan rakyat dalam demokrasi bukan hanya utopis, tetapi juga bertentangan dengan syariat.
Dalam Islam, hanya Allah semata pembuat hukum, bukan manusia. Terlebih banyaknya pertentangan karena pola pikir dan kepentingan manusia yang berbeda-beda. Oleh karena itu, aturan yang bersumber dari Sang Pencipta jelas aturan terbaik bagi manusia.
• Ke tiga, prinsip kebebasan yang mengakomodasi kebebasan berpendapat, berekspresi, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan beragama adalah sumber kekacauan hidup hari ini.
Dalam kebebasan kepemilikan, misalnya, demokrasi mengakomodasi manusia untuk memiliki segala sesuatu tanpa batas, meski sesuatu itu merupakan kepemilikan umum seperti tambang dan SDA lainnya. Hal ini memunculkan penguasaan para pemodal atas aset strategis negara yang seharusnya menjadi milik umum. Demikian pula dalam jaminan kebebasan berekspresi, manusia bebas menetapkan ekspresi seksualnya seperti kaum LGBTQ meski melanggar fitrah.
Dengan demikian jelas, bagi umat Islam, meninggalkan demokrasi bukan semata atas alasan kesengsaraan akibat penerapannya hari ini, tetapi juga sebagai konsekuensi keimanan, yakni tidak boleh menghamba pada hukum dan sistem selain dari Allah. Allah berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50)
Meski demikian, di dalam persepsi masyarakat sekuler, demokrasi telanjur diterima sebagai sistem terbaik. Sistem ini dianggap cocok untuk masyarakat yang heterogen, termasuk di antaranya Indonesia. Bahkan, umat Islam sendiri gamang untuk menyuarakan penerapan hukum Islam dengan alasan heterogenitas.
Di sini kita tidak boleh lupa bahwa Rasulullah ﷺ pun menerapkan syariat Islam di tengah masyarakat yang heterogen. Kita juga bisa menapaki sejarah peradaban Islam di Spanyol yang penduduknya berasal dari agama dan etnis yang beragam.
Memang, dalam benak masyarakat sekuler, penerapan hukum Islam di level negara akan menghalangi kebebasan beragama bagi warga nonmuslim. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa umat nonmuslim yang hidup di bawah khilafah Islam tetap bisa menjalankan agama yang mereka anut. Bahkan, ketika Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, para penganut Kristen Koptik merasa damai hidup di bawah naungan khilafah.
Khatimah
Sungguh, masyarakat membutuhkan banyak ruang diskusi untuk melakukan komparasi sistemis antara Islam dan demokrasi.
Meski banyak yang menganggap bahwa Islam dan demokrasi memiliki kesamaan dari asas musyawarah, sejatinya tidaklah sesederhana itu karena keduanya jelas berbeda. Islam membatasi musyawarah sebatas cara, sementara demokrasi menganggap musyawarah sebagai satu-satunya jalan untuk mengadopsi sebuah aturan, itu pun jika tidak ditunggangi kepentingan tertentu.
Untuk itu, dengan berbagai ilusi yang melekat pada demokrasi, sudah selayaknya kita menyerukan peringatan sistem darurat untuk segera meng-uninstall sistem tersebut. Sistem sosialisme-komunisme sudah runtuh dan tidak sesuai fitrah manusia sehingga mustahil dipilih menjadi sistem pengatur hidup manusia.
Satu-satunya pilihan hanyalah Islam yang akan mengatur manusia dengan syariat-Nya. Allah berfirman, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” (QS Yusuf [12]: 40)
Wallahualam bissawab. []
Sumber: M News