Tugas Mulia Ulama: Menjaga Warisan Nabi ﷺ

MUSTANIR.net – Satu abad sudah Khilāfah—sebagai satu-satunya sistem pemerintahan Islam—dihancurkan, bahkan dihapus dari peta dunia. Satu abad pula Khilāfah—sebagai ajaran Islam—terus berusaha dihapus dari benak kaum Muslim.

Khilāfah resmi dibubarkan oleh Mustafa Kemal Atatürk, seorang Yahudi keturunan Dunamah, tanggal 3 Maret 1924 (27 Rajab 1342). Persis satu abad lalu. Pembubaran Khilāfah—yakni Khilāfah Utsmaniyah—oleh Mustafa Kemal didukung penuh oleh Inggris, sebagai negara penjajah garda terdepan saat itu. Bahkan Inggrislah ‘sutradara’ di balik pembubaran Khilāfah. Pasalnya, penghapusan sistem Khilāfah merupakan salah satu syarat yang diajukan Inggris agar kekuasaan Mustafa Kemal Atatürk atas negara Türki diakui. Syarat lainnya antara lain Mustafa Kemal harus segera memproklamirkan Türki sebagai negara sekuler (Mahmud Syakir, Târîkh al-Islâm, 8/233).

Beberapa bulan setelah penghapusan sistem Khilāfah, pada tanggal 24 Juli 1924, kemerdekaan negara Türki sekuler secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Ternyata, pengakuan terhadap kemerdekaan Türki ini ditentang oleh sekutu-sekutu Inggris. Namun, untuk meyakinkan para sekutunya, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Inggris saat itu, George Curzon, berkomentar, “The point at issue is that Turkey has been destroyed and shall never rise again because we have destroyed her spiritual power: The Caliphate and Islam (Inti permasalahannya adalah bahwa Türki telah dihancurkan dan tidak akan bangkit kembali. Pasalnya, kita telah menghancurkan kekuatan spiritualnya: Khilāfah dan Islam).” (The Middle East, Vol. 30, Part 4, p. 39)

Satu Abad Wacana Menolak Khilāfah

Setahun sejak Khilāfah dibubarkan, seorang ulama al-Azhar, Ali Abdur Raziq, menulis sebuah buku yang sangat kontroversial pada masanya. Pasalnya, di dalam buku tersebut Ali Abdur Raziq dengan berani menolak kewajiban menegakkan Khilāfah yang telah disepakati oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Bahkan dia menolak Khilāfah sebagai bagian dari ajaran Islam. Buku yang dimaksud berjudul Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm yang terbit di Kairo, Mesir, tahun 1925.

Karena sikapnya yang menolak Khilāfah, Ali Abdur Raziq disidang oleh Majelis Ulama Besar al-Azhar di bawah pimpinan al-Azhar saat itu, yakni Syaikh Muhammad Abu al-Fadhl, dengan 24 anggota ulama Korps Ulama al-Azhar. Para ulama itu secara ijmak (konsensus) telah memecat Ali Abdur Raziq dari Korps Ulama al-Azhar. Ali Abdur Raziq juga dipecat dari semua jabatan yang dia pegang di al-Azhar.

Keputusan Korps Ulama al-Azhar tersebut seolah ingin menegaskan bahwa Ali Abdur Raziq tidak layak lagi menyandang status ulama—apalagi ulama al-Azhar—karena telah menolak Khilāfah. Inilah keputusan yang benar.

Boleh dikatakan sejak Ali Abdur Raziqlah, wacana penolakan Khilāfah dimulai. Sayangnya, sejak itu wacana penolakan Khilāfah terus digaungkan di Dunia Islam. Hari ini pun, setelah satu abad lewat, justru makin banyak ulama—termasuk yang mengklaim Aswaja—yang malah mengikuti jejak Ali Abdur Raziq, sosok yang telah dipecat sebagai ulama tidak lama setelah penerbitan bukunya yang menolak Khilāfah.

Khilāfah Warisan Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Kalian wajib berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah ia oleh kalian dengan gigi geraham (HR Abu Dawud).

Sunnah Khulafaur Rasyidin yang paling menonjol tentu saja adalah Khilāfah ar-Râsyidah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah. Khilāfah ini merupakan kelanjutan dari Daulah Islam (Negara Islam) yang didirikan oleh Rasulullah ﷺ sejak pertama kali beliau hijrah ke Madinah. Dengan demikian Daulah Islam atau Khilāfah Islam merupakan satu-satunya sistem pemerintahan Islam yang diwariskan oleh Rasulullah ﷺ, yang wajib dipegang teguh oleh seluruh umat Islam.

Wajar jika setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir, kaum Muslim secara terus-menerus melanjutkan kepemimpinan Khilāfah ini. Berakhirnya Khilāfah di era Khulafaur Rasyidin segera dilanjutkan oleh Khilāfah era Umayah, kemudian era Abasiyah dan yang terakhir era Utsmaniyah. Sayangnya, di era Utsmaniyah inilah Khilāfah dibubarkan oleh musuh-musuh Islam setelah tidak kurang 14 abad menjadi institusi penjaga Islam serta pelindung dan pengayom kaum Muslim sedunia. Padahal pada era Khilāfah pula kaum Muslim mencapai puncak kejayaannya dan masa keemasan peradabannya.

Hal ini telah banyak diakui bahkan oleh para ahli Barat yang jujur. Salah satunya Will Durant. Ia berkata, “Para Khalīfah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalīfah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang membutuhkan serta memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization)

Cukuplah pernyataan Will Durant ini sebagai bantahan terhadap mereka yang menuding Khilāfah sebagai ancaman bagi dunia.

Khilāfah Ajaran Asli Ulama Aswaja

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) sesungguhnya telah menegaskan bahwa mendirikan Khilāfah atau mengangkat Khalīfah untuk seluruh kaum Muslim sedunia adalah wajib. Kewajiban ini merupakan Ijmak Sahabat bahkan telah menjadi ijmak mayoritas ulama. Imam an-Nawawi, salah seorang ulama Aswaja sekaligus ulama mu’tabar mazhab Syafi’i, di dalam kitabnya, Syarh Shahîh Muslim, menegaskan:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ. وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنِ الْأَصَمِّ أَنَّهُ قَالَ لَا يَجِبُ وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ

Para ulama telah berijmak bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang Khalīfah. Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan syariah, bukan didasarkan pada ketentuan akal. Ada pun yang diriwayatkan dari al-‘Asham bahwa mengangkat Khalīfah tidak wajib, juga dari yang selain dia bahwa mengangkat Khalīfah wajib berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka pendapat keduanya adalah batil (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim, 6/291).

Pernyataan Imam an-Nawawi ini sekaligus merupakan pendapat asli ulama Aswaja tentang Khilāfah. Justru yang menolak kewajiban Khilāfah adalah al-‘Asham, dari kalangan Muktazilah. Disebut al-‘Asham, sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi, karena dia tuli terhadap syariah (Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

Alhasil, mereka yang menolak kewajiban Khilāfah jelas menyalahi ajaran ulama Aswaja. Mereka justru mengikuti pendapat al-‘Asham, yang tuli terhadap syariah.

Tugas Mulia Ulama

Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sungguh yang paling takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah para ulama (QS Fathir [35]: 28).

Nabi ﷺ juga bersabda:

العُلَمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

Para ulama itu adalah pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Jelas, Allah subḥānahu wa taʿālā dan Rasul-Nya telah memuliakan para ulama yang bertakwa, yang hanya takut kepada-Nya. Mereka inilah yang senantiasa berani menyatakan kebenaran dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah subḥānahu wa taʿālā.

Khilāfah jelas ajaran Islam. Khilāfah bahkan merupakan bagian dari syariah Islam yang agung. Kewajiban menegakkan Khilāfah pun telah disepakati oleh para ulama sejak dulu. Karena itu para ulama saat ini harus menyuarakan Khilāfah dengan benar, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama dulu. Bukan menjadi penyambung lidah para penolak Khilāfah.

Apalagi di barisan mereka berdiri gembong kaum kafir penjajah dulu, seperti George Curzon, maupun kini, seperti George Bush, Tony Blair, dan para pemimpin kafir Barat penjajah lainnya yang memang membenci Khilāfah. Ingatlah, tugas ulama adalah menjelaskan ajaran Islam—termasuk Khilāfah—apa adanya kepada umat manusia. Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:

لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُوْنَهُ

Hendaklah kalian menjelaskan isi Kitab itu kepada umat manusia dan tidak kalian sembunyikan (QS Ali Imran [3]: 187).

Sesungguhnya menegakkan Khilāfah di muka bumi merupakan kewajiban yang paling agung. Dasarnya—selain al-Quran dan as-Sunnah—adalah Ijmak Sahabat. Imam al-Haitami menyatakan:

بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنِ دَفْنِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahkan para Sahabat menjadikan pemilihan dan pengangkatan Khalīfah sebagai kewajiban paling penting. Buktinya, mereka menyibukkan diri dengan pemilihan dan pengangkatan Khalīfah tersebut seraya menunda (sementara) pemakaman Rasulullah ﷺ. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 55).

Khatimah

Alhasil, yang semestinya dilakukan oleh para ulama saat ini bukan saja menyuarakan kewajiban menegakkan Khilāfah. Harusnya mereka pun turut berjuang untuk menegakkan kembali Khilāfah. Ini jelas selaras dengan ajaran para ulama Aswaja seperti Imam an-Nawawi, Imam al-Haitami, Imam Qurthubi, Imam al-Ghazali, Imam al-Mawardi, Imam ar-Ramli dll. Bahkan Imam asy-Syathibi—seorang ulama besar yang pendapatnya tentang maqâshid asy-syarî’ah sering dijadikan dasar untuk menolak Khilāfah—memandang Khilāfah sebagai fardhu kifayah (Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, 1/127).

Menurut Syaikh Mahmud Abdul Karim Hasan, maqâshid asy-syarî’ah ini justru hanya akan terwujud di dalam sistem Khilāfah. Bukan dalam sistem pemerintahan demokrasi-sekuler ataupun yang lain meski di bawah payung Piagam PBB sekali pun, yang nota bene bukan syariah karena tidak di-istinbâth dari al-Quran dan as-Sunnah.

WalLâhu a’lam. []

Sumber: Buletin Kaffah

Hikmah

Imam Malik raḍiyallāhu ‘anhu berkata:

لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا

Tidak akan pernah bisa memperbaiki kondisi generasi akhir umat saat ini kecuali apa yang telah terbukti mampu memperbaiki kondisi generasi awal mereka. (Imam at-Tirmidzi, Adhwâ’ al-Bayân [Mukhtashar asy-Syamâíl Muhammadiyyah], 2/282)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories