Israel dan Turki di Suriah: Tidak Ada Konfrontasi, Hanya Pembagian Rampasan

MUSTANIR.netMeskipun tampaknya terdapat posisi yang saling berhadapan secara umum, sebenarnya Israel dan Turki bukanlah musuh di Suriah. Keduanya adalah pihak yang bekerja sama di Suriah, membentuk negara itu sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh desain regional yang dipimpin Amerika Serikat.

Dua negara yang bersekutu dengan Amerika Serikat, masing-masing dipimpin oleh pemimpin populis yang memanfaatkan pencapaian kebijakan luar negeri mereka untuk kepentingan politik dalam negeri. Dua sekutu Washington yang tampaknya bermusuhan, namun sebenarnya diam-diam terlibat dalam proyek bersama di Suriah.

Apakah mungkin bagi Turki di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdoğan dan Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk benar-benar berkonfrontasi di Suriah? Ataukah mereka hanya menjalankan peran tertentu dalam sebuah sandiwara yang naskahnya ditulis di tempat lain (Washington)?

“Peran Turki di Timur Tengah”

“Turki memiliki tugas di Timur Tengah. Apa tugas itu? Kami adalah salah satu pihak yang terlibat dalam proyek Timur Tengah dan Afrika Utara yang lebih luas. Dan kami menjalankan tugas ini.”

Demikian kata Erdoğan pada pertengahan dekade pertama abad ke-21, menegaskan berulang kali peran Turki sebagai ketua bersama dalam Proyek Timur Tengah Raya — sebuah inisiatif strategis dari Washington untuk merekayasa ulang kawasan ini di bawah pengawasan Amerika dan Israel.

Setelah Partai Keadilan dan Pembangunan memenangkan pemilu pada tahun 2002, Erdoğan berdiri di Gedung Putih dan mengumumkan kemitraan strategis dengan Amerika Serikat “bukan hanya tentang Irak, tetapi juga mengenai banyak isu lainnya.” Pada tahun 2005, Presiden AS saat itu, George W. Bush, secara terbuka mengucapkan terima kasih kepada Erdoğan atas “dukungan kuatnya” terhadap proyek tersebut, dan Erdoğan mengatakan, “Kami terus menjalin komunikasi dengan negara-negara terkait, termasuk Suriah.”

Meskipun terdapat pertengkaran publik dengan Israel —seperti konfrontasi terkenal Erdoğan “satu menit” dengan Perdana Menteri Israel saat itu, Shimon Peres, di Davos pada tahun 2009— provokasinya tersebut secara konsisten melayani kebijakan domestiknya di hadapan publik Turki, tanpa mengganggu aliansi kuat Ankara dengan Tel Aviv.

Dari Davos ke Damaskus

Sejak saat itu, kawasan Asia Barat terbakar: Irak runtuh sepenuhnya, Gaza hancur, Suriah terkoyak, dan Hizbullah Lebanon mengalami pelemahan besar. Di tengah kekacauan yang dirancang oleh pihak asing ini, Turki memperluas kehadirannya di utara Suriah, membenarkan invasinya dengan dalih memerangi Partai Pekerja Kurdistan (PKK), serta menanamkan para agen Islamis seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) —yang dulunya bagian dari al-Qaeda— dan kini menguasai kekuasaan di Damaskus.

Pada 8 Desember 2024, ketika HTS menggulingkan rezim Bashar al-Assad, Erdoğan merayakan “kemenangan” tersebut. Namun, yang menyusul bukanlah “perdamaian” atau “perlawanan” terhadap Israel. Sebaliknya, tentara pendudukan Israel maju ke selatan Suriah, melampaui zona demiliterisasi PBB di Dataran Tinggi Golan, menghancurkan sisa-sisa pertahanan Suriah, mencaplok wilayah sekitar dua provinsi perbatasan utama —Quneitra dan Daraa— dan mengumumkan pendudukan permanen atas Gunung Hermon.

Kini Tel Aviv berada di gerbang Damaskus. Pasukan Israel menembak mati warga sipil Suriah yang memprotes pendudukan tersebut. Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa ia adalah pelindung kaum Druze yang melawan kemajuan Hay’at Tahrir al-Sham, dan memperingatkan:

“Kami tidak akan membiarkan pasukan HTS atau Tentara Suriah Baru memasuki wilayah selatan Damaskus.”

Pada saat yang sama, Ahmad al-Sharaa, pemimpin HTS yang kini menjadi Presiden Suriah —dan berasal dari keluarga Golan serta berutang banyak pada Ankara— sama sekali tidak menyebut adanya perlawanan terhadap agresi Israel.

Koordinasi Senyap atas Orang Kurdi Suriah

Bahkan dalam isu terkait Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika —dan yang diklaim Ankara sebagai afiliasi dari PKK— tampak adanya koordinasi diam-diam.

Para pejabat Israel secara terbuka mendukung otonomi Kurdi Suriah. Ilham Ahmad, utusan luar negeri dari SDF, berbicara dengan Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar pada bulan Februari, dan menyatakan kepada Jerusalem Post:

“Krisis Timur Tengah menuntut agar semua pihak menyadari bahwa tanpa keterlibatan Israel dan bangsa Yahudi, tidak akan ada solusi demokratis di kawasan ini.”

Pada bulan Maret lalu, ketika pasukan keamanan yang dipimpin HTS melakukan pembantaian terhadap warga Alawi di pesisir Suriah, Ahmad al-Sharaa dan panglima SDF, Mazloum Abdi, menandatangani perjanjian mengejutkan di antara mereka. Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan kemudian menyatakan secara tidak langsung:

“Usulan kami kepada pemerintahan baru adalah untuk memberikan hak-hak kepada warga Kurdi Suriah —ini sangat penting bagi Presiden kami.”

Pada kenyataannya, tampak ada kesepahaman de facto di Suriah di antara berbagai pihak: Turki menguasai wilayah utara, HTS mengendalikan kawasan dari Idlib hingga Damaskus, SDF memegang wilayah timur, dan Israel menetapkan protektoratnya atas bagian selatan Suriah. Dengan demikian, fragmentasi Suriah bukanlah suatu kebetulan —tetapi hasil dari kesepakatan dalam proyek-proyek imperialis.

Kepentingan Bersama, Wilayah yang Terpisah

Menurut jurnalis Suriah, Husni Mahalli, ada pihak ke tiga yang terlibat di balik pengaturan ini:

“Uni Emirat Arab berdiri di sisi Israel dalam mendukung baik kaum Druze maupun Kurdi di Suriah.”

Analis politik Amir Ashnas menjelaskan hal ini dengan lebih gamblang. Ia berkata kepada media The Cradle:

“Tidak realistis mengharapkan integrasi politik dan ekonomi Turki dengan Barat memungkinkan negara itu terlibat dalam konflik militer dengan Israel, meskipun retorika mereka tampak membara.”

Menurutnya, Turki tengah berada dalam jeratan utang yang dalam dan terlalu lemah untuk mengambil risiko konfrontasi nyata di Suriah.

Analisis ini semakin mendapatkan bobot pada bulan Februari, ketika Erdoğan menerima Ahmad al-Shara’a di Ankara. Laporan menyebutkan bahwa Turki berusaha melatih Tentara Suriah Baru dan mendapatkan akses ke pangkalan udara utama di Provinsi Homs —termasuk Palmyra dan T4— yang berada dekat dengan wilayah yang dikuasai Israel.

Pada 2 April, Israel merespons pergerakan Turki dengan serangan udara ke lokasi-lokasi tersebut. Bahkan kantor berita milik negara Turki, Anadolu Agency, menayangkan dampak dari serangan itu —seolah menegaskan bahwa pesan tersebut telah diterima.

Garis Merah dan Pesan Diam

Sumber media Israel menggambarkan serangan itu sebagai “pesan yang jelas kepada Erdoğan.” Keesokan harinya, Gideon Sa’ar menuduh Turki berusaha menjadikan Suriah sebagai “wilayah protektorat” Turki. Bahkan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyebut Ahmad al-Sharaa secara langsung menggunakan nama lamanya:

“Saya memperingatkan pemimpin Suriah, Abu Muhammad al-Julani: jika Anda mengizinkan pasukan musuh memasuki Suriah dan membahayakan kepentingan keamanan Israel, maka Anda akan membayar harga yang sangat mahal.”

Pada 4 April, setelah KTT NATO, Hakan Fidan mencoba meredakan ketegangan dalam wawancara dengan Reuters:

“Kami tidak ingin melihat konfrontasi apa pun dengan Israel di Suriah karena Suriah adalah milik rakyat Suriah. Jika pemerintah Suriah ingin mencapai kesepakatan dengan Israel, itu urusan mereka.”

Analis politik Ashnas berpendapat bahwa ketegangan tidak terhindarkan di antara dua aktor asing utama yang membongkar Suriah dan meminggirkan Iran:

“Ketegangan pasti akan muncul antara kedua negara ini, yang memiliki andil terbesar dalam menggulingkan rezim Suriah dan mengusir Iran serta sekutunya dari Suriah. Namun, terdapat perbedaan dan kontradiksi antara kepentingan kedua negara ini dalam hal pembagian wilayah dan kedaulatan Suriah.”

Ashnas menambahkan:

“Pada akhirnya, Israel sangat puas bahwa rezim Assad —bagian tak terpisahkan dari Poros Perlawanan— telah digulingkan dan tentara Suriah telah dihancurkan. Suriah berada dalam posisi paling lemah dan kini seperti adonan yang bisa dibentuk Israel sesuka hati. Israel seharusnya berterima kasih kepada Turki atas kerja sama dan peran ‘vitalnya’ dalam membawa Suriah ke situasi penuh kehancuran dan perpecahan ini. Namun, Israel juga ingin agar wilayah Suriah yang dekat dengan perbatasan Israel dan Lebanon Selatan tetap berada di bawah kendali Israel sebagai zona keamanan.”

Federalisme, Fragmentasi, dan Penyusunan Ulang Peta Kekuasaan

Lalu, mengapa Tel Aviv meningkatkan ketegangan terhadap Ankara?

Upaya Turki membangun tentara Suriah baru bertentangan dengan keinginan Israel untuk menjaga Suriah tetap lemah secara militer. Serangan udara adalah cara Tel Aviv untuk menetapkan batas pengaruh Turki, dan tampaknya Turki, untuk saat ini, telah menerima syarat-syarat tersebut.

Sementara itu, Amerika Serikat terus melanjutkan serangan udaranya ke Yaman, dan dalam kunjungan Netanyahu ke Gedung Putih pada 8 April, Presiden AS Donald Trump menyampaikan visinya sendiri. Ia berbicara tentang “hubungan luar biasa” dengan Erdoğan, yang ia gambarkan sebagai “pria tangguh, sangat cerdas, dan telah melakukan sesuatu (mengendalikan Suriah) yang tidak dapat dilakukan siapa pun selama 2000 tahun.”

Trump mengingatkan Netanyahu tentang pengaruhnya, dan berkata:

“Masalah apa pun yang kamu punya dengan Turki, saya pikir saya bisa menyelesaikannya. Maksud saya, selama kamu bersikap masuk akal. Kamu harus masuk akal. Kita semua harus masuk akal.”

Trump sebelumnya telah menguji pengaruhnya terhadap Erdoğan. Pada 2018, ketika ia menuntut pembebasan pastor Amerika yang ditahan, Andrew Brunson, ekonomi Turki terpuruk akibat sanksi dan pastor pun dibebaskan. Pada 2019, Trump menulis surat kepada Erdoğan ketika Turki melancarkan operasi militer lain di Suriah:

“Jangan jadi pengacau, jangan jadi bodoh.”

Bukan Pertarungan, Hanya Pertunjukan

Mahalli berkomentar:

“Tidak ada pertempuran antara Turki dan Israel. Yang ada hanyalah pembagian peran. Ini hanyalah pertunjukan besar.”

Jika bukan demikian, maka tidak mungkin Gideon Sa’ar turut serta dalam pertemuan di Abu Dhabi bersama Presiden UEA Mohammed bin Zayed, sementara pemimpin Kurdi Nechirvan Barzani juga hadir dalam Forum Diplomasi Antalya melalui jalur Uni Emirat Arab. “Promosi Barzani dalam forum itu diberikan kepada Erdoğan,” Mahalli menyimpulkan.

Analis Ashnas juga menunjukkan bahwa inisiatif terbaru Turki terhadap Kurdi —sebagai bagian dari strateginya di Suriah— tidak bertentangan dengan visi Israel. Faktanya, tidak adanya bentrokan militer antara kedua pihak dalam pekan terakhir menunjukkan bahwa ada kesepakatan diam-diam yang sudah berlaku dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

Tampaknya Ankara, yang mendukung model federalisme di Suriah seperti yang diterapkan di Irak, telah menerima batasan yang ditetapkan oleh serangan Israel. Turki akan menerima posisi sebagai kekuatan berpengaruh di Suriah tanpa kehadiran militer langsung —persis seperti yang mereka lakukan di Lebanon. Dengan begitu, Ankara tetap berada dalam orbit strategis yang digariskan oleh Washington —dan yang dilaksanakan oleh Tel Aviv dengan kekuatan militer. []

Sumber: Gulriz Ergüz

About Author

Categories