
Muslim Buih Lautan: Konsumen Media Tanpa Daya Tawar
MUSTANIR.net – Beberapa waktu lalu, sebuah akun memposting tulisan tentang film animasi anak terbaru dengan judul ‘Ketika Imajinasi Menyentuh Batas Akidah”.
la menyoroti bagian-bagian dari film yang harus difilter apabila hendak dipertontonkan pada anak-anak, khususnya bagi orang tua yang ingin menanamkan Islam sebagai cara pandang.
Sebelum bahas ini serius, cuma mau memberi tahu kalau sama seperti orang kebanyakan, aku juga merupakan penikmat media hiburan.
Aku tumbuh bersama novel dan film Harry Potter. Pernah menamatkan baik manga maupun anime Attack on Titan. Tidak terhitung berapa film dan webtoon horror yang sudah kuselesaikan. Saat ini, aku bahkan lagi suka berkebun di Stardew Valley.
Namun dengan bertambahnya ilmu dan usia, diriku versi dewasa tidak bisa lagi melihat sebuah karya atau hiburan sebagai sesuatu yang innocent atau tidak membawa nilai. Pembuat karya, sadar atau tidak, pasti membawa nilai-nilai yang diyakininya dalam karya tersebut dan tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang kita anut.
Kembali lagi ke tulisan soal film animasi anak yang kini viral. Tulisan ini mendapatkan banyak backlash. Sempat diseret ke platform sebelah, dan juga mendapatkan banyak respon negatif, di antaranya:
• Satu spesies yg paling gw benci: si paling paham agama
• Entahlah berurusan sama orang² kayak mereka bikin capek batin, pengalaman gw
• Ribet, rempong, si paling bener yg lain mah salah, pokoknya si paling agama dan aqidahnya paling bener yg auto ngerasa lolos surga
• Asli org kek gini ga enak diajak ngobrol, ujung²nya apa pun yg dibahas slalu dikait²in sm agama
• aku benci banget orang yang terlalu terobsesi agama, hal yang bisa jadi edukasi atau tontonan anak kecil yang emang buat have fun aja diseret seret ke agama. tinggal situ nggak usah nonton dan ganggu apa susahnya sih? tinggal diambil positifnya aja apa susahnya sih
Aku membaca respon-respon ini lebih dulu sebelum membaca ulasannya. Ternyata, setelah membaca berulang kali tulisan asli ‘Menyentuh Batas Akidah’ di akun penulis, isinya sama sekali berbeda dengan apa yang dituduhkan netizen reaksioner di kolom komentar.
Tulisan itu sama sekali tidak melarang orang untuk nonton film yang dimaksud. Tidak menghakimi penonton film sebagai golongan yang tidak beraqidah lurus. Pun tidak menganggap diri sendiri sebagai sosok yang otomatis masuk surga dengan menulis opini demikian.
Penulis dengan jelas menyatakan,
“Sebagai ibu, tugas kita bukan melarang semua hal. Tetapi mendampingi, menjelaskan, dan menjaga tauhid anak-anak kita.”
la hanya sedang menekankan pentingnya mendampingi anak saat menonton film apa pun sebab anak kecil tidak bisa dibiarkan nonton sendirian. Anak kecil belum punya daya kritis untuk menyaring semua nilai yang terkandung dalam film, dan orang tua punya hak penuh untuk menanamkan nilai-nilai yang mereka yakini pada anak-anaknya.
Hal ini juga menjadi perhatian salah satu dokter spesialis anak, dr. Mesty Ariotedjo Sp.A, MPH, yang sempat meminta review film tersebut di salah satu tweet @mestyariotedjo:
• Sebagai orang tua, saya selalu cek dulu sblm nonton film bareng anak (anak-anak saya baru sekali ntn bioskop: Inside & Out 2). Lagi lihat-lihat soal Jumbo-—boleh minta real review teman-teman yang sudah nonton, apakah cocok ditonton anak 6 tahun ke bawah (kategori SU)? Thanks
Ada banyak pro dan kontra di komentar. Namun diskursus ini menunjukkan bahwa memfilter tontonan anak atau bersikap kritis bukan berarti tidak mendukung karya dalam negeri, apalagi semata nyinyir.
Jika pun ada yang tidak setuju dengan sikap atau pendapat penulis dalam tulisan ‘Menyentuh Batas Akidah’, itu wajar saja. Penulis sudah bayar tiket, filmmaker tetap dapat profit, dan konsumen punya hak untuk menilai serta menyampaikan opininya baik itu berupa pujian ataupun kritik.
Meski pada akhirnya postingan itu di-take down (dan sepenuhnya merupakan hak beliau), respon publik terhadapnya menyisakan satu catatan penting bagi kita semua.
Banyak Muslim yang tidak sadar bahwa perang pemikiran (thought warfare) justru terjadi secara halus, nyaris tak kasat mata melalui berbagai media hiburan.
Tidak terbatas pada film, namun juga meliputi game, lagu, dan berbagai karya seni lainnya. Memang terdengar ribet dan terkesan seperti party pooper untuk mengkritisi tontonan yang kita konsumsi.
Masa’ mau nonton Harry Potter aja harus mikir sejauh itu? Masa film anak-anak malah diseret ke ranah akidah? Cringe banget kalau nanti juga mesti membedah animasi seperti Doraemon dan Ninja Hatori.
Faktanya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk membedakan mana kenyataan dan mana fiksi. Inilah penyakit manusia modern; terjebak dalam imajinasi dan khayalan sehingga kesulitan menjangkarkan diri pada realita.
Maka sangat disayangkan ketika ada kajian kritis tentang apakah sebuah karya seni mengandung nilai yang bertentangan dengan Islam sebagai deen, justru disikapi dengan seruan seperti, “Ribet, mau seneng-seneng aja harus dikaitin dengan agama!”
Padahal, kajian kritis seperti ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang concern dengan penerapan deen Islam sebagai worldview. la sudah menjadi praktik umum dalam dunia akademik dan kesusastraan.
Kritik terhadap elemen ideologis, agama, gender, atau nilai-nilai dalam karya seni adalah praktik ilmiah yang bernilai dan sah-sah saja dilakukan. Tidak semua kritik berarti benci atau selalu berujung pada ajakan untuk memboikot sesuatu.
Sesekali cobalah berselancar di Google Scholar dengan kata kunci film yang sedang kamu gandrungi. Akan kamu dapati banyaknya analisis dengan ragam pisau ideologi. Kesemua ini bukan “ribet” dan “nyinyir”:
• Harry Potter and the Secular City: The Dialectical Religious Vision of JK Rowling
• Christian Perspectives on Harry Potter
• Ideologies in the Harry Potter Series: A Critical Discourse Analysis
• Prejudice and Inequality in the Harry Potter Series
• Harry Potter and Discrimination
Pada zaman di mana pesan-pesan ideologis disampaikan secara subliminal, memiliki filter dan awareness dalam mengonsumsi media hiburan jadi sangat penting bagi setiap Muslim yang ingin menjaga keutuhan akidahnya.
Film, lagu, game, atau novel tidak pernah netral. la pasti menyusupkan nilai-nilai ideologis baik itu bersebrangan dengan deen Islam maupun tidak. Tanpa adanya jarak dengan media hiburan, nilai kita akan bergeser secara perlahan sampai menjadi biasa saja dengan sesuatu yang secara prinsip menyelisihi deen, namun ditampilkan dengan estetika atau alur cerita menarik.
Salah satu cara untuk membangun jarak adalah dengan kritik. Hal ini justru sering dianjurkan oleh para pakar media agar kita tidak menjadi konsumen yang pasif, mudah terbawa arus, dan tidak punya daya tawar.
Membaca tulisan seperti ini tentang game yang sedang kumainkan adalah salah satu upaya agar garis batas antara nilai game dan nilai yang kupegang as a Muslim tidak menjadi blurry:
• Success Narratives and the Nuclear Family: Stardew Valley’s Neoliberal Ideologies Re-Packaged as a Techno-Utopia — Holly Parker, Deanna Holroyd
Tulisan ini bukan ajakan untuk menikmati segala bentuk produk hiburan. Namun bagi yang belum mampu meninggalkan, nikmati hiburanmu dengan kesadaran.
Bangun sekat agar tidak tenggelam ataupun menjadi buih lautan. Wallahu ta’ala a’lam. []
Sumber: Kamila X The Muslim Gaze