Umat Butuh Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Bukan Beroposisi dalam Sistem Demokrasi

MUSTANIR.netPasca putusan MK, sejumlah partai dikabarkan akan merapat. Nasdem dan PKB telah menggelar karpet merah menyambut kehadiran Prabowo di kantor mereka. Sedangkan PKS baru mempersiapkan karpet, namun Prabowo tidak datang ke kantor DPP PKS.

Sejumlah pihak mulai mempertanyakan kekuatan oposisi. Banyak yang mempersoalkan perilaku parpol yang berlomba merapat setelah jagoan mereka kalah pilpres. Tanpa oposisi, demokrasi dianggap mati.

Oposisi adalah sikap politik parpol yang menjadi lawan pemerintahan. Sementara koalisi adalah sikap politik parpol yang pro pemerintah.

Parpol yang beroposisi selalu mencari celah untuk mengkritik pemerintah, dengan tujuan mencari simpati rakyat. Parpol yang beroposisi, berorientasi pada elektabilitas agar bisa dikonversi dengan kekuasan berupa kemenangan politik saat sampai pada pemilu.

Sedangkan parpol koalisi akan selalu mendukung dan membenarkan kebijakan pemerintah, kendati kebijakan itu merugikan rakyat. Dukungan parpol koalisi kepada pemerintah adalah kompensasi atas bagian kue kekuasaan yang mereka terima.

Sementara dalam Islam tidak dikenal istilah koalisi maupun oposisi. Koalisi dan oposisi yang didasari kepentingan politik justru diharamkan dalam Islam.

Islam mengharamkan sikap parpol dan rakyat yang menentang penguasa, saat penguasa menerapkan kebijakan yang sesuai dengan hukum syara’. Sebaliknya, Islam juga mengharamkan sikap parpol dan rakyat yang terus membela penguasa meskipun penguasa menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan hukum syara’.

Dalam Islam, relasi penguasa dan rakyat (termasuk parpol), dibangun di atas dua pilar interaksi.

• Pertama, hubungan ketaatan pada penguasa mana kala penguasa taat kepada Allah subḥānahu wa taʿālā.

• Ke dua, hubungan koreksi dan muhasabah kepada penguasa, saat penguasa maksiat kepada Allah subḥānahu wa taʿālā.

Dalam sistem Islam, rakyat dan parpol wajib mengkritik, mengoreksi penguasa yang menghalalkan riba, judi, dan miras. Karena riba, judi, dan miras diharamkan syariat. Tindakan menghalalkan apa yang diharamkan Allah subḥānahu wa taʿālā adalah maksiat, bahkan jika dengan keyakinan bahwa hukum Allah subḥānahu wa taʿālā tak wajib ditaati maka jatuh pada kekufuran.

Sedangkan dalam sistem demokrasi, mereka yang berkoalisi maupun beroposisi tidak akan pernah menentang kebijakan menghalalkan riba, zina, dan miras. Relasi sikap koalisi dan oposisi tidak dibangun berdasarkan perintah Islam, melainkan dibangun di atas asas pragmatisme (kepentingan politik materi).

Karena itu, umat Islam tak membutuhkan koalisi maupun oposisi. Melainkan umat Islam wajib melakukan dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar, juga melakukan muhasabah lil hukam (mengontrol penguasa berdasarkan Islam).

Dakwah amar ma’ruf nahi mungkar ditujukan kepada penguasa dan umat, agar mereka menaati Allah subḥānahu wa taʿālā. Sedangkan muhasabah lil hukam hanya ditujukan kepada penguasa mana kala penguasa keluar dari koridor Islam. Ada pun jika penguasa telah menerapkan Islam, maka kewajiban rakyat dan parpol adalah menaati bahkan mendukung kebijakan penguasa.

Umat Islam tak butuh oposisi. Umat Islam juga tak butuh demokrasi. Umat Islam wajib dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, melakukan muhasabah lil hukam, dan mengupayakan kekuasaan yang menerapkan Islam dalam institusi pemerintahan Islam, yakni daulah khilafah. []

Sumber: Ahmad Khozinudin

About Author

Categories