Unsur-unsur Yang Mempengaruhi Perbedaan Fatwa Ulama

Unsur-unsur Yang Mempengaruhi Perbedaan Fatwa Ulama

Pertanyaan :

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Bpk Ustazd Ahmad Sarwat.

1. Apakah yang dimaksud dengan fatwa ulama, apakah merupakan bagian dari wahyu sebagaimana Al-Quran dan Sunnah, ataukah fatwa itu hasil ijtihad manusia?

2. Apakah ada unsur-unsur subjektifitas ketika ulama mengeluarkan fatwa? Mohon diberikan contohnya, ustadz

Terimakasih atas jawabannya.

Wassalammualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Jawaban :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang banyak orang yang agak kurang memahami apa hakikat dan pengertian fatwa.  Fatwa didefinisikan oleh banyak ulama diantaranya dengan ta’rif sebagai berikut :

تبْيِينُ الْحُكْمِ الشّرْعِيِّ عنْ دلِيلٍ لِمنْ سأل عنْهُ

Penjelasan hukum syar’i atas dalilnya bagi orang yang bertanya.

Definisi fatwa ini bisa menjelaskan kepada kita bahwa pada hakikatnya fatwa adalah sebuah jawaban yang berisi penjelasan tentang hukum-hukum syariah, yang didapat dari hasil istimbath atas dalil-dalil yang terkait dengan hukum itu.

Karena fatwa adalah sebuah jawaban, maka pada dasarnya fatwa itu tidak berdiri sendiri, melainkan didahului oleh pertanyaan dari suatu pihak, baik perseorangan atau pun kolektif. Kemudian pihak yang ditanya, dalam hal ini kita sebut sebagai mufti, membuat jawaban dengan berdasarkan analisa serta sudut pandang dirinya.

Jelas sekali fatwa itu bukan ayat Al-Quran dan juga bukan sunnah nabawiyah. Fatwa bukanlah wahyu, melainkan hasil ijtihad pemberi fatwa yang bisa saja sumbernya diambilkan dari Al-Quran dan Sunnah, tetapi setelah melalui proses istimbath hukum.

Unsur-unsur Yang Mempengaruhi Konten Fatwa

Ada begitu banyak unsur-unsur yang berpengaruh terhadap konten fatwa. Bisa jadi karena faktor latar belakang mazhab fiqih yang berbeda dari masing-masing pemberi fatwa, kadang juga karena faktor perubahan zaman dan teknologi, atau juga bisa dari sebab politis, kepentingan kelompok,  wawasan tentang sain modern, bahkan termasuk sudut pandang lainnya.

1. Latar Belakang Mazhab Pemberi Fatwa

Latar belakang aliran mazhab fiqih yang dianut oleh pemberi fatwa tentu sangat besar pengaruhnya.

Contohnya pertanyaan sederhana  : Apakah sentuhan kulit laki-laki dan perempuan bukan mahram membatalkan wudhu’.

Jangan kaget kalau kita mendapatkan dua atau tiga fatwa yang berbeda. Dalam hal ini konten fatwa tergantung mazhabnya. Kalau dia bermazhab Syafi’i, maka jawabannya pasti batalkan wudhunya. Sebaliknya, kalau muftinya berlatar belakang mazhab Hanafi, maka dia akan menjawab tidak batal wudhu’nya. Dan kalau dia bermazhab Maliki,  bila sentuhan itu mengandung ladzzah (nafsu), wudhu’nya batal tapi kalau tidak maka tidak batal.

Kita yang bertanya bingung dengan jawaban para pemberi fatwa, karena jawabannya kok berbeda-beda. Padahal beda mazhab akan beda jawaban.

2. Perubahan Zaman dan Teknologi

Perubahan zaman juga berpengaruh atas fatwa. Dan perubahan itu kadang tidak terjadi bersaman. Di suatu negeri zaman sudah cepat berubah tapi di negeri lain belum sempat berubah.

Ketika Hasan Al-Banna memimpin rombongan jamaah haji dari Mesir di masanya, beliau sempat ‘disidang’ oleh para ulama di Jazirah Arabia. Pasalnya, beliau dianggap telah melakukan bid’ah besar lantaran berceramah menggunakan pengeras suara (sound system). Perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan umat Islam sepanjang 14 abad.

Hasan Al-Banna lalu bertanya balik, kenapa para ulama setempat memakai kaca mata ketika membaca kitab, bukankah Rasulullah SAW dan dan umat Islam sepanjang 14 tidak memerintahkan?

Para ulama itu menjawab, bahwa kaca mata itu bukan bid’ah, karena sifatnya hanya untuk membuat tulisan di kitab menjadi jelas di mata. Maka Hasan Al-Banna pun menjawab bahwa pengeras suara itu pun sekedar membuat suara ceramahnya menjadi jelas di telinga. Lalu apa bedanya?

Sepanjang yang saya tahu, hari ini sound system masjid yang paling canggih justru milik Masjid Al-Haram Mekkah dan Madinah.

Padalah sound system pernah diharamkan oleh fatwa para ulama Saudi. Sebagaimana petugas di Masjid Al- Haram dahulu melarang jamaah berfoto, tapi entah mengapa sekarang justru para petugasnya tidak melarang. Malahan mereka sering kedapatan lagi selfi.

Di negeri kita ini, saya pun masih sempat mendengar ada kiyai yang mengharamkan pengeras suara untuk adzan di masjid. Dan salah satu alasanya bahwa pengeras itu bid’ah tidak ada di zaman Nabi. Namun fatwa ini nyaris sudah tidak ada lagi yang memakainya, kecuali hanya segelintir orang saja.

3. Latar Belakang Wawasan Sain Modern

Latar belakang ilmu pengetahuan (iptek) juga amat berpengaruh dalam fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Salah satu contohnya adalah jawaban dari Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Ustaimin yang merupakan mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia.

Dalam kitabnya Fatawa Arkanul Iman, ketika ditanya tentang konsep Heliosentris versusGeosentris, beliau dengan tegas mengatakan bahwa yang benar adalah matahari bergerak mengelilingi bumi dan bukan bumi yang berputar para porosnya serta mengelilingi matahari. Tidak lupa beliau mengutip beberapa ayat yang dianggap sebagai pendukung fatwanya.

Padahal iptek yang diajarkan bahwa bumi berputar para porosnya (rotasi) sambil bergerak mengelilingi matahari (evolusi) sekali putaran dalam setahun. Intinya, bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi justru bumi yang mengelilingi matahari.

Dan ilmu falak yang menjadi patokan kita dalam menetapkan jadwal shalat didasarkan pada pergerakan bumi berputar pada porosnya sambil mengelilingi matahari.

4. Faktor Politis

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali orang berfatwa yang dipengaruhi oleh faktor politis. Kalau kita telaah sejarah, biasanya para ulama kerajaan yang melakukannya. Mereka diminta oleh penguasa untuk membuat fatwa yang sekiranya mendukung kemauan sang penguasa.

Salah satu contohnya ketika penguasa Khilafah Bani Abasiyah beraliran muktazilah mewajibkan seluruh ulama untuk berfatwa tentang Al-Quran adalah makhluk. Maka banyak sekali yang karena alasan politis, akhirnya terpaksa berfatwa sesuai kehendak penguasa. Mereka yang menolak berfatwa demikian pasti dimusuhi bahkan di penjara. Salah satu korbannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau termasuk salah satu ulama yang istiqomah dan tidak mau ikut-ikutan berfatwa sesuai pesanan sang penguasa.

Di era Orde Baru lalu, ada tekanan kepada Buya Hamka sebagai pimpinan Majelis Ulama Indonesia membuat fatwa bolehnya umat Islam melakukan natal bersama dari pihak penguasa. Intinya biar umat Islam mendapatkan legitimasi kebolehan perayaan natal bersama. Buya Hamka saat itu menolak dan beliau pun keluar dari MUI.

5. Faktor Kepentingan Kelompok

Kadang fatwa juga dipengaruhi oleh faktor kepentingan kelompok tertentu. Demi untuk melegalisasi kebijakannya, biasanya suatu kelompok baik ormas atau orsospol mengeluarkan fatwa. Biasanya sifatnya internal dan para pemberi fatwanya ditetapkan oleh internal kelompok itu.

Jelas fatwa itu tidak akan pernah bertentangan dengan alur kebijakan para pemimpinnya. Karena fatwa-fatwa itu justru sengaja didesain sedemikian rupa justru untuk melegalkan kebijakan itu.

Maka banyak sekali kelompok umat Islam yang ramai-ramai mendirikan lembaga fatwa internal. Selain lebih keren, fungsinya bisa sangat efektif. Cukup dipesan fatwa tertentu yang sekiranya mendukung kebijakan pimpinan, maka semua anggota, pengikut, simpatisan dan masyarakat pasti akan ikut mendukung fatwa itu.

6. Latar Belakang Sudut Pandang

Kadang perbedaan sudut pandang ikut juga mempengaruhi fatwa seorang ulama. Sejarah mencatat bahwa Kiyai Haji Hasyim Asy’ari pernah berfatwa atas haramnya umat Islam mengenakan pakaian ala barat, seperti jas, dasi, kemeja, celana panjang dan sepatu.

Untuk konteks zaman itu, rasanya fatwa ini memang masuk akal dan pas sekali. Sebab yang berpakaian semacam itu memang hanya orang-orang Belanda yang kafir. Sementara kedudukan Belanda saat itu memang jadi musuh utama umat Islam, karena mereka datang untuk merampas, menjajah bahkan banyak membunuh nyawa.

Dalil yang digunakan tentu saja tentang haramnya umat Islam berpakaian atau berpenampilan khas milik orang kafir.

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum itu (HR. Abu Daud )

Selain itu juga ada hadits lainnya dimana beliau meminta para shahabatnya untuk berpenampilan lain yang tidak menyerupai orang-orang yahudi.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.” (HR. Bukhari)

Di masa hidup perjuangan Kiyai Hasyim Asy’ari itulah jas, dasi, kemeja, celana panjang dan sepatu di masa itu, untuk konteks umat Islam saat itu, lebih nampak sebagai pakaian khas orang kafir. Oleh karena itu beliau pun mengharamkannya.

Tetapi kalau kita yang hidup di zaman sekarang melihat fatwa ini, mungkin merasa agak aneh. Sebab semua pakaian itu sebenarnya tidak mencerminkan pakaian khas agama tertentu.

Mungkin kita bisa menerima kalau yang diharamkan itu adalah pakaian dan penampilan khas agama Kristen, dimana selain mereka tidak ada yang pakai. Sebutlah misalnya jubah yang khas dikenakan oleh para pendeta Nasrani, kalau kita haramkan memang masuk akal.

Misalnya kita haramkan orang memakai kalung salib, bintang David, rosario khas para biksu atau atribut-atribut khas agama tertentu, rasanya bisa kita terima.

Sedangkan jas, dasi, kemaja, celana panjang dan sepatu, kalau mau diharamkan berdasarkan sudut pandang adanya kemiripan dengan orang kafir, rasa-rasanya di zaman sekarang ini agak kurang tepat. Karena yang memakainya bukan cuma orang kafir saja.

Di negara-negara Eropa sana, banyak muallaf yang masuk Islam tapi pakaian mereka tidak lantas harus berganti pakai baju koko, kopiah dan sarung. Mereka tetap berjas, dasi, kemeja, celana dan sepatu, karena itu semua adalah model pakaian daerah mereka dan bukan pakaian khas milik agama Kristen.

Hanya saja di masa Kiyai Hasyim Asyari, dilihat dari sudut pandang saat itu, bagi rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan Belanda, semua model pakaian itu ‘lebih nampak’ sebagai pakaian khas orang kafir. Dan pandangan seperti itu bisa saja berubah kalau melihatnya dari sudut pandang lain yang berbeda.

Nasi Kebuli dan Briyani

Untuk kasus yang terakhir ini, saya biasanya memberi contoh dengan nasi kebuli atau nasi briyani. Bangsa kita sudah terlanjur menganggap kedua nasi ini adalah nasi Arab. Padahal sebenarnya kebuli dan dan briyani adalah nasi khas India/Pakistan. Entah bagaimana kok bisa ‘dituduh’ sebagai nasi Arab?

Salah satu analisanya, barangkali karena yang doyan dan suka menjual nasi kebuli biryani di negeri kita ini memang orang-orang keturunan Arab, khususnya dari Yaman. Maka ‘resmi’ lah keduanya jadi nasi Arab. Padahal orang Arab sendiri di negaranya belum tentu makan nasi kebuli dan briyani.

Martabak Mesir

Kasusnya juga mirip dengan martabak Mesir. Orang Jakarta pasti kenal dengan jajanan bernama Martabak Mesir. Padahal meski saya lahir di Mesir, justru di Mesir sendiri tidak ada yang pernah tahu ada makanan namanya ‘Martabak Mesir’. Bahkan Fir’aun pun kalau masih hidup, pasti tidak kenal Martabak Mesir, yang cuma ada di Indonesia.

Lalu bagaimana kok martabak ini bisa dituduh sebagai makanan Mesir? Jawabnya wallahu ‘alam bishshawab.

Ahmad Sarwat, Lc., MA

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories