UU Sumber Daya Air Digugat Karena Menyangkut Hak Hidup Rakyat
Jakarta – Kuasa Hukum PP Muhammadiyah, Irman Putra Sidin menegaskan bahwa upaya menggugat Undang-Undang Sumber Daya Air (SDA) sangat penting karena menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.
“Jihad konstitusi yang dilakukan ormas-ormas Islam memang tidak sedramatis kasus yang sedang ramai, tapi jihad konstitusi ini menyangkut hak hidup kita sebagai warga negara,” katanya dalam konferensi pers di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl.Menteng Raya 61, Jakarta, pada Senin (23/2/2015).
Alasannya, kata Irman, kebutuhan air merupakan kebutuhan yang sangat azasi bagi rakyat Indonesia. Ia berharap rakyat Indonesia tidak sampai kesulitan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan hidup karena adanya UU tersebut.
“Ini masalah esensi, Kalau tidak minum kita bisa mati, Jangan sampai rakyat Indonesia untuk minum saja harus beli kepada orang lain, padahal itu air kita sendiri,” ungkapnya.
Menurut Irman, UU SDA menjadi pintu masuk penjajahan ekonomi asing terhadap sumber daya alam rakyat Indonesia. Undang-undang ini memberi kesempatan perusahaan asing untuk merampok air di Indonesia.
“Penjajahan saat ini bukan lagi datang dengan senjata, tapi penjajahan datang melalui kompromi dengan mekanisme undang-undang kita,” terangnya.
Oleh karena itu, Irman meminta semua pihak khususnya rakyat Indonesia untuk mendukung jihad konstitusi menggugat perundang-undangan pro-asing, agar prampasan hak rakyat oleh asing tidak dapat berjalan dengan langgeng.
“Jangan sampai kita tidak sadar, hak-hak kita sebagai warga negara hilang,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Marwan Batubara mengkritik aspek pengelolaan SDA yang tidak lagi berada ditangan negara. Padahal, menurut dia, negara harus menjalankan 5 aspek yang diamanatkan oleh konstitusi dalam mengelola SDA, seperti membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi.
“Ini satu paket, negara harus menjalankannya secara bersamaan,” cetusnya.
Kondisi sumber daya alam tidak dikelola oleh negara umumnya terjadi pada sektor migas. Namun, kini hal itu juga terjadi pada sektor sumber daya air. Bahkan, dengan alasan ketidakprofesionalan dan kemampuan sumber daya manusia pengelolaan air telah diswastanisasi.
“Di DKI saja sudah beralih ke perusahaan perancis maupun dari Inggris,” katanya memberikan contoh.
Ia berharap dengan adanya putusan MK yang membatalkan UU no.7 tahun 2004 tentang sumber daya air, akan menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengelola sendiri sumber daya air.
“Pengelolaan air di tangan negara dengan 5 aspek yang diamanatkan undang-undang harus terwujud ke depannya,” ungkap Marwan.
Seperti diketahui, MK dalam putusannya menilai bahwa UU tentang sumber daya alam tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh diantaranya Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Penyelewengan norma tersebut berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat.