Wajah Asli Demokrasi: Bukan Rakyat yang Berdaulat, tapi Oligarki!

MUSTANIR.net – “Demokrasi itu indah,” katanya.

“Dalam demokrasi, rakyat berdaulat,” katanya.

Faktanya?

Yang berdaulat tidak lain oligarki. Ya, seperti pengakuan Akbar Faisal: 99 anggota DPR itu lahir dari rahim oligarki dan dinasti politik.

Jadi, kalau rakyat disuruh percaya bahwa mereka benar-benar wakil rakyat, itu sama saja seperti percaya bahwa kucing ditugaskan menjaga ikan asin di dapur. Hasilnya bisa ditebak, tinggal duri yang tersisa.

Demokrasi memang pintar memoles kebohongan atas nama “kedaulatan rakyat”. Padahal kedaulatan rakyat itu hanya berlaku sekali. Itu pun hanya sekitar 5 menit dalam setiap lima tahun. Di mana? Tidak lain di bilik suara. Saat rakyat mencoblos dalam pemilu. Ketika jari rakyat dicelup tinta biru. Setelah itu, suaranya diserahkan ke kotak suara, lalu nasibnya ditentukan oleh “penghitung suara”. Ingat kata Vladimir Putin? “Dalam pemilu demokrasi, yang menentukan pemenang bukanlah pemberi suara, tetapi penghitung suara.”

Jadi jangan heran, rakyat selalu kalah sebelum pertandingan dimulai. Suara mayoritas mereka dalam Pemilu bisa disulap jadi minoritas. Demikian pula sebaliknya.

Lagi pula, karena DPR itu dibiayai oligarki, wajar saja kalau produk-produk hukumnya lebih berpihak kepada oligarki ketimbang rakyat. UU Minerba? UU Cipta Kerja? Siapa yang senang? Rakyat atau pengusaha tambang, konglomerat sawit, investor asing?

Demokrasi akhirnya hanya menjadi panggung sirkus. Rakyat membayar tiket. Oligarki menjadi sutradara. Politisi menjadi badut. Rakyat? Tentu hanya menjadi penonton setia yang tak pernah mendapat bagian keuntungan.

Jadilah para anggota DPR dan para pejabat bukan orang-orang yang amanah. Mereka pun, seperti kata Akbar Faisal, kebanyakan tidak mengerti cara mengurus negara. Wajar jika negara makin rusak. Para pengelolanya pun makin korup.

Padahal dalam Islam, urusan kepemimpinan negara tidak boleh diserahkan pada kekuatan uang dan dinasti. Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»

“Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran (kiamat).” (HR al-Bukhari)

Islam pun mengajarkan bahwa kedaulatan ada di tangan syariah. Bukan di tangan rakyat atau oligarki. Pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah) dipilih karena ketakwaan dan kapabilitasnya. Bukan karena modal kampanye atau nama besar keluarganya.

Lebih dari itu, kekuasaan adalah amanah. Bukan komoditas yang bisa dibeli dengan fulus. Kekuasaan wajib diorientasikan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sebabnya, Allah ﷻ telah berfirman:

﴿وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ﴾

“Siapa saja yang tidak memerintah berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Maidah [5]: 45)

Jelaslah, demokrasi hanyalah panggung boneka. Yang memegang kendali adalah oligarki. Yang menari adalah politisi. Yang terhanyut emosinya adalah rakyat.

Kalau begitu, masihkah kita bangga dengan sistem demokrasi yang katanya “kedaulatan rakyat”, tetapi faktanya adalah “kedaulatan oligarki”?

Belum saatnyakah kita kembali pada sistem pemerintahan Islam yang menempatkan kedaulatan hanya pada Allah ﷻ? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Haruskah kita akan tetap setia menunggu sampai negeri ini benar-benar dikuasai secara total oleh mafia bernama oligarki atas nama demokrasi? []

Sumber: Arief B Iskandar

About Author

Categories