Refleksi Dua Tahun Badai al-Aqsa (2023–2025)

MUSTANIR.net – Dua tahun telah berlalu sejak pecahnya Badai al-Aqsa pada 7 Oktober 2023—sebuah momen yang mengguncang dunia, membuka mata umat, dan membongkar kemunafikan tatanan global. Dari langit Gaza yang merah menyala, dunia melihat bukan hanya perang, tapi pertarungan ideologi: antara peradaban kufur sekuler dan potensi kebangkitan Islam yang tak bisa lagi dibungkam.

Lebih dari 100.000 jiwa syahid dan hilang. Rumah-rumah hancur, masjid luluh lantak, anak-anak menjadi yatim, perempuan kehilangan segalanya. Dunia berbicara tentang krisis humanitarian, tapi tak satu pun kekuatan internasional yang benar-benar menghentikan kezaliman ini.

PBB hanya mengeluarkan resolusi; Amerika Serikat terus mengirim bom; Uni Eropa bersuara lembut demi “gencatan senjata sementara”; dan negeri-negeri Muslim hanya menggelar konferensi, doa bersama, dan penggalangan dana—seolah-olah penderitaan Palestina cukup ditebus dengan simpati.

“Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka wajib bagimu memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka.” (QS al-Anfal [8]: 72)

Ayat ini tidak hanya menyeru kepada empati, tapi tanggung jawab politik dan militer. Namun tanggung jawab itu kini terhenti di meja-meja diplomasi. Sebab dunia Islam tidak lagi memiliki tangan yang bisa memukul—yakni tangan khilafah Islamiyah.

Selama dua tahun Badai al-Aqsa, dunia menyaksikan paradoks tragis: 57 negeri Muslim dengan jutaan tentara dan miliaran dolar anggaran militer, tapi tak satu pun bergerak untuk membela Masjid al-Aqsa.

Mengapa?

Karena mereka bukan jundullah (tentara Allah), melainkan aparat negara bangsa (nation-state) yang terikat dengan sistem internasional buatan Barat. Mereka tidak bergerak karena tidak diperintah oleh satu pemimpin yang memerintah atas dasar wahyu.
Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya imam (khalifah) itu laksana perisai; manusia berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)

Tanpa perisai itu, umat Islam ibarat tubuh tanpa kepala. Ia masih hidup, tetapi tak mampu melindungi dirinya. Gaza hari ini adalah bukti paling nyata dari absennya perisai itu.

Perang Gaza telah menjadi cermin yang memantulkan wajah asli peradaban Barat. Segala semboyan mereka—hak asasi manusia, kemanusiaan universal, hukum internasional—runtuh di bawah puing-puing rumah warga Gaza.

Sekularisme yang mereka banggakan terbukti hanya melahirkan kebiadaban baru: menghancurkan demi “keamanan”, membunuh atas nama “demokrasi”. Mereka tidak melindungi manusia, tapi melindungi kepentingan kolonial.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rum [30]: 41)

Ayat ini seakan menjadi cermin dunia modern: kerusakan Gaza hanyalah puncak gunung es dari rusaknya tatanan global yang dibangun di atas sekularisme. Dunia ini memang butuh “kembali”—bukan ke meja negosiasi, tapi ke hukum Allah.

Umat Islam di berbagai penjuru dunia telah bangkit. Jutaan turun ke jalan. Media sosial dipenuhi seruan Free Palestine. Namun kebangkitan ini tak boleh berhenti pada simpati dan emosi. Ia harus berubah menjadi kesadaran ideologis: bahwa penjajahan Palestina adalah akibat dari jatuhnya khilafah dan dominasi sistem kufur global.

Kemenangan Palestina tidak akan datang melalui two-state solution, humanitarian aid, atau negosiasi damai. Kemenangan itu hanya akan datang dengan tegaknya daulah Islam yang menggerakkan kekuatan umat secara syar’i dan strategis.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS an-Nur [24]: 55)

Inilah janji Allah yang takkan pernah gagal. Dan janji itu akan terwujud hanya bila umat ini kembali menjadikan Islam sebagai ideologi hidup dan sistem politiknya.

Badai al-Aqsa adalah panggilan. Bukan untuk dunia, tapi untuk umat Islam. Ia menyeru agar kita berhenti percaya pada sistem sekuler internasional, berhenti menanti belas kasih dari penjajah, dan mulai menegakkan kembali kekuasaan Islam yang hilang.

Dua tahun sudah dunia menyaksikan tanpa khilafah. Dua tahun darah Muslim tumpah tanpa perlindungan. Dua tahun umat menunggu pertolongan yang tak kunjung datang dari sistem yang sebenarnya musuh mereka sendiri.

Kini waktunya mengubah arah sejarah. Dari simpati menuju strategi. Dari slogan menuju perjuangan ideologis. Dari “Save Gaza” menjadi “Tegakkan Khilafah, Selamatkan Umat”.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS al-Anfal [8]: 60)

Kekuatan itu bukan hanya senjata, tapi kekuatan iman, ideologi, dan kepemimpinan Islam yang mempersatukan seluruh potensi umat. Badai al-Aqsa adalah ujian akidah. Ia menguji sejauh mana umat Islam benar-benar memahami bahwa kehormatan al-Aqsa tidak akan kembali tanpa kembalinya kekuasaan Islam.

Maka jika hari ini dunia masih menyaksikan Gaza hancur, itu karena umat ini masih belum kembali pada jalannya: jalan jihad, jalan persatuan, jalan khilafah. Dan sampai itu terwujud, darah Palestina akan terus menjadi saksi bahwa dunia ini memang membutuhkan Islam—bukan sekadar untuk berdoa, tapi untuk memimpin kembali peradaban. []

Sumber: Arman Tri Mursi

About Author

Categories