6 Ghibah Yang Dibolehkan
Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah. Karena ghibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan. ‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.
Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”
Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”
Adapun yang dimaksud ghibah disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)
Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”
2- Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3- Meminta fatwa, dengan berkata kepada seorang ulama atau ustadz, “Si A, bapakku atau saudaraku telah menganiayaku…. Apakah dia berhak melakukan hal tersebut? Solusi apa yang bisa aku lakukan agar terhindar dari penganiayaannya?”.
Ucapan semacam ini diperbolehkan karena memang diperlukan. Akan tetapi, lebih baik jika menggunakan bahasa yang disamarkan. Semisal dengan mengatakan, “Bagaimana hukum seseorang atau seorang suami, orang tua atau anak yang berbuat demikian dan demikian?”.
Meski demikian diperkenankan pula menyebutkan identitas pelaku.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، وَلَيْسَ يُعْطِينِى مَا يَكْفِينِى وَوَلَدِى ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ « خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ »
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no 5049).
4- Guna memperingatkan kaum muslimin dari suatu bahaya. Contoh ghibah yang dibolehkan karena alasan ini adalah sebagai berikut:
- Kritik terhadap para perawi hadits, para saksi dan para penulis buku. Hal ini diperbolehkan berdasarkan konsesus umat Islam. Bahkan hukumnya bisa wajib jika untuk mempertahankan keotentikan syariat.
- Menceritakan kekurangan seseorang ketika kita dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting dengan orang tersebut.
عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ أَبِى الْجَهْمِ بْنِ صُخَيْرٍ الْعَدَوِىِّ قَالَ سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ تَقُولُ إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلاَثًا فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُكْنَى وَلاَ نَفَقَةً قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِى ». فَآذَنْتُهُ فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَأَبُو جَهْمٍ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لاَ مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ». فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا أُسَامَةُ أُسَامَةُ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَاعَةُ اللَّهِ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ». قَالَتْ فَتَزَوَّجْتُهُ فَاغْتَبَطْتُ.
Dari Abi Bakr bin Abi Al Jahm bin Shukhair Al ‘Adawi, Aku mendengar Fathimah binti Qois bercerita bahwa suaminya sudah tiga kali mencerainya lalu Rasulullah menetapkan bahwa dia tidak berhak mendapatkan hak tempat tinggal dan nafkah dari bekas suaminya. Rasulullah berkata kepadaku, “Jika masa iddahmu telah berakhir, tolong beritahukan kepadaku!”. Setelah kukabarkan kepada Rasulullah ada tiga laki-laki yang meminangku yaitu Muawiyah, Abu Jahm dan Usamah bin Zaid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Muawiayah adalah seorang yang miskin, tidak berharta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya. Terimalah lamaran Usamah bin Zaid. Fathimah binti Qois mengibasan tangannya sambil berkata, “Usamah?! Usamah?!”. Rasul bersabda, “Taat kepada Allah dan rasulNya itu yang lebih baik bagimu”. Fathimah berkata, “Akhirnya aku menikah dengan Usamah dan aku merasa sangat beruntung” (HR Muslim no 3785).
- Jika kita melihat seorang yang membeli barang yang cacat, seharusnya kita mengingatkan pembeli mengenai hal itu dengan maksud menghendaki kebaikan untuk orang lain, bukan untuk merugikan penjual atau mengacaukan transaksi jual beli.
- Jika kita melihat ada orang yang bergaul akrab dengan orang fasik (orang yang gemar bermaksiat) atau menimba ilmu dari ahli bid’ah dan kita khawatir orang tersebut akan terpengaruh maka seharusnya kita menasehati orang tersebut dengan menjelaskan keadaan gurunya berdasarkan bukti dan fakta bukan prasangka dan praduga. Hal ini kita lakukan karena kita menginginkan kebaikan untuk orang tersebut dan bukan untuk menggunjing gurunya.
- Apabila ada orang yang memegang jabatan tertentu namun dia tidak bisa menjalankannya sebagaimana mestinya karena tidak memiliki kapabilitas atau suka melanggar aturan agama. Selayaknya orang ini kita laporkan kepada atasannya untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Dengan demikian pihak atasan tidak tertipu laporan anak buahnya sehingga bisa mengarahkan anak buahnya untuk bekerja dengan baik.
5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. Untuk memberi penjelasan. Jika ada seseorang yang terkenal dengan julukan tertentu seperti, “si buta, si pincang, si cebol dan semisalnya” maka dibolehkan menyebutkan julukan tersebut untuk memberi penjelasan tentang orang yang dimaksudkan. Namun hukum hal ini berubah menjadi tidak boleh jika orang yang menyebutkan julukan tersebut bermaksud mencela. Akan tetapi lebih baik jika bisa menjelaskan orang yang dimaksudkan tanpa menyebutkan julukan tersebut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – انْصَرَفَ مِنَ اثْنَتَيْنِ ، فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتِ الصَّلاَةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ » . فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ . فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ، ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ .
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah mengucapkan salam padahal beliau baru mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat. Maka seorang yang memiliki julukan Dzul Yadaini berkata kepada Nabi, “Apakah shalat dikerjakan secara qashar ataukah engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah lantas berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dzul Yadaini?” Para shahabat berkata, “Benar”. Rasulullah lantas bangkit dan shalat sebanyak dua rakaat kemudian mengucapkan salam kemudian bersujud sebagaimana sujud yang biasa beliau kerjakan atau lebih lama lagi (HR Bukhari no 682).
Dzul Yadaini adalah julukan bagi seorang shahabat yang memiliki ukuran tangan yang tidak normal. Hadits di atas adalah dalil tegas menunjukkan bolehnya memanggil seseorang dengan nama panggilannya yang dikaitkan dengan kelainan fisik yang dia miliki.
Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan. Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan ia membawa misi berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, apalagi ia mendapat backingan dari non muslim dan Rafidhah (baca: Syi’ah), maka sudah barang tentu kaum muslimin diingatkan akan bahayanya. Namun yang diingatkan adalah yang benar ada pada dirinya dan bukanlah menfitnah yaitu menuduh tanpa bukti. Wallahu waliyyut taufiq.
(dari berbagai sumber)