Metode Talaqqi dalam Konseptualisasi Syariat Islam

talaqqi

Semua umat Islam sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah sumber hukum dan pedoman dalam beribadah. Namun dalam praktiknya, setiap orang atau jamaah memiliki pandangan masing-masing dalam menafsirkan nash (dalil), baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Efeknya, dalam beribadah pun umat Islam memiliki cara dan pandangan yang berbeda-beda.

Perbedaan memang suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari, dan Islam juga tidak mengingkari adanya realitas tersebut, asalkan perbedaan tersebut tetap berada dalam ranah hukum yang bisa ditolerir. Artinya perbedaan tersebut hanya muncul dalam perkara khilafiah dan tetap bersandar kepada dalil.

Namun berbeda cerita ketika perbedaan tersebut muncul karena mengutamakan akal dalam memahami dalil atau terlibat unsur hawa nafsu di dalamnya. Ditambah lagi jika perbedaan tersebut terjadi dalam persoalan yang telah disepakati para ulama, tentu tidak dapat ditolerir.

Misalnya ada sebagian kelompok yang berkeyakinan bahwa yang maksum (terbebas dari dosa) itu tidak hanya Nabi Muhammad saja, tapi para imam kelompok mereka juga maksum. Selain itu ada juga yang menganggap bahwa jihad sudah tidak berlaku lagi, karena yang ada hanya jihad hawa nafsu saja. Atau keyakinan-keyakinan lain yang bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Namun anehnya meskipun keyakinannya menyimpang, mereka tetap mengklaim bahwa sumber hukum yang mereka gunakan tetap dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa kesimpulannya bisa berbeda dengan pemahaman para ulama?

Manhaj Talaqqi, Faktor Awal Keselamatan Aqidah

Jika dikaji lebih lanjut maka akan terungkap, bahwa salah satu penyebab awal munculnya perbedaan tersebut bersumber pada manhaj talaqi wal istidlal yang berbeda. Dalam Bahasa Indonesia, manhaj talaqi istidlah bisa diartikan dengan tata cara atau metode dalam pengambilan ilmu dan menyimpulkan dalil.

Manhaj talaqi merupakan faktor utama yang menentukan kelurusan aqidah seseorang. Ketika manhaj talaqi yang dia tempuh lurus dan benar, maka aqidahnya pun ikut menjadi benar. Begitu juga sebaliknya ketika manhaj talaqi-nya menyimpang, maka aqidahnya pun akan ikut menyimpang pula. Oleh karena itu, agar tidak tergelincir dari ajaran yang benar, seorang Muslim mesti harus senantiasa memperhatikan kepada siapa dia berguru dan bagaimana cara memahami ajaran Islam dengan benar.

Dalam kitab Manhaj Talaqi Wal Istidlal Baina Ahli Sunah Bal Mubtadi’ah, Syaikh Ahmad bin Abdurrahman As-Suyani menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi ciri khas ahlus sunnah dalam memahami ajaran Islam.

1. Senantiasa mengutamakan nash syar’i.

Yaitu setiap dalil yang bersumber dari kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya dan Ijma’ Salafus Shalih. karena pada dasarnya seorang Musilm harus senantiasa tunduk dan menyerahkan diri untuk diatur berdasarkan syariat Islam. Allah ta’ala berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

2. Bersandar kepada hadits yang shahih

Di antara pokok utama yang harus diperhatikan dalam menyimpulkan hukum adalah keshahihan hadits. Penyimpulan hukum yang benar akan selalu bersandar kepada hadits yang shahih, sedangkan hadits yang palsu tidak boleh dijadikan dalil dalam beragama dan wajib dihindari.

Yahya Bin Said berkata, “Jangan hanya melihat pada hadits tapi lihatlah sanadnya (jalur periwayatannya). Jika sanadnya shahih maka ambillah, namun jika tidak maka jangan tertipu dengan kata-kata hadits.” (Siyar A’lam An-Nubala, 9/188)

Ibnu Taimiyah berkata, “Berdalil dengan sesuatu yang tidak diketahui keshahihannya tidak dibolehkan menurut kesepakatan ulama, karena hal itu sama saja berkata tanpa ilmu dan itu haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’.” (Majmu Fatawa 3/380)

3. Memahami nash/dalil dengan benar

Secara global ada empat tata cara atau manhaj yang harus ditempuh oleh seorang Muslim agar tidak keliru dalam memahami nash, atau tidak menyimpang ketika menyimpulkan hukum dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Keempat manhaj tersebut adalah:

  • Pertama: Bersandar kepada manhaj sahabat

Para sahabat adalah generasi Islam yang terbaik. Perjuangan dan pengorbanan mereka telah terbukti dan tercatat dalam lembaran sejarah. Derajat mereka tinggi dan status keadilannya pun telah diakui oleh sang pemilik syariat, sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah…” (At-Taubah: 100)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Barangsiapa mengikuti jejak (seseorang) maka ikutilah jejak orang-orang yang telah wafat, mereka adalah para Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah sebaik-baik ummat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit berpura-pura. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya dan menyebarkan agamanya, maka berusahalah untuk meniru akhlak dan cara mereka. Karena mereka telah berjalan di atas petunjuk yang lurus. (Ibnu ‘Abdil Baar, Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih, II/947)

Imam As-Syithibi berkata, “Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik adalah orang yang paling mengetahui tentang Al-Qur’an dan setiap makna yang tersirat di dalamnya…” (Al-Muwafakat, 2/79)

  • Kedua: Memahami gramatika Bahasa Arab

Bahasa Arab menjadi kunci utama dalam memahami ajaran Islam. Para ulama—termasuk di dalamnya Imam Syafi’i, Ibn Abd al-Barr, As-Syathibi dan Ibn Taimiyah—mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah berbahasa Arab, maka tidak mungkin bisa memahaminya kecuali dengan cara mengetahui Bahasa Arab juga. Sebab Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab.” ( Yusuf: 2)

As-Syathibi berkata, “Al-Qur’an adalah berbahasa Arab dan diturunkan dengan lisan kaum Arab, bukan bahasa orang ‘ajam dan lisannya orang ‘ajam. Oleh karena itu, siapa pun yang hendak memahaminya maka hendaklah ia memhamami bahasa Arab dan tidak ada cara lain untuk memahaminya selain dengan cara tersebut. (Muwafakat, 2/64)

  • Ketiga: Mengumpulkan seluruh nash berkenaan dengan masalah yang sedang diputuskan

Pengambilan hukum akan menjadi kabur jika dalam penyimpulannya hanya bersandar kepada sebagian nash saja dan mengabaikan nash-nash yang menerangkan masalah tersebut. Sikap tersebut sama saja dengan sifat yang disebutkan oleh Allah ta’ala:

“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?…” (Al-Baqarah: 85)

Dalam hal ini, Imam Ahmad berkata, “Suatu hadits jika tidak dikumpulkan seluruhnya maka tidak dapat dipahami, karena antara satu hadis dengan yang lain saling menafsirkan.”(Al-Jami’ Il Akhlak Rawi, 2/212)

Asy-Syathibi berkata, “Faktor utama terjadinya kesalahan dalam permasalahan ini adalah hanya karena satu, yaitu jahil terhadap Maqasid (tujuan) syariat dan tidak menggabungkan antara satu nash syar’i dengan nash-nash yang lain. Karena cara penyimpulan dalil menurut para ulama adalah mengambil dalil syariat dalam satu gambaran utuh dan sesuai dengan yang ditetapkannya, baik yang kulli (general) ataupun yang juz’i (parsial) yang menjelaskan masalah tersebut.”

Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu wajib mengumpulkan suruh nash yang menunjukkan permasalahan yang sedang diputuskan dalam satu bab, menempatkan nash sesuai dengan tempatnya. Karena seluruh nash yang ada adalah saling menguatkan dan tidak ada yang saling bertentangan. Sebab seluruhnya muncul dari satu sumber, sehingga tidak mungkin saling bertentangan atau saling menyelisihi.” (Al-Muwafaqot: 1/245)

  • Keempat: Memahami Maqashid Syari’ah

Di antara karunia Allah kepada hamba-Nya adalah menetapkan seluruh hukum syariat sesuai dengan maksud dan tujuan agung untuk kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)

Ibnu Taimiyah berkata, “Syariat ditetapkan untuk mencapai kemaslahatan dan menyempurnakannya, menghilangkan kerusakan dan meminimalisirkannya sebisa mungkin, mengetahui yang terbaik dari dua pilihan baik dan yang terburuk dari dua pilihan buruk, agar yang terbaik bisa dicapai dan yang terburuk bisa dihindari.” (Minhaju Sunah, 2/118)

Demikianlah ketentuan dan syarat yang ditetapkan oleh para ulama dalam memahami ajaran Islam. Ketika ketentuan itu ditepati dalam menyimpulkan dalil, maka hasilnya pun akan tepat dan tidak menyimpang dari maksud yang diinginkan oleh Allah dan rasul-Nya. Dan sebaliknya ketika salah satu ketentuan tersebut diabaikan maka akan fatal dan menyimpang dari kehendak islam itu sendiri. Misalnya dalam memahami syariat jihad, dalam makna syar’i jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir untuk meninggikan kalimatullah. (lihat: Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 4/121, As-Syarhrus Sogir ‘Ala Aqrobul Masalik, 2/267, Fathul Bari, 6/3)

Kemudian seluruh nash syar’i menyebutkan bahwa salah satu maqashid (tujuan) utama jihad adalah untuk menegakkan hukum Allah, menghilangkan kesyirikan dan menjadikan seluruh ketaatan hanya milik Allah semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku diperinthakan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersyahadat Laa Ilaa Illallaah wa Anna Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melaksanakannya maka darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan hak Islam. Sementara hisab mereka kepada Allah.” (HR. Bukhari-Muslim)

Demikian juga dengan cara pandang sahabat dalam memahami perintah jihad, meskipun hukum dan syariat Islam telah tegak di seluruh jazirah Arab, para sahabat tetap meneruskan jihad untuk melakukan ekspansi wilayah agar dakwah Islam bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dan dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa jihad akan terus berlangsung hingga akhir zaman kelak, beliau bersabda:

“Agama ini akan senantiasa tegak, di mana ada segolongan dari kaum muslimin yang berperang untuk membelanya hingga hari kiamat.” (HR. Muslim)

Demikianlah salah satu contoh bagaimana cara memahami ajaran Islam dengan benar, jadi sangat naif jika ada tokoh Islam hari ini yang masih memandang bahwa jihad hanya bermakna melawan hawa nafsu. Tentu ada yang cacat dalam memahami syariat tersebut, baik karena tidak memahami nash secara utuh maupun karena ada unsur hawa nafsu dalam memahaminya.Wallahu a’alam bishowab!

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories