Apakah Khamr Itu Najis ?
Apakah Khamr Itu Najis ?
By : Tajun Nashr
Hukum bahwa khamar itu haram sudah merupakan ijma’ para ulama’ dari dahulu sampai sekarang. Sehingga dalam masalah ini tidak ada perbedatan.
Namun, apakah dengan demikian khamr juga dihukumi sebagai benda yang najis ?
Ternyata terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hal ini, meskipun hampir semua ulama dari 4 madzhab dan madzhab dhahiri berpendapat bahwasanya khamr itu najis. Hanya saja ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa meskipun haram untuk dikonsumsi tetapi zat khamr itu sendiri tidak najis.
Berikut ini rincian pendapat mereka :
A. Para Ulama yang Berpendapat Bahwa Khamr Itu Najis
1. Madzhab Hanafi
a. Al-Kasani (w. 587 H) dalam Badai’ As-Shanai’ fii Tartib As-Syarai’ berkata :
(وَمِنْهَا) الْخَمْرُ وَالسَّكْرُ أَمَّا الْخَمْرُ؛ فَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّاهُ رِجْسًا فِي آيَةِ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ فَقَالَ: {رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ} [المائدة: 90] وَالرِّجْسُ: هُوَ النَّجِسُ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَرَامٌ وَالْحُرْمَةُ – لَا لِلِاحْتِرَامِ – دَلِيلُ النَّجَاسَةِ.
“Di antara jenis benda najis adalah khamr dan minuman yang memabukkan. Adapun kenajisan khamr adalah karena Allah ta’ala menamakannya dengan ‘الرجس’ dalam ayat pengharaman khamr. Allah berfirman : “… adalah termasuk perbuatan syaitan.” (Al-Maidah : 90) Makna kata(الرجس) adalah benda najis, sebab kedua jenis benda tadi diharamkan, dan pengharaman yang bukan karena untuk menghormatinya merupakan dalil akan kenajisannya.”[1]
b. Al-Qadli Zadah (w. 1078 H) dalam Majma’ Al-Anhur fii Syarhi Multaqa Al-Abhur berkata :
قَالَ الْفَاضِلُ الشَّهِيرُ بِقَاضِي زَادَهْ: بَقِيَ هَا هُنَا شَيْءٌ وَهُوَ أَنَّ عَيْنَ الْخَمْرِ مَثَلًا لَيْسَ بِحَدَثٍ مَعَ أَنَّهُ نَجَسٌ فِي الشَّرْعِ بِلَا رَيْبٍ
“Berkata ulama mulia yang terkenal dengan Qadli Zadah, “Kemudian tersisa satu pembahasan lagi, yaitu tentang dzat khamr misalnya. Zat itu tidak termasuk hadats meskipun ia zat yang tidak diragukan lagi kenajisannya dalam hukum syar’i….”[2]
2. Madzhab Maliki
a. Al-Qarafi (w. 684 H) dalam Adz-Dzakhirah berkata :
وَنَجَاسَةُ الْخَمْرِ مُعَلَّلَةٌ بِالْإِسْكَارِ وَبِطَلَبِ الْإِبْعَادِ، وَالْقَوْلُ بِنَجَاسَتِهَا يُفْضِي إِلَى إِبْعَادِهَا
“..Illah (sebab) najisnya khamr adalah karena ia merupakan sesuatu yang memabukkan dan ada perintah untk menjauhinya….”[3]
b. Ar-Ru’ainy (w. 954) dalam Mawahib Al-Jalil fii Syarh Mukhtashar Al-Khalil berkata :
فَقَدْ نَقَلَ سَنَدٌ فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ عَنْ شَيْخِهِ الطُّرْطُوشِيِّ أَنَّهُ قَالَ: أَصْلُ مَذْهَبِ ابْنِ الْمَاجِشُونِ أَنَّهُ لَا يُنْتَفَعُ بِشَيْءٍ مِنْ النَّجَاسَاتِ فِي وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ حَتَّى لَوْ أَرَاقَ إنْسَانٌ خَمْرًا فِي بَالُوعَةٍ فَإِنْ قَصَدَ بِذَلِكَ دَفْعَ مَا اجْتَمَعَ فِيهَا مِنْ كُنَاسَةٍ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ انْتَهَى.
“Ada sebuah sanad yang dinukil dari kitab At-Thaharah dari Syaikh At-Thurtusyi dia berkata, “Pendapat dari Ibnu Al-Majisyun adalah bahwa tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang najis untuk apapun, bahkan meskipun ada orang yang membuang khamr pada selokan dengan tujuan untuk menghilangkan sampah yang ada di situ hukumnya tetap tidak boleh.”[4]
3. Madzhab Syafi’i
a. An-Nawawi (w. 676 H) dalam Raudlah At-Thalibin wa ‘Umdatu Al-Muftiyyin berkata :
الْأَعْيَانُ: جَمَادٌ، وَحَيَوَانٌ، فَالْجَمَادُ: مَا لَيْسَ بِحَيَوَانٍ، وَلَا كَانَ حَيَوَانًا، وَلَا جُزْءًا مِنْ حَيَوَانٍ، وَلَا خَرَجَ مِنْ حَيَوَانٍ، فَكُلُّهُ طَاهِرٌ، إِلَّا الْخَمْرَ، وَكُلُّ نَبِيذٍ مُسْكِرٍ.
“Jenis benda (yang najis) ada dua macam : binatang dan benda-benda mati. Yang dimaksud dengan benda mati di sini adalah semua yang tidak masuk jenis binatang, bukan sesuatu yang berasal dari binatang atau bukan bagian dari binatang, dan bukan sesuatu yang keluar dari binatang. Semua jenis benda mati tersebut suci, kecuali khamr dan setiap nabidz yang memabukkan…”[5]
b. Asy-Syairazi (w. 476 H) dalam Al-Muhaddzab fii Fiqhi Al-Imam As-Syafi’i berkata :
وأما الخمر فهو نجس لقوله عز وجل: {إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة:90] ولأنه يحرم تناوله من غير ضرورة فكان نجساً كالدم وأما النبيذ فهو نجس لأنه شراب فيه شدة مطربة فكان نجساً كالخمر
“Adapun khamr maka hukumnya najis, sebagaimana firman Allah : “…Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(Al-Maidah : 90)
Selain itu khamr juga haram dikonsumsi kecuali pada kondisi darurat, sehingga hukumnya menjadi najis seperti darah…..”[6]
4. Madzhab Hanbali
a. Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam Al-Mughni berkata :
فَإِذَا كَانَ فِي الْإِنَاءِ خَمْرٌ أَوْ شِبْهُهُ مِنْ النَّجَاسَاتِ الَّتِي يَتَشَرَّبُهَا الْإِنَاءُ ثُمَّ مَتَى جُعِلَ فِيهِ مَائِعٌ سِوَاهُ ظَهَرَ فِيهِ طَعْمُ النَّجَاسَةِ، أَوْ لَوْنُهَا لَمْ يَطْهُرْ بِالْغَسْلِ؛ لِأَنَّ الْغَسْلَ لَا يَسْتَأْصِلُ أَجْزَاءَ النَّجَاسَةِ مِنْ جِسْمِ الْإِنَاءِ، فَلَمْ يُطَهِّرْهُ، كَالسِّمْسِمِ إذَا ابْتَلَّ بِالنَّجَاسَةِ.
“..Jika dalam sebuah wadah terdapat khamr atau benda najis yang sejenisnya yang meresap ke wadah tersebut, kemudian ketika dituangkan cairan lain ke dalam wadah tersebut dan ternyata terdapat rasa dari benda najis itu, atau warnanya maka cara menyucikannya tidak cukup hanya dengan dicuci saja, sebab mencuci tidak cukup untuk menghilangkan total zat-zat najisnya dari wadah tersebut, sehingga mencuci tidak bisa membuatnya suci….”[7]
b. Al-Mardawi (w. 885 H) dalam Al-Inshaf berkata :
قَوْلُهُ (وَلَا يَطْهُرُ شَيْءٌ مِنْ النَّجَاسَاتِ بِالِاسْتِحَالَةِ، وَلَا بِنَارٍ أَيْضًا إلَّا الْخَمْرَةَ) ، هَذَا الْمَذْهَبُ بِلَا رَيْبٍ. وَعَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ. وَنَصَرُوهُ.
Dan perkataannya, “Benda-benda najis itu tidak bisa disucikan dengan cara istihalah atau dengan api kecuali khamr.” Ini adalah pendapat madzhab ini (hanbali) tanpa diragukan lagi, juga mayoritas pendapat ulama madzhab dan mendukungkan.”[8]
5. Madzhab Dhahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam Al-Muhalla berkata :
وَالْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ حَرَامٌ وَاجِبٌ اجْتِنَابُهُ، فَمَنْ صَلَّى حَامِلًا شَيْئًا مِنْهَا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (( إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ ))
فَمَنْ لَمْ يَجْتَنِبْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يُصَلِّ كَمَا أُمِرَ، وَمَنْ لَمْ يُصَلِّ كَمَا أُمِرَ فَلَمْ يُصَلِّ.
“…Khamr, judi, berhala, anak panah (yang digunakan mengundi nasib) Adalah sesuatu yang najis, haram serta wajib dijauhi, maka orang yang shalat dengan membawa salah satu dari benda tersebut sholatnya batal.
Allah berfirman: “…Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(Al-Maidah : 90
Maka orang yang tidak menjauhkan benda-benda tadi dari sholatnya dia tidak melaksanakan sholat sesuai yang diperintahkan. Dan siapa yang tidak sholat sesuai dengan yang diperintahkan maka dia sana saja dengan tidak sholat.[9]
B. Para Ulama yang Berpendapat Bahwa Khamr Tidak Najis
Ada para ulama yang berpendapat bahwa khamr itu tidak najis, baik dari ulama salaf maupun ulama khalaf, di antaranya :
1. Rabi’ah Ar-Ra’yi (w. 142 H) syaikh dari Imam Malik dan Dawud Ad-Dhahiri (w. 270 H), sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ :
الخمر نجسة عِنْدَنَا وَعِنْدَ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ وَسَائِرِ الْعُلَمَاءِ إلَّا مَا حَكَاهُ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَغَيْرُهُ عَنْ رَبِيعَةَ شَيْخِ مَالِكٍ وَدَاوُد أَنَّهُمَا قَالَا هِيَ طَاهِرَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً كَالسُّمِّ الَّذِي هُوَ نَبَاتٌ وَكَالْحَشِيشِ الْمُسْكِرِ وَنَقَلَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ الْإِجْمَاعَ عَلَى نَجَاسَتِهَا وَاحْتَجَّ …..
“Khamr itu hukumnya najis menurut madzhab kami (madzhab syafi’i), Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan seluruh ulama kecuali pendapat (berbeda) yang diriwayatkan Al-Qadli Abu Thayyib dan yang lain dari Rabi’ah syaikh Imam Malik, serta Dawud bahwa mereka berdua berpendapat bahwasanya khamr itu suci meskipun hukumnya haram sebagaimana racun yang merupakan tanaman seperti ganja yang memabukkan…..”[10]
2. As-Shan’ani (w. 1182 H), sebagaimana perkataan beliau berikut dalam kitabnya Subulus Salam ketika menjelaskan hadits yang menjelaskan mengenai haramnya jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala :
قِيلَ: وَالْعِلَّةُ فِي تَحْرِيمِ بَيْعِ الثَّلَاثَةِ الْأُوَلِ هِيَ النَّجَاسَةُ وَلَكِنَّ الْأَدِلَّةَ عَلَى نَجَاسَةِ الْخَمْرِ غَيْرُ نَاهِضَةٍ وَكَذَا نَجَاسَةُ الْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ فَمَنْ جَعَلَ الْعِلَّةَ النَّجَاسَةَ عَدَّى الْحُكْمَ عَلَى تَحْرِيمِ بَيْعِ كُلِّ نَجَسٍ
“Ada yang berpendapat bahwa illah dari diharamkannya jual beli tiga jenis pertama (khamr, bangkai dan babi) adalah karena ketiga benda itu merupakan benda yang najis, namun dalil-dalil mengenai kenajisan khamr adalah dalil-dalil yang tidak kuat, begitu juga dengan kenajisan bangkai dan babi, maka konsekuensi dari pendapat bahwa illah dalam masalah ini adalah karena kenajisannya adalah bahwa semua benda najis itu haram diperjual belikan.
Setelah itu beliau menyebutkan pendapat yang dipilih olehnya :
…..وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَنْهَضُ دَلِيلٌ عَلَى التَّعْلِيلِ بِذَلِكَ بَلْ الْعِلَّةُ التَّحْرِيمُ
“…pendapat yang kuat adalah bahwa dalil yang menunjukkan bahwa illahnya adalah najis itu lemah, sebab illah dari diharamkannya jual beli ini sebab benda-benda tersebut adalah benda-benda yang haram.”[11]
Demikianlah pendapat para ulama dalam masalah kenajisan khamr. Sebagaimana telah disebutkan bahwa memang terjadi pendapat dalam masalah ini antara mayoritas para ulama dari 5 madzhab dengan beberapa ulama, namun sebagai seorang muslim hendaknya kita harus selalu menjauhkan diri dari benda-benda yang diharamkan oleh Allah dari lingkungan kita. Sehingga tercipta masyarakat yang tidak hanya sehat dari sisi ruhani kita tetapi sehat dari sisi fisik dan badan.
-Wallahu a’lam bisshawab-
[1] Al-Kasani (w. 587 H ), Badai’ as-Shanai’ fi Tartib As-Syarai’ – jiild 1, hal. 60
[2] Al-Qadli Zadah (w. 1078 H), Majma’ Al-Anhur fii Syarhi Multaqa Al-Abhur – Jilid 1 hal, 19
[3] Al-Qarafi (w. 684 H), Ad-Dzakhirah – jilid 1, hal. 164
[4] Ar-Ru’ainy (w. 954), Mawahib Al-Jalil fii Syarh Mukhtashar Al-Khalil – jilid 1, hal. 120
[5] An-Nawawi (w. 676 H), Raudlah At-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftiyyin – jilid 1, Hal. 13
[6] Asy-Syairazi (w. 476 H), Al-Muhaddzab fii fiqhi al-imam As-Syafi’i – jilid 1 hal. 93
[7] Ibnu Qudamah (w. 620 H), Al-Mughni – jilid 1, hal. 44
[8] Al-Mardawi (w. 885 H), Al-Inshaf fii Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf – jilid 1, hal. 318
[9] Ibnu Hazm (w. 456 H), Al-Muhalla bi Al-Atsar – Juz 1. Hal. 188-189
[10] An-Nawawi (w. 676 H), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab – Juz. 2, Hal. 563
[11] As-Shan’ani (w. 1182 H), Subulus Salam – Juz. 2, hal. 4