Aktivis: Islamofobia Makin Parah Di AS Pasca Terpilihnya Trump

Donald Trump | foto: rep


MUSTANIR.COM, WASHINGTON DC — Perilaku dan tindakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berdampak buruk kepada Muslim Amerika. Seorang aktivis Muslim, Ibrahim Hooper, mengatakan, Muslim di Amerika lebih rentan terhadap kefanatikan (bigotry) dan Islamofobia setelah Trump terpilih.

Menurut Hooper, tingkat kecemasan dan kekhawatiran umat Muslim di Amerika meningkat memasuki peringatan setahun Trump menjabat. Banyak Muslim takut untuk memperlihatkan identitas mereka di hadapan publik. Sejumlah Muslimah bahkan memutuskan melepas jilbab ketika tampil di depan umum.

“Bukan hanya orang Amerika Muslim (yang merasa cemas). Kami melihat ada supremasi kulit putih di bawah Trump,” kata pendiri Dewan Hubungan Amerika-Islam ini kepada the Independent.

Hooper mengatakan, banyak orang kulit hitam dan kelompok minoritas sangat cemas dengan tindakan Trump. Beberapa kebijakan yang menimbulkan kekhawatiran di antaranya larangan perjalanan bagi Muslim dan tindakan kekerasan kepada migran gelap.

Hooper mengatakan Trump, sebagai presiden, telah gagal menentang supremasi dan ekstremisme kulit putih. Ini memungkinkan kekerasan terhadap kulit hitam dianggap wajar.

Kondisi ini dianggap lebih buruk daripada Islamofobia yang muncul setelah Tragedi WTC atau 9/11. “Setelah 9/11, kefanatikan itu muncul secara sembunyi-sembunyi. Sekarang orang-orang fanatik itu lebih terbuka dan bangga dengan kefanatikan mereka,” ujar Hooper.

Hooper menambahkan, beberapa insiden kekerasan anti-Muslim menjadi berita utama media-media internasional. Ia mencontohkan peristiwa yang terjadi pada Mei ketika dua orang terbunuh dan tiga lainnya terluka parah.

Mereka menolong dua Muslimah yang diteriaki seorang pria dengan kata-kata penghinaan anti-Muslim. Kejadian lain juga terjadi di Quebec, Kanada. Enam orang terbunuh dan 10 lainnya luka-luka setelah seorang pria bersenjata melepaskan tembakan. Kasus lain juga terjadi meski tak masuk dalam pemberitaan internasional.

Antara periode Januari hingga September 2017, Dewan Hubungan Amerika-Islam mencatat ada 1.656 “insiden bias” dan 195 kejahatan rasial. Jumlah insiden bias meningkat sebanyak sembilan persen dan kejahatan rasial naik 20 persen dari tahun sebelumnya. Koordinator Penelitian dan Advokasi Zainab Arain mengatakan, sejak pendataan awal, 2017 merupakan tahun terburuk dalam catatan insiden bias anti-Muslim di Amerika.

“Selain itu, tahun ini kami mencatat adanya tren pelaku kejahatan atau gangguan yang meminta Trump mengungkapkan permusuhan rasial dan relijius,” kata Arain.

Trump, kata dia, sering berbicara tentang Muslim dengan nada menghina baik selama masa kampanye 2016 maupun setelah menjabat. Pada akhir 2015, Trump bahkan mengatakan akan melarang Muslim memasuki Amerika.

Pernyataan ini muncul setelah terjadi penembakan massal di San Bernardino, California, yang menewaskan 14 orang. Serangan itu dilakukan oleh pasangan suami istri, Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik. Farook merupakan warga keturunan Pakistan yang tinggal di AS, sementara Malik adalah penduduk tetap sah yang lahir di Pakistan.

Seminggu setelah dilantik, Trump menandatangani tiga perintah eksekutif pertama yang dirancang untuk melarang warga dari beberapa negara mayoritas Muslim masuk ke AS. Perintah itu pada awalnya diblokir oleh pengadilan dan Gedung Putih bergegas mengatakan bahwa itu bukan larangan bagi umat Islam. Namun, sekutu Trump Rudy Giuliani mengatakan bahwa Presiden menginginkan sebuah “larangan Muslim” dan telah menanyakan kepadanya bagaimana cara memberlakukannya.

Trump baru-baru dituntut karena dianggap memicu Islamofobia. Di akun Twitter resminya, ia mengunggah kembali (retweet) tiga video yang awalnya diunggah oleh kelompok sayap kanan Inggris First Britain. Video-video tersebut menggambarkan beberapa Muslim menyerang orang lain. Dalam salah satu video, Muslim digambarkan menghancurkan patung Perawan Maria. Gedung Putih menolak untuk menanggapi hal ini.
(republika.co.id/29/12/17)

About Author

Categories