Andai Kartini Khatam Mengaji

kartini-berjilbab

Andai Kartini Khatam Mengaji

Sejarah, penggal waktu yang telah ditinggalkan. Sejarah, hanyalah saksi bisu yang bergantung pada kacamata manusia untuk membacanya. Sejarah bisa berarti beda jika kacamata baca manusia juga berbeda. Adalah sebuah keharusan untuk membaca sejarah secara obyektif berdasarkan fakta. Demikian halnya dengan perjuangan Kartini. Benarkah Kartini menginginkan kaum wanita mengejar kesetaraan kedudukan dengan kaum laki-laki di semua bidang ?

Obyektifitas adalah syarat utama untuk mengkaji sebuah sejarah. Tanpa ada semangat obyektifitas, sebuah peristiwa sejarah dapat dimaknai dan disalahgunakan sesuai dengan kepentingan pihak yang bersangkutan. Untuk mendukung sebuah pendapat atau mewujudkan sebuah tujuan, kisah sejarah bisa dipenggal, dihilangkan atau justru ditambahi penekanan pada bagian-bagian tertentu. Penyusunan sejarah seperti ini hanya akan mengantarkan masyarakat kepada sebuah kesimpulan yang salah, bukan kepada pelajaran sebenarnya yang ada dibalik kisah kehidupan sang tokoh.

Demikian halnya dengan sejarah perjuangan R.A Kartini. Selama ini yang dipahami dan dicatat dari perjuangan Kartini adalah semangat emansipasi untuk menjadikan kaum wanita mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum laki-laki. Sehingga yang terlihat kemudian adalah wanita Indonesia yang tergopoh-gopoh untuk menempatkan diri pada posisi-posisi yang didominasi oleh kaum pria. Kata “emansipasi” telah bergeser kearah liberal, gender, feminisme dan ide-ide penentangan terhadap fitrah kaum wanita yang memang berbeda dengan lawan jenisnya.

Kartini, Antara Dominasi Adat dan Pengaruh Barat

Menelisik kehidupan seorang tokoh tak terlepas dari lingkungan internal dan eksternal yang membentuk kepribadiannya. Kartini tumbuh dalam dua suasana dan pemikiran yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Sebagai keturunan ningrat, Kartini tumbuh di lingkungan yang kuat dengan adat istiadat.

Di satu sisi, keningratan yang ada padanya, memungkinkan Kartini untuk memiliki teman-teman dari Belanda yang mengagungkan kebebasan. Dari surat-surat Kartini yang terhimpun, nampak bahwa jalinan persahabatan ini telah menyumbangkan sebuah pemikiran tersendiri bagi perkembangan dirinya.

Kartini tumbuh di lingkungan Jawa yang teguh memegang adat-istiadat. Di tengah kuatnya dominasi adat, Kartini berani berdiri untuk menantang semua adat itu. “Peduli apa aku dengan segala tata cara itu… segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu… tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan” (Surat Kartini kepad Stella, 18 Agustus 1899).

Kartini memahami bahwa setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat perlakuan yang sama. Kartini menolak adat Jawa yang membedakan manusia berdasarkan asal keturunannya.

Kebencian Kartini terhadap segala bentuk etiket yang diskriminatif, mendorongnya untuk mengintip nilai-nilai yang berlaku di kalangan teman-teman Belandanya. Kartini menganggap bahwa peradaban mereka lebih tinggi dibandingkan masyarakat Jawa. Hal ini terungkap dari petikan suratnya “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa” (Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899).

Tak salah jika Kartini memiliki kesimpulan seperti itu. Penjajah Belanda telah berhasil menanamkan rasa rendah diri kepada masyarakat pribumi. Diskriminasi yang dilakukan Belanda telah mengajarkan bahwa pribumi atau bangsa Timur adalah rendah dan bangsa Barat adalah mulia.

Kartini menyimpulkan bahwa pangkal kemunduran dan rasa rendah diri yang dialami oleh masyarakat adalah mundur dan minimnya pendidikan yang mereka rasakan. Kaum pribumi adalah kaum terbelakang dan bodoh. Pendidikan menjadi hak paten bagi kalangan ningrat dan para penjajah.

Titik tolak perjuangan Kartini diawali dengan membenahi pendidikan di kalangan pribumi, tak terkecuali kaum wanita. Kartini membuat nota yang berjudul “Berilah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa” kepada pemerintah kolonial. Dalam nota tersebut, Kartini mengajukan kritik dan saran kepada hampir semua Departemen Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Departemen angkatan Laut (Marine). Kartinipun merasa perlu untuk belajar ke Barat. “Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900).

Barat telah menjadi panutan dan kiblat Kartini untuk melepaskan diri dari kungkungan adat. “Pergi ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang terakhir” (Surat Kartini kepada Stella, 12 Januari 1900). Namun cita-cita ini harus kandas di tangan para sahabat-sahabatnya yang tak menginginkan Kartini memiliki pemahaman lebih maju lagi.

Pergolakan Pemikiran Setelah Mengenal Islam

Sulit bagi Kartini untuk bertahan di lingkungan yang bertentangan dengan pemikirannya. Di tengah kuatnya kungkungan adat dan derasnya serangan pemikiran Barat, Kartini mencoba mencari jawaban.

Tahun-tahun terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Ajaran Islam pada awalnya tak mendapat tempat di benak Kartini. Hal ini dikarenakan pengalaman yang tak mengenakkan dengan Sang ustadzah. Sang ustadzah menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa ? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya ? Al Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.

Di sini orang diajar membaca Al Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacaya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella ?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).

Namun, pertemuannya dengan kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan Surat Al Fatihah yang disampaikan sang kyai. Kartinipun mendesak salah satu paman untuk menemaninya bertemu sang kyai. Berikut adalah petikan dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”. Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al_Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga belum selesai diterjemahkan seluruh Al Quran ke dalam bahasa Jawa.

Andai saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al Quran) maka tidak mustahil jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajarannya. Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Pada mulanya beliau adalah sosok paling keras menentang poligami. Tetapi setelah mengenal ajaran Islam, beliau mau menerimanya.

Upaya Meneladani Kartini

Upaya untuk menerjemahkan perjuangan Kartini oleh kaum wanita sekarang ini nampaknya telah melampaui batas. Petikan surat Kartini berikut ini menegaskan kesalahan penterjemahan kaum wanita Indonesia.

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.

Atas nama perjuangan Kartini, para wanita justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.

Kartini bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Surat Al Baqarah ayat 193. Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya telah mendoronganya untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran agamanya.

“…, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna ? dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902). [dakwahkampus/adj]

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories