Antara Soviet dan PKI
Antara Soviet dan PKI
Oleh Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Mustanir.com – Pembahasan mengenai sepak terjang PKI di Indonesia selain memperhatikan persoalan ideologi dan situasi politik dalam negeri saat itu, penting pula untuk memperhatikan unsur-unsur lain terutama pengaruh dari luar. Padahal PKI tak bisa dilepaskan dari gerakan komunis internasional. Bahkan sejak masa kemunculannya di Hindia Belanda saat itu.
Hindia Belanda saat itu memang sedang mengalami masa peralihan. Nusantara pada paruh pertama abad ke-19 diwarnai oleh berbagai perlawanan dahsyat terhadap kolonialisme, mulai dari Jawa oleh Pangeran Diponegoro, Kaum Paderi dan rakyat Minangkabau di Sumatera Barat dan sekitarnya, Palembang, hingga Banjarmasin (dengan pengecualian di Aceh yang berlangsung hingga abad ke 20). Perlawanan-perlawanan itu membuat kas pemerintah kolonial terkuras (terutama akibat perang Jawa). Sistem tanam paksa digalakkan untuk menguras kekayaan alam dan tenaga manusia di Hindia Belanda. Eksploitasi habis-habisan ini mendulang kekayaan yang melimpah bagi pemerintah kolonial.
Liberalisasi ekonomi yang ditandai oleh menjamurnya perkebunan-perkebunan swasta di Hindia Belanda, kembali untuk menguras kekayaan dan tenaga orang-orang pribumi. Politik etis dirasakan merembesnya beberapa orang pribumi memperoleh pendidikan. Dampak ini kemudian menjalar kepada kesadaran akan kesewenang-wenangan kolonialisme. Sarekat Islam tak bisa tidak merupakan organisasi pertama di Hindia Belanda yang menyatukan berbagai lapisan orang-orang pribumi. Ia tidak saja memberikan harga diri pada orang pribumi untuk bangkit, tetapi juga memberikan kedudukan yang setara bagi orang-orang lemah pribumi seperti petani yang selama ini terpinggirkan. Maka Sarekat Islam turut pula menjadi wadah besar berkumpulnya para aktivis pribumi di Hindia Belanda, mulai dari kalangan priyayi, ulama, pedagang, hingga tokoh kelompok kiri seperti Semaoen.
Nama Semaoen tak bisa dilepaskan dari mentornya, yaitu Sneevliet.[1] Sneevliet-lah yang membawa komunisme ke Hindia Belanda. Sarekat Islam sebelum kehadiran Semaoen adalah wadah persatuan, tetapi belum menjadi wadah perlawanan frontal dan radikal terhadap kekuasaan kolonial. Hal ini dapat dipahami mengingat setiap perlawanan frontal terhadap penguasa berarti pembungkaman organsisasi dan aktvisinya, seperti yang di alami oleh Indische partj (IP).[2]
Sejak Semaoen bergabung dengan Sarekat Islam (SI), ia menjadi motor pergerakan kelompok kiri di Sarekat Islam. Semaoen dengan ideologi komunisnya, selain ingin membawa SI lebih radikal mengkritik pemerintah kolonial, juga hendak membawa Sarekat Islam netral agama. Hal inilah mendapat tentangan keras dari kelompok SI putih seperti Haji Agus Salim dan H. Fachrodin.[3]
Dibalik pembicaraan mengenai munculnya komunisme di Hindia Belanda, penting untuk mengetahui bagaimana pandangan gerakan komunis internasional (khususnya pasca terbentuknya Komintern tahun 1919) terhadap perkembangan di Hindia Belanda, terutama hubungannya gerakan Islam.
Lenin pada tahun 1913 memang telah memberikan perhatiannya pada Sarekat Islam. Artikel dalam Pravdaedisi bulan Mei, tersebut Lenin menulis mengenai mengenai kebangkitan di Asia, termasuk di Hindia Belanda,”
“…the democratic movement is developing among the masses of Java, where a nationalist movement has arisen under the banner of Islam. Secondly, capitalism has created a local intelligentsia consisting of acclimatised Europeans who demand independence for the Dutch East Indies.[4]
Selepas pandangan Lenin pada tahun 1913, hingga pasca revolusi 1917 perhatian gerakan komunis internasional mengenai negeri-negeri timur khususnya yang penduduknya beragama Islam baru dapat kita lihat pertama kali pada tahun 1918, khususnya pada Kongres Komunis Muslim di Moskow. Stalin mengatakan muslim di Rusia menjadi jembatan bagi Timur dan Barat. Timur dalam pandangan Stalin tahun-tahun itu, adalah pintu belakang imperialis. Namun sulit untuk menganggap negeri-negeri Islam sebagai bagian penting dari rencana Komintern. Bahkan Lenin pada kongres ke-2 Komintern tahun 1920 menganggap pengaruh pemuka agama (priesthood) harus dilawan. Begitu pula gerakan Pan-Islam.[5]
Berrbicara mengenai Pan-Islam, Lenin menegaskan perlunya gerakan komunis untuk menentang Pan Islam,
“…the need to combat Pan-Islamism and similar trends, which strive to combine the liberation movement against European and American imperialism with an attempt to strengthen the positions of the khans, landowners, mullahs, etc.[6]
Di Hindia Belanda, persoalan ini menjadi serius. Meski Lenin setuju pada keterlibatan komunis di Hindia Belanda dalam Sarekat Islam, namun penolakan terhadap gerakan Pan-Islam, bagi gerakan Islam di Hindia Belanda, adalah penolakan terhadap persatuan Islam itu sendiri. PKI, dalam kongres mereka di tahun yang sama, (1920) mengakui sulit untuk menjawab hal ini.[7]
Terkait siasat kaum komunis di negara-negara lain, Lenin tahun telah 1919 menyatakan, “You will have to tackle that problem and solve it through your own independent experience. … You will have to base yourselves on the bourgeois nationalism which is awakening and must awaken. … At the same time you must find your way to the working and exploited masses of every country and tell them … that their only hope of emancipation lies in the victory of the international revolution.”
Siasat gerakan kiri saat itu adalah bergabung dengan kekuatan borjuis nasional. Siasat ini menjadi kebijakan dari Komintern. Selain Lenin, Sneevliet juga orang penting dibalik munculnya kebiijakan ini khususnya dalam konteks Asia.[8] Pada Kongres Komintern ke 2 (1920), Sneevliet hadir dengan nama Maring.[9] Bagi Sneevliet, infiltrasi gerakan kiri ke dalam Sarekat Islam memberikan akses pada massa (kelompok) pekerja khsusunya buruh pekerja rel kereta. Tugas bagi kelompok komunis untuk mengubah Sarekat Islam menjadi orgasnisasi komunis,[10] dan menjadikan Moskow dan Petrograd sebagai Mekkah baru bagi Timur.[11] Senada dengan Sneevliet, aktivis ISDV,-organisasi kiri yang menjadi bagian dari Sarekat Islam- Baars, menginginkan keterlibatan kelompok kiri di SI hanyalah sebuah ‘batu loncatan.’ Menurutnya ketika perkembangan SI mencapai titik akhir, SI akan kehilangan karakter relijius dan nasionalisnya dan hanya menganggap satu karakter kelas, saat itulah orang ISDV (organisasi kiri) yang ada di dalam SI hanya kaan membiarkan perbedaan di tubuh SI (yang sudah lenyap ) menjadi persatuan aksi massa sosialis.[12]
Melihat ‘misi’ Sneevliet dan gerakan kiri dalam Sarekat Islam tadi, maka kita tak heran jika akhirnya hal ini menimbulkan pertentangan. Perbedaan kelompok kiri (SI Merah) dan kelompok Islam (SI Putih) memang krusial dalam bidang agama. Kelompok kiri di SI menginginkan SI netral agama, artinya Islam sejajar dengan agama lain. Pertikaian soal ideologi antara kelompok kiri dan ‘kanan’ di SI memang sudah tak bisa dilerai lagi. Meski kedua kelompok sama-sama dikenal membela kepentingan buruh dan rakyat kecil, Surjopranoto, aktivis SI yang dikenal sebagai ‘Si Raja Mogok’ mengeluhkan kelompok komunis yang kerap kali merintangi kegiatan mereka.[13]
Haji Agus Salim mencela pemahaman kelompok kiri yang berlandaskan pertentangan kelas. Menurutnya,“kaum yang hendak membagi bangsa kita atas kaum pekerja dan kaum modal. Kaum itu adalah kaum yang membatalkan hak milik, yang memakai nama sosialis…” Haji Agus Salim juga menyebutkan, “Kaum sosialis itu membuta tuli saja hendak memindahkan sengketa dan perselisihan rumah tangganya (Eropa) ke tanah air kita.”[14]
Pada Kongres Komintern ke-4, tahun 1922, Komintern mengubah pandangannya tentang Pan-Islam. Perubahan sikap ini mungkin salah satunya akibat dari sikap Tan Malaka, wakil PKI di kongres tersebut, yang membela perjuangan bersama gerakan komunis dan Pan-Islam di Hindia Belanda.[15] Namun di Hindia Belanda hal Ini tak dapat menghentikan perpecahan antara kelompok kiri (yang juga tergabung dalam PKI) dan SI. Bagaimanapun Sarekat Islam tak bisa menerima sikap PKI yang netral agama (sekuler).
PKI meski mengaku netral agama, namun tetap membawa-bawa agama dalam propaganda mereka. Kehadiran tokoh haji komunis seperti Haji Misbach tak dapat dipungkiri dapat menggalang dukungan massa.[16] Tampaknya PKI dalam posisi yang kontradiktif, di satu sisi mereka mengaku netral agama (sekuler), namun mereka tetap melakukan propaganda agama dalam meraup massa, karena agama (Islam) tak dapat dilepaskan dari masyarakat pada masa itu.
Sikap PKI tersebut dapat kita telusuri dengan melihat arahan Lenin tentang agama dan gerakan komunis. Pertama, dalam soal agama. Amat penting untuk melihat pandangan Lenin tentang agama. Lenin pada tahun 1905 memberikan pandangannya tentang agama. Menurutnya,
“Religion is one of the forms of spiritual oppression which everywhere weighs down heavily upon the masses of the people, overburdened by their perpetual work for others, by want and isolation. Impotence of the exploited classes in their struggle against the exploiters just as inevitably gives rise to the belief in a better life after death as impotence of the savage in his battle with nature gives rise to belief in gods, devils, miracles, and the like. Those who toil and live in want all their lives are taught by religion to be submissive and patient while here on earth, and to take comfort in the hope of a heavenly reward. But those who live by the labour of others are taught by religion to practise charity while on earth, thus offering them a very cheap way of justifying their entire existence as exploiters and selling them at a moderate price tickets to well-being in heaven. Religion is opium for the people. Religion is a sort of spiritual booze, in which the slaves of capital drown their human image, their demand for a life more or less worthy of man.”[17]
Marxisme menurut Lenin sudah pasti bertentangan dengan agama. Dalam tulisan lainnya mengenai agama, Lenin menyebutkan,
“Marxism is materialism. As such, it is as relentlessly hostile to religion as was the materialism of the eighteenthcentury Encyclopaedists or the materialism of Feuerbach. This is beyond doubt. But the dialectical materialism of Marx and Engels goes further than the Encyclopaedists and Feuerbach, for it applies the materialist philosophy to the domain of history, to the domain of the social sciences. We must combat religion—that is the ABC of all materialism, and consequently of Marxism. But Marxism is not a materialism which has stopped at the ABC. Marxism goes further. It says: We must know how to combat religion, and in order to do so we must explain the source of faith and religion among the masses in a materialist way.”[18]
Terkait dengan hubungannya dengan negara, agama, menurut Lenin adalah urusan privat. Dalam pandangannya ia menegaskan,
“We demand that religion be held a private affair so far as the state is concerned. But by no means can we consider religion a private affair so far as our Party is concerned. Religion must be of no concern to the state, and religious societies must have no connection with governmental authority. Everyone must be absolutely free to profess any religion he pleases, or no religion whatever, i.e., to be an atheist, which every socialist is, as a rule.”[19]
Menurut Lenin partai memiliki sikap yang tegas terhadap agama, yaitu,
So far as the party of the socialist proletariat is concerned, religion is not a private affair. Our Party is an association of class-conscious, advanced fighters for the emancipation of the working class. Such an association cannot and must not be indifferent to lack of class-consciousness, ignorance or obscurantism in the shape of religious beliefs. We demand complete disestablishment of the Church so as to be able to combat the religious fog with purely ideological and solely ideological weapons, by means of our press and by word of mouth. But we founded our association, the Russian Social-Democratic Labour Party, precisely for such a struggle against every religious bamboozling of the workers. And to us the ideological struggle is not a private affair, but the affair of the whole Party, of the whole proletariat.”[20]
Meski demikian, Lenin menolak perlunya partai menyatakan identitas sebagai partai ateis. Karena menurutnya perjuangan kelas lebih utama,
” Unity in this really revolutionary struggle of the oppressed class for the creation of a paradise on earth is more important to us than unity of proletarian opinion on paradise in heaven.[21]
Meski pernyataan diri partai tentang ateis bukan yang utama, namun bukan berarti menyadarkan massa akan kekeliruan agama sama sekali tak dilakukan. Hal itu harus dilakukan, selain dengan kesabaran dan dengan cara ilmiah, juga dengan kembali kepada dasarnya, yaitu,
“It means that Social-Democracy’s atheist propaganda must be subordinated to its basic task—the development of the class struggle of the exploited masses against the exploiters.”[22]
Begitu pentingnya perjuangan kelas kaum proletar, Lenin bahkan membukakan pintu jika ada seorang pendeta ingin bergabung bersama partai(nya), selama orang tersebut mau menjalankan fungsi-fungsi partai.
“If a priest comes to us to take part in our common political work and conscientiously performs Party duties, without opposing the programme of the Party, he may be allowed to join the ranks of the Social-Democrats; for the contradiction between the spirit and principles of our programme and the religious convictions of the priest would in such circumstances be something that concerned him alone, his own private contradiction; and a political organisation cannot put its members through an examination to see if there is no contradiction between their views and the Party programme.”[23]
Dari pernyataan Lenin tentang agama dan sikap mereka terhadapnya, kita dapat memahami hal yang sama di PKI. Bergabungnya pemuka agama seperti Haji Misbach, tak ada masalah untuk PKI, selama mendukung program mereka.
Hal ini terus diintensifkan oleh PKI. Mereka terus meningkatkan basis massa mereka. Agitasi dan propaganda baik soal kesengsaraan, pembebasan dari penjajah, ‘Negara Soviet’ hingga jihad fi sabilillah menolak kepemimpinan penjajah kafir terus mereka galakkan. Arahan Komintern yang mencakup delapan poin pada tahun 1925 pun tak dihiraukan. PKI malah mengajukan protes atas strategi front persatuan dari atas ala Stalin dan tanpa sadar memihak Trotsky, lawan politik Stalin.[24]
Lambat laun PKI terjebak dalam propagandanya sendiri. Mereka tak mampu memberikan prospek revolusi membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda, seperti yang mereka janjikan pada rakyat awam yang bergabung dengan mereka. Dihimpit oleh tekanan dari bawah (massa), dan dari atas (pemerintah kolonial), akhirnya pemberontakan tanpa persiapan, koordinasi dan dukungan memadai itu pun meletus. Di Banten, PKI menjanjikan perang suci (jihad) terhadap penguasa kafir.[25] Di Sumatera barat, selain mengumandangkanjihad fi sabilillah,[26] Lenin digambarkan sebagai sosok ratu Adil.[27] Tak ada yang tercapai. Pemberontakan itu dengan mudah ditumpas. Rakyat menjadi kurbannya. Orang-orang yang terlibat, baik rakyat awam dan anggota PKI ditangkap, diasingkan atau dihukum mati. Lebih mengenaskan, Stalin sendiri sejak awal tak menyetujui aksi tersebut.[28] Kelak, kita mengetahui, banyak orang yang terlibat pemberontakan, tak paham mengenai marxisme. Yang mereka pahami ini adalah perjuangan melawan penjajahan dengan titik tolak jihad fi sabilillah, bukan perkara perjuangan kelas.[29]
Pemberontakan 1926-27 menyisakan sempitnya ruang bagi pergerakan nasional di Hindia Belanda. Tak banyak perhatian komintern terhadap gerakan kiri di Hindia Belanda, karena memang gerakan kiri praktis tak tersisa sejak aksi itu, hingga kemudian kembali menonjol pasca kemerdekaan Indonesia, khususnya setelah Amir Sjarifuddin menjadi perdana menteri di tahun 1947 menggantikan Sutan Sjahrir.[30]
Pada masa itu, Stalin telah mengubah Komintern menjadi bagian dari politk luar negeri Soviet. Pandangan Komintern terhadap Indonesia tidak semata-mata penolakan terhadap penjajahan, namun banyak ditentukan faktor-faktor lain termasuk posisi Soviet dalam politik internasional. Dukungan Soviet terhadap Indonesia lebih sebagai penyeimbang terhadap dominasi Amerika Serikat yang mendukung Belanda. Dukungan terhadap Komunis di Eropa (Perancis, jerman atau Italia lebih berharga ketimbang negara Asia Tenggara).[31]Dukungan ini juga tak melulu terkait semangat anti imperialisme. Soviet misalnya mendukung Sutan Sjahrir dalam perjanjian Linggarjati, meski perjanjian tersebut disebut banyak pihak merugikan Indonesia. Pun, dalam pemerintahan Amir Sjarifuddin mereka mendukung kabinetnya.[32]
Kebijakan Soviet yang signifikan datang ditahun 1947 setelah Soviet mengarahkan kebijakannya mengikuti garis Zhdanov. Zhdanov membagi menjadi dua kubu, ‘Imperialis dan anti demokrasi’, dipimpin oleh AS dan dunia kapitalis, sementara di kubu lain, ‘Demokratis dan anti-imperialis’ dipimpin oleh Soviet. Dalam Garis Zhdanov ini, kerjasama dengan kelompok borjuis nasional disingkirkan, karena mereka tak bisa diandalkan dan memihak kaum imperialis.[33] Kebijakan Zhdanov yang lebih agresif ini bermula dari upaya Soviet untuk menyaingi pengaruh Amerika Serikat lewat Marshall Plan-nya di Eropa. [34] Garis Zhdanov ini segera memiliki dampaknya di Indonesia, setelah kedatangan Musso.
FDR/PKI yang merupakan gabungan kekuatan berbagai kelompok kiri, di bawah Musso merencanakan penggulingan kabinet Hatta, baik dengan cara legal maupun illegal.[35] Pemberontakan (yang disertai pembantaian khususnya kiyai dan santri) menandai aksi PKI. Sulit dipastikan bahwa Soviet memberikan arahan langsung untuk pemberontakan Madiun. Tetapi Politik Soviet yang membagi dunia menjadi dua kubu secara ekstrim dan agresif lewat garis Zdhanov tentu mempengaruhi politik PKI di Indonesia.[36]
Kita telah melihat bagaimana Komunis Internasional (Komintern), termasuk Soviet memberikan pengaruh kepada gerakan komunis di Indonesia. Pandangan Lenin tentang agama, membentuk landasan PKI dalam menyikapi agama. Lenin yang mengaku mendukung kebebasan beragama termasuk kebebasan tidak beragama, nyatanya berbeda dengan praktek di lapangan. Penindasan , penyerangan dan persekusi terhadap gereja dan pemukanya di Soviet sangat mencengangkan.[37] Misalnya, dari sekitar 39 ribu gereja di Soviet pada tahun 1917, pada tahun 1940 angka itu turun menjadi 900-an gereja saja.[38]
Tak berbeda dengan sikap pribadi Lenin terhadap agama, pandangan Komintern terhadap Pan-Islam yang berubah-ubah menandakan sikap mereka terhadap agama tak lebih dari siasat politik untuk mencapai kekuasaan. Di Hindia Belanda, meski PKI tak selalu mengikuti arahan Komintern, namun PKI sejalan Lenin dalam memandang agama. Agama menjadi sekedar siasat politik PKI. PKI memainkan politik yang kontradiktif dalam hal agama. Di satu sisi mereka mengaku netral agama, tetapi di sisi lain mereka terus memakai propaganda agama, untuk menggalang massa, bahkan sebagai ‘alat’ untuk menggelorakan pemberontakan, seperti yang terjadi di Banten dan Sumatera Barat, dua wilayah pemberontakan yang didominasi massa berbasis Islam. Di tahun 1948, propaganda PKI yang dipakai PKI berkaitan dengan agama, bukan lagi hal yang menonjol. PKI di bawah Musso kali ini lebih mengikuti arahan Soviet dalam berpolitik di Indonesia. Semua taktik tersebut tak lain hanyalah anak tangga untuk mencapai kekuasaan.
[1] Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta; Pustaka Utama Grafiti.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Lenin, V. I. 1978. The Awakening of Asia dalam Collected Works, Vol. 19. Moskow: Progress Publisher Moskow.
[5] McLane , Charles B. 1966. Soviet Strategies in Southeast Asia. New Jersey: Princeton University Press.
[6] Lenin, V.I. 1974. Preliminary Draft Theses On The National and Colonial Questions; For The Second Congress of The Communist International dalam Collected Works Vol. 31. Moskow: Progress Publisher Moskow.
[7] McVey, Ruth. 2010. Kemunculan Komunisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
[8] Bing, Dov. 2009. Lenin and Sneevliet: The Origins of The Theory of The Colonial Revolutions in The Dutch East Indies. New Zealand Jornal of Asian Studies 11, 1 (June 2009)
[9] McLane , Charles B. 1966.
[10] Bing, Dov. 2009.
[11] McLane , Charles B. 1966.
[12] Bing, Dov. 2009.
[13] Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan. Yogyakarta: LKiS.
[14] Rambe, Safrizal.2008. Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia.
[15] McVey, Ruth. 2010.
[16] Shiraishi, Takashi. 2005.
[17] Lenin, V.I. 1978. Socialism and Religion dalam Collected Works Vol. 10. Moskow: Progress Publisher Moskow.
[18] Lenin, V.I. 1977. The Attitude of The Workers Party To Religion dalam Collected Works Vol 15. Moskow: Progress Publishers Moskow.
[19] Lenin, V.I. 1978.
[20] Ibid
[21] Lenin, V.I. 1977.
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] McVey, Ruth. 2010.
[25] Williams, Michael C. 1982. Sickle and Cresent: The Communist Revolt of 1926 in Banten. Seri Monograf No. 61, Cornell Modern Indonesia Project. New York: Cornell University
[26] Nasution, Abdul Muluk. 1981. Pemberontakan Sarekat Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926-1927. Jakarta: Penerbit Mutiara
[27] McVey, Ruth. 2010
[28] Ibid
[29] Nasution, Abdul Muluk. 1981.
[30] McVey, Ruth. 1969. Soviet View of The Indonesian Revolution. Interim Report Series, Modern Indonesia Project. New York: Cornell University
[31] McLane , Charles B. 1966.
[32] McVey, Ruth. 1969.
[33] McLane , Charles B. 1966 dan McVey, Ruth. 1969.
[34] McLane , Charles B. 1966
[35] Swift, Ann. The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948. Seri Monograf No. 69, Modern Indonesia Project. New York: Cornell University.
[36] Ibid
[37] Shepler, Ryan. 2008. The Bolshevik Campaign against Religion in Soviet Russia: 1917-1932. Tesis tidak diterbitkan. Ohio State University
[38] Dickinson, Anna. 2000. Quantifying Religious Oppression: Russian Orthodox
Church Closures and Repression of Priests 1917-41. Religion, State and Society Vol. 28 No. 4