Apakah Kredit Saya Sesuai dengan Syariah?
Tanya:
Assalamualaikum warahmatullahhi wabarokatuh
Pak Ustadz yang dimuliakan Allah SWT.
Saya mempunyai pertanyaan mengenai kredit. Saya membeli handphone seharga 1 juta, kemudian saya jual kepada orang lain dengan saya mengambil keuntungan 20% dengan cara dicicil 3 kali, jadi tiap bulan customer bayar Rp 400.000. Kedua pihak sudah saling sepakat diawal.
Apakah kredit tersebut sesuai syariah dan mendapatkan ridho Allah SWT?
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamualaikum warahmatullahhi wabarokatuh.
Jawab:
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang Anda jelaskan tentang skema bisnis kredit handphone di atas hukumnya halal dan dibenarkan dalam syariat Islam. Dan memang pada dasarnya jual-beli kredit harus seperti itu.
Keuntungan yang didapat dari selisih harga beli dengan harga jual itu 100% halal. Itulah yang disebut dengan jual-beli yang Allah telah halalkan di dalam Al-Quran.
Seorang pedagang memang dibenarkan mengambil keuntungan dari barang yang dijualnya. Kalau tidak boleh mengambil keuntungan, buat apa dia berjualan?
Namun akad kredit yang sudah halal di atas jangan kemudian dirusak dengan ketentuan yang justru haram. Misalnya, ketentuan bahwa manakala pembeli terlambat bayar cicilan, dikenakan ‘denda’ sehingga harga handphone itu menjadi naik dengan tidak jelas nilainya.
Pada titik inilah seringkali jual-beli kredit yang awalnya halal berubah jadi haram. Maka berhati-hatilah agar jangan sampai akad halal jadi jadi haram.
Denda ini memang semacam ancaman agar pembeli tidak mengulur-ulur hutangnya. Namun disisi lain, denda inilah yang disebut dengan bunga atas hutang. Dan memungut bunga hukumnya jelas-jelas diharamkan.
Jadi penting untuk dicatat, bahwa yang haram itu bukan mengambil keuntungan dari akad kreditnya. Yang haram adalah menaikkan harga dari yang disepakati semula, karena keterlambatan pembayaran alias terkena penalti.
Buat sebagian orang, perbedaan antara kredit dan riba ini sangat tipis, sehingga nyaris sulit dibedakan. Oleh karena itulah di masa lalu, orang-orang kafir jahiliyah bilang bahwa riba itu tidak haram, sebab pada hakikatnya jual-beli itu pun riba juga. Sebab sama-sama mengambil keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual.
Namun Allah SWT menolak argumentasi mereka yang menghalalkan riba dengan alasan riba itu pada prinsipnya sama dengan jual-beli.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275)
Perbedaan Jual-beli Kredit Dengan Riba
Kalau mau lebih detail, sebenarnya kita bisa lebih merinci perbedaan mendasar di antara keduanya.
1. Harga Fix Vs Harga Fluktuatif
Dalam jual-beli kredit yang halal, sejak awal sudah disepakati harga yang pasti alias fix. Misalnya handphone itu dijual dengan harga 1,2 juta, maka tidak boleh diubah baik dengan cara dinaikkan atau pun diturunkan, apapun yang terjadi.
Sedangkan dalam jual-beli kredit yang haram, bila pembeli terlambat membayar cicilan, maka dia terkena penalti, sehingga dia harus ‘membayar’ lebih dari harga 1,2 juta itu.
Semakin lama terlambat membayar cicilan, maka semakin besar nilai dendanya. Sehingga harga handphone itu menjadi semakin mahal harganya.
2. Denda Bukan Untuk Penjual
Pembeli yang terlambat membayar cicilannya boleh saja didenda. Sebab kalau tidak ada ancaman, bisa saja dia seenaknya tidak melunasi kewajibannya sampai waktu yang tidak ditentukan. Namun yang membedakan kredit halal dengan kredit haram adalah dari sisi siapa yang berhak menerima uang denda.
Dalam akad kredit yang halal, denda itu dikenakan bila pembeli terlambat membayar. Tetapi yang berhak menerimanya adalah pihak ketiga. Dalam hal ini bisa saja negara, baitul mal atau pihak-pihak lain yang telah ditetapkan di awal.
Sedangkan dalam kredit yang haram, pembeli yang terlambat membayar cicilan dikenakan denda, dimana denda itu menjadi hak milik penjual. Disitulah letak titik kenapa akadnya menjadi haram, yaitu karena harganya tidak pasti.
Sebenarnya masih ada banyak lagi perbedaan yang masih bisa dikupas, namun kami cukupkan saja dulu disini. Yang penting pesan intinya sudah bisa tersampaikan.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA