Belajar Fiqh Itu Santai

belajar-islam-damai

Belajar Fiqh Itu Santai

Oleh: Ahmad Zarkasih, Lc

Dalam banyak literasi fiqih, fuqaha sering sekali menyebutkan kaidah yang memang sudah disepakati dalam hal perbedaan pendapat di kalangan madzhab, yakni kaidah:

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

“Tidak boleh menginkari perkara yang (keharamannya) masih diperdebatkan, tapi (harus) menginkari perkara yang (keharamannya) sudah disepakati”[1]

Ini dijelaskan oleh banyak fuqaha, di antaranya ada Ibnu Nujaim al-hanafi dan juga Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya yang memang ditulis untuk membahas kaidah-kaidah fiqih, Al-Asybah wa Al-Nazhoir, maksudnya bahwa kita tidak bisa seenaknya menyalahkan orang lain yang melakukan sebuah perkara yang haramnya masih diperdebatkan. Mungkin saja, ia berpegang dengan pendapat yang tidak mengharamkan itu, berbeda dengan apa yang kita pegang.

Akan tetapi jika keharaman sesuatu itu sudah disepakati, seperti haramnya zina, mencuri, korupsi, riba, meninggalkan sholat, dan sejenisnya, maka tidak ada kata kompromi lagi. Kalau dia sudah disepakati haram, sudah tidak ada lagi toleransi untuk mereka yang mau melakukannya.

Dengan bahasa yang lebih dekat seperti ini: “kalo masalahnya masih diperselisihkan, masih mukhtalaf fiih, kaga usah kenceng kenceng diskusinya, kaga usah keras keras debatnya, percuma, buang energi aja akhirnya. Kalem aja, nyantai aja, woles aja brai. Karena masalah yang masuk dalam kategori mukhtalaf fiih, mao ditarik kemana juga ngga bakal kemana-mana. Ngga bakal ada yang menang. Yang mao ngambil pendapat A yaa monggo, yang mao ngambil pendapat B juga monggo. Asal jangan pada ribut. Ulama dulu juga berbeda, tapi pada kalem aja tuh.”

Di sini ulama fiqih sangat memperhatikan keberlangsungan hidup harmonis antar sesama, dengan tidak menyalahkan siapa yang berbeda dengan apa yang kita yakini, selama memang apa yang diyakininya itu bersandar kepada pendapat ulama lain yang juga muktamad.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud

Sahabat Abdullah bin Mas’ud dengan tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tidak tamm (sempurna), jika ada musafir yang sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adalah mukholafatul-aula [مخالفة الأولى](menyelisih pendapat yang utama).

Akan tetapi dengan rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yang memandang berbeda dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas’ud ditanya: “kau mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat?”. Ibn Mas’ud menjawab: [الخلاف شر] “berbeda itu buruk!”.[2]

Karena tahu, bahwa jika ia menonjolkan perbedaan itu depan umum yang tidak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas’ud memilih untuk tetap mengikuti Utsman walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri.

Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i

Kita juga tahu secara detail bagaimana Imam Syafi’i meninggalkan qunut subuh ketika menjadi Imam untuk para pengikut Imam Abu Hanifah yang tidak melihat adanya kesunahan qunut dalam sholat subuh, di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah.

Padahal Imam Syafi’i-lah pelopor qunut subuh dan menjadikannya sunnah muakkad dalam sholat subuh yang jika meninggalkannya, maka sunnah diganti dengan sujud sahwi. Tapi beliau rela meninggalkan itu, karena tahu dimana ia saat itu.

Imam Ahmad bin Hanbal

Kita juga tahu betul bahwa Imam Ahmad bin Hanbal punya pendapat yang mengatakan bahwa orang mimisan, yang keluar darah dari hidungnya itu batal wudhunya, sama seperti orang yang berbekam.

Akan tetapi ketika ia ditanya: “bagaimana jika imam yang sedang mengimami dan anda dalam barisan makmum, lalu ia keluar darah (luka) dan tidak berwudhu lagi, apakah anda tetap sholat di belakangnya?”, Imam Ahmad menjawab:

كَيْفَ لَا أُصَلِّي خَلْفَ الإِمَامِ مَالِك وَسَعِيْدِ بْنِ اْلمُسَيِّبِ

“bagaimana mungkin aku tidak mau sholat di belakang Imam Malik dan Sa’id bin Al-musayyib?”[3]

Indikasinya bahwa Imam Malik dan Imam Sa’id bin Al-Musayyib berbeda pandangan dengan Imam Ahmad dalam Masalah orang yang keluar darah dari tubuh, apakah batal wudhu atau tidak? tapi Imam Ahmad tidak menyalahkan mereka dan justru tetap mengikuti sholat di belakangnya. Hebat bukan?

Imam al-Sudais di Indonesia

Akhir Novermber 2014 kemarin, Imam Abdurrahman al-Sudais diberi kehormatan oleh imam besar masjid Istiqlal untuk menjadi Imam shalat jumat bagi warga Indonesia di masjid tersebut. Karena tahu bahwa orang Indonesia itu kebanyakan al-Syafi’iyyah, beliau rela melepas baju Hanbaliy-nya dengan mengeraskan bacaan “bismillah” ketika memulai al-fatihah.

Padahal itu tidak pernah beliau lakukan selama menjadi Imam masjidil-Haram, karena memang dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan “bismillah” itu dibaca sir (lirih) atau tidak dikeraskan, itulah pendapat madzhab. Akan tetapi beliau rela mengeraskan bacaan bismillah-nya, karena beliau mengerti dan faham bagaimana bersikap dalam perbedaan yang non-prinsipil ini.

Nasehat Imam Ibnu Taimiyyah

Imam ibnu Taimiyah rahimahullah terekam dalam majmu’ al-Fatawa (20/293):

تَنَازَعَ الْمُسْلِمُونَ : أَيُّهُمَا أَفْضَلُ التَّرْجِيعُ فِي الْأَذَانِ أَوْ تَرْكُهُ ؟ أَوْ إفْرَادُ الْإِقَامَةِ أَوْ تَثْنِيَتُهَا ؟ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ بِغَلَسِ أَوْ الْإِسْفَارُ بِهَا ؟ وَالْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ أَوْ تَرْكُهُ ؟ وَالْجَهْرُ بِالتَّسْمِيَةِ ؛ أَوْ الْمُخَافَتَةُ بِهَا ؛ أَوْ تَرْكُ قِرَاءَتِهَا ؟ وَنَحْوُ ذَلِكَ

Orang-orang Islam berselisih: mana yang afdhal tarji’ (melirihkan syahadat) dalam adzan atau tidak perlu tarji’? iqamah disebut satu kali atau diulang 2 kali (seperti adzan)?, shalat subuh di awal waktu (masih gelap) atau menunggu hingga mulai terang (isfar)? Qunut di shalat subuh atau tidak qunut? Menjaherkan bismillah atau melirihkan saja, atau memang tidak perlu dibaca saja? Dan perbedaan sejenisnya …

فَهَذِهِ مَسَائِلُ الِاجْتِهَادِ الَّتِي تَنَازَعَ فِيهَا السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ فَكُلٌّ مِنْهُمْ أَقَرَّ الْآخَرَ عَلَى اجْتِهَادِهِ مَنْ كَانَ فِيهَا أَصَابَ الْحَقَّ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ كَانَ قَدْ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَخَطَؤُهُ مَغْفُورٌ لَهُ

Masalah-masalah tersebut adalah masalah yang sifatnya ijtihadiy yang ulama salaf dan para imam sejak dulu memang sudah berselisih. Akan tetapi mereka dengan perselisihan tetap saling mengakui ijtihad yang lain (tidak menyalahkan), siapa yang ijtihadnya benar, ia mendapat 2 pahala, dan yang ijtihadnya salah dia mendapat satu pahala dan kesalahannya diampuni …

 فَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ مَالِكٍ وَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ أَحْمَدلَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ وَنَحْوُ ذَلِكَ

Siapa yang merasa bahwa mengikuti syafi’i itu lebih baik, maka ia tidak boleh menginkari orang yang mengikuti Malik. Yang lebih memilih mengikuti Ahmad tidak boleh menginkari orang yang mengikuti syafi’i dan begitu juga seterusnya.

Belajar Fiqih, Harus Tahu Konsekuensinya; Perbedaan

Dalam litelatur fiqih, kita pasti akan mendapatkan  perbedaan-perbedaan (Ikhtilaf) pendapat di kalangan ulama, baik itu lintas madzhab atau juga dalam madzhab itu sendiri. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam masalah fiqih yang memang tempatnya ulama berijtihad.

Konsekuensi yang harus muncul ketika adanya ijtihad ialah adanya perbedaan itu sendiri. Jadi memang perbedaan dalam masalah fiqih ialah sesuatu yang ada dan bukan diada-adakan. Jadi sebelum lebih jauh mendalami fiqih, seorang harus siap menghadapi perbedaan itu dan bersikap bijak dalam perbedaan itu.

Imam Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat, meriwayatkan qoul Imam Qatadah yang mana qoul ini sangat masyhur sekali di kalangan para fuqaha dan pembelajar fiqih:

مَنْ لَمْ يَعْرِفْ الِاخْتِلَافَ لَمْ يشمَّ أنفُه الْفِقْهَ

“Siapa yang tidak tahu (Tidak mengakui) Ikhtilaf, ia sama sekali tidak bisa mencium Fiqih”[4]

Imam al-Syathibiy, ulama pakar bid’ah, yang definisinya dipakai oleh seluruh ulama –yang berintisab- ke salaf. Beliau mengatakan dalam al-I’tisham (1/266):

 وَلَيْسَ مِنْ شَأْنِ الْعُلَمَاءِ إِطْلَاقُ لَفْظِ الْبِدْعَةِ عَلَى الْفُرُوعِ الْمُسْتَنْبَطَةِ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِيمَا سَلَفَ

“bukan pekerjaan ulama kalau memutlakkan lafadz bid’ah pada masalah-masalah furu’ (cabang) yang diinstinbathkan (dari dalil-dalil) walaupun salaf tidak mefatwakan itu.”

Keras Dalam Masalah Yang Disepakati

Akan tetapi, kalau masalahnya sudah disepakati oleh ulama sejagad dan tidak ada lagi yang menginkari, maka di situ layak keraskan otot, tegangkan otak untuk merealisasikan itu. Islam menuntut pemeluknya untuk hidup sehat, Islam menntut umatnya untuk hidup bersih, Islam menuntut umatnya untuk bias mandiri; mandiri ekonomi, mandiri mental dst. Islam menuntut umatnya untuk berbuat baik kepada siapapun yang masih berstatus manusia, selama Ia tidak memerangi. Ini yang disepakati oleh ulama sejagad, maka dalam hal-hal ini, layak dan legal kita keraskan otot dan otak untuk mengajak keluarga, sertaorang sekitar untuk hidup sehat, hidup bersih, hidup mandiri, dan hidup damai, dengan siapapun itu.

Wallahu a’lam

[1] Al-Asybah wa Al-Nazhoir li Al-Suyuthi 158

[2] Fathul-Baari 2/564

[3] Abad Al-Ikhtilaf fi Al-Islam 117

[4] Al-Muwafaqat 5/122

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories