Menaklukkan Benak Muslim
MUSTANIR.net – Islam dan Kristen di Indonesia bukan bertemu dalam wujud agama dalam pengertian generiknya, tetapi lebih merupakan pertemuan dua peradaban, yakni peradaban Islam dan peradaban Kristen Barat.
Sebelum datang ke nusantara, dua peradaban besar tersebut telah terlibat dalam pertarungan militer, kurang lebih enam episode Perang Salib. Kekalahan dalam beberapa episode perang fisik tersebut membuat Peter the Venerable mencetuskan babak perang baru, yakni perang intelektual.
Peter the Venerable (1095-1156) adalah veteran perang salib yang merupakan pemimpin Biara Clunny di Prancis. Pengalaman di Perang Salib, dan ketakjubannya pada kemajuan sains dan teknologi di Toledo, telah mengantarkannya pada cita-cita penaklukan intelektual dan keagamaan terhadap kaum Muslimin.
“I come to meet the Moslems, not with arms but with words, not by force but by reason, not in hatred but in love.”
Spirit dari Peter the Venerable ini ditangkap dengan baik oleh Pater Franciscus Georgius van Lith atau yang lebih akrab dipanggil Romo van Lith oleh para pengikutnya, karena kemampuannya berbahasa Jawa krama inggil.
Van Lith, Lelaki kelahiran Oirschot, sebuah kota kecil di Belanda Selatan tersebut, menilai bahwa selama ini, program penginjilan kaum Katolik di tanah Jawa dengan metode konvensional yakni penginjilan individu yang disertai berbagai bantuan sosial ekonomi adalah kesalahan besar.
Berbagai bantuan ekonomi hanya akan menghasilkan umat Katolik yang hipokrit, yang hanya mau berkatolik ketika ada bantuan saja. Untuk itulah, kata Van Lith, ujung tombak penginjilan yang benar adalah para guru.
“Usaha misi di antara bangsa Jawa mulai dengan metode yang salah: mewartakan Injil kepada individu. Kita harus insaf bahwa karya kita bergantung pada pendidikan pemimpin dan guru.”
Menjadi guru adalah sebuah kehormatan tersendiri bagi kaum pribumi di era politik etis pada masa itu. Tidak mengherankan bila akhirnya semua murid Van Lith dengan sukarela menukar keislaman mereka dengan Katolik.
Sekolah guru, Kolese Xaverius, yang didirikan Van Lith adalah ‘dewa penolong’ bagi suatu mobilitas sosial yang dicita-citakan. Dalam pemahaman demikian, mereka akan dengan mudah menyinergikan diri pada kegiatan para misionaris untuk tujuan-tujuan yang lebih mulia: ‘harta’ didapat, ‘surga’ diperoleh.
Dalam perjalanannya sekolah guru yang didirikan Van Lith terbukti menghasilkan intelegensia Katolik yang diakui reputasinya di dunia kalangan akademisi Indonesia dan mempunyai pengaruh yang sangat luas.
“Pada tiga dasawarsa pertama Kolese Xaverius tahun 1898-1922, sekolah Kolese Xaverius yang didirikan Van Lith telah menumbuhkan banyak tokoh gereja, seperti Mgr. A Soegijapranata (uskup pribumi pertama) SJ, IJ Kasimo (Ketua Partai Katolik Republik Indonesia), dan Mgr. A Djajaseputro SJ. Sekolah ini juga memunculkan tokoh-tokoh nasional seperti WJ S Purwodarminto (penyusun Kamus Bahasa Indonesia), B Margono (perintis gambar punakawan), C Simanjuntak (pencipta lagu), L Manik (pencipta lagu), hingga Frans Seda (ekonom).”
Selain itu ada juga nama Driyarkara, yang namanya diabadikan menjadi nama Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara. Pakar filsafat, kelahiran Kaligesing Purworejo dan bernama kecil si Jenthu inilah inilah yang merumuskan status negara Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler.
Sartono Kartodirjo juga menunjukkan peran intelegensia Katolik dalam bidang sejarah. Di bidang kebudayaan Jawa ada nama Romo Magnis Suseno, Jesuit asal Jerman yang buku Etika Jawa-nya menjadi rujukan di lingkungan akademis.
Tidak ketinggalan Pater Petrus Josephus Zoetmoelder, dengan disertasi berjudul Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Literatuur, sampai saat menjadi rujukan utama kalau membahas agama Jawa yang teologinya berpusat pada konsep Manunggaling Kawula Gusti. Zoetmoelder juga merupakan pakar sastra Jawa kenamaan dengan salah satu masterpiecenya Kalangwan, buku yang membahas secara lengkap sastra Jawa pra Islam dan juga penyusun Kamus Basa Jawa Kawi.
Kepemimpinan intelegensia Katolik di bidang-bidang ini telah menghasilkan apa yang disebut oleh Syed Farid al Attas sebagai captive mind atau benak yang terbelenggu, di mana umat Islam untuk dapat mengenali bahasa, kebudayaan dan etnisitasnya, falsafah kenegaraannya harus melalui pengetahuan yang sudah dihasilkan oleh para intelegensia Katolik tersebut.
Akibatnya umat Islam mengalami semacam split personality, di mana ia terasing dari cara berpikir dan tradisi keislamannya dalam diskursus bahasa, budaya, etnisitas bahkan wacana keagamaan sekalipun. Peranan Van Lith yang begitu besar, menjadikan Van Lith diangkat sebagai Bapak Penginjilan di Indonesia, bukan hanya oleh umat Katolik tetapi juga oleh umat Kristen Protestan.
Kalau boleh saya meminjam istilah Joachim Mattes, fenomena dominasi intelegensia Kristen/Katolik di bidang-bidang ilmu sosial, seperti sejarah dan kebudayaan telah mengakibatkan ‘Kristenisasi kultural secara tersembunyi’. Senada dengan Joachim Mattes, apa yang dilakukan para intelegensia Kristen/Katolik itu, menurut Azyumardi Azra adalah Kristenisasi dalam pengertian yang luas.
“Apa yang dilakukan Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith dan Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, JB Banawiratmaja SJ, dan Harun Hadiwiyono, merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia, jadi sama sekali bukan agenda multikulturalisme.”
Menurut Azyumardi Azra, dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan lokal, untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa, mengikuti argumen William Roff, guru besar Emiritus Columbia University, bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure) tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris.
Lalu, bagaimana perkembangan literasi dakwah di bidang-bidang yang serius digarap oleh para intelegensia Katolik ini? Apakah kita akan mencukupkan diri, bahwa perlawanan terhadap penginjilan itu hanya dengan debat-debat rebutan kebenaran tafsir atas ayat Alkitab? []
Sumber: Arif Wibowo, SP, MPI – Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo