(thingiverse.com)

Benarkah Akhlak di Atas Syariat?

MUSTANIR.net“Akhlak itu di atas hukum syara’!”

“Akhlak itu adalah post-syariah!”

Ungkapan seperti itu belakangan santer terdengar.

Ungkapan akhlak di atas syariat atau akhlak itu melampaui (post) syariat menjadi semacam spirit untuk mereduksi syariat Islam. Dengan kata lain para sohibul kalam itu ingin mengatakan, “Tidak perlu legalisasi dan formalisasi syariat Islam karena akhlak itu statusnya berada di atas hukum syara’.”

Artinya, buat apa ngotot-ngototan memperjuangkan sesuatu yang kadarnya lebih rendah dan menyusahkan, sedangkan ada hal lain yang lebih tinggi nilainya dan mudah dikerjakan.

Akhlak Itu Bukan Perasaan An Sich

Biasanya para sohibul kalam itu mencantumkan nas-nas syara’ baik al-Qur’an maupun hadis yang mengungkapkan keluhuran budi pekerti semisal kasih sayang. Sebutlah kisah seorang pelacur yang mendapatkan maghfirah dari Allah setelah memberikan air pada seekor anjing yang hampir mati kehausan.

Kalau pelacur saja yang sebetulnya berdosa besar mendapatkan ampunan karena memberikan minum pada binatang najis, kenapa ada kaum muslimin yang ngotot dengan hukum jilid atau rajam bagi pezina?

Kekeliruan mereka bermula dari pandangan bahwa akhlak itu adalah moral dan perasaan an sich. Secara manusiawi pandangan itu benar. Umumnya manusia menyukai kasih sayang, memaafkan, kelembutan, tolong menolong, dsb.

Namun dalam kenyataannya, perbuatan baik itu ditentukan oleh peraturan. Dan itu bukan hanya berlaku dalam Islam, tapi dalam kehidupan umum juga demikian.

Ambillah contoh, menolong orang yang tertimpa kesusahan itu baik, tapi perbuatan seorang guru atau dosen yang memberi kunci jawaban pada peserta ujian yang sedang kesusahan pasti berujung hukuman karena itu terlarang.

Contoh lagi, meringankan beban orang lain itu adalah perbuatan mulia, tapi tindakan seorang hakim yang meringankan hukuman pada pelaku kejahatan berat (karena merasa kasihan) seperti pada kejahatan korupsi atau pembunuhan yang semestinya dihukum berat, pasti merusak tatanan keadilan.

Jadi, di mana-mana kebaikan dan budi pekerti itu pastinya diatur oleh hukum/aturan agar tidak merusak keserasian hidup dan rasa keadilan.

Dalam Islam akhlak juga bukanlah hanya kumpulan perasaan dan kebiasaan, ia adalah berisi perintah dan larangan yang ditentukan oleh al-Qur’an dan sunnah. Ia adalah bagian dari hukum syara’.

Berkasih sayang, berbakti pada orang tua, tolong menolong, jujur, amanah, adil, adalah perintah Allah. Dan perintah serta larangan Allah adalah syariat. Ia adalah bagian dari seruan Pembuat Syariat bagi perbuatan manusia.

Para ulama mendefinisikan hukum syara’ sebagai berikut:

خطاب الشارع المتعلقة بافعال العباد

“Seruan Pembuat Syariat yang berkaitan dengan perbuatan manusia.”

Penentuan akhlak baik (akhlak al-mahmudah) dan akhlak buruk (akhlak al-madzmumah) juga bukan otoritas manusia, melainkan wahyu, baik itu dari nash al-Qur’an maupun sunnah. Baik dan buruknya sebuah tindakan bukan karena perasaan dan kebiasaan manusia, tapi ada aturan/syariat yang menetapkannya.

Misalnya membunuh hewan tidak ditetapkan sebagai baik atau buruk karena sifat bawaannya, tapi harus ada ketentuan syariat yang menetapkannya.

Syariat Islam menetapkan bahwa membunuh hewan yang halal untuk dikonsumsi dengan cara penyembelihan yang halal adalah boleh. Meski mungkin di belahan bumi lain ada sebagian orang yang menentang pembunuhan terhadap semua binatang.

Demikian pula membunuh dalam rangka membela diri adalah perkara yang diperintahkan syariat Islam sebagaimana penjelasan Rasulullah ﷺ kepada seseorang yang bertanya jika ada orang yang akan merampas hartanya.

Nabi perintahkan agar tidak memberikannya, dan jika si perampas itu memeranginya maka Nabi memerintahkan agar ia melawannya, dan jika ia terbunuh maka mati statusnya syahid, sedangkan jika si perampas yang mati maka si perampas masuk neraka (lihat HR Muslim).

Andai akhlak baik dan buruk itu ditentukan oleh perasaan dan kebiasaan manusia, yang terjadi adalah kerusakan tatanan kemanusiaan itu sendiri. Misalnya, apakah ada lelaki Indonesia yang tidak cemburu bila istrinya menemani dansa lelaki lain, dipeluk dan dirangkul, padahal itu adalah bagian dari moral (baik) masyarakat Barat?

Atau orang sering mengatakan kearifan lokal, tanpa epistemologis yang jelas. Karena, lokal mana yang dimaksud? Sekarang di Indonesia banyak kita mendapati anak muda bergaul bebas layaknya di Barat, berangkulan, berciuman, bahkan melakukan seks bebas, namun dibiarkan begitu saja. Padahal mayoritas bangsa ini adalah orang Timur dan muslim yang mengharamkan hal itu, tapi kenyataannya tak digubris.

Syariat Itu Memberikan Ampunan

Bagaimana dengan tindak kejahatan seseorang? Bukankah ada anjuran untuk mengampuninya? Dalam hal ini ada penjelasan lanjutan. Jika kejahatan seseorang itu dimaafkan dan tidak dilaporkan ke pengadilan, maka pemaafan oleh korban dianggap telah menyelesaikan perkara kriminal tadi tanpa perlu berlanjut ke pengadilan. Namun bila perkara itu telah tiba di pengadilan atau di hadapan penguasa, maka hukum harus ditegakkan.

Suatu ketika Shafwan bin Umayyah ra. menangkap seorang pencuri kainnya yang seharga 30 dirham kemudian melaporkannya ke Rasulullah ﷺ. Ketika Beliau memerintahkan hukum potong tangan, Shafwan merasa kasihan dan hendak menghibahkan kain itu kepada si pelaku. Namun Baginda ﷺ berkata, “Jika demikian mengapa tidak engkau lakukan sebelum datang kepadaku?” Akhirnya pencuri itu pun dikenakan hukum potong tangan.

Imam Malik meriwayatkan bahwa suatu ketika Zubayr bin Awwam ra. memaafkan seorang lelaki yang kedapatan mencuri, namun ada seseorang berkata, “Tidak! sampai aku tiba di hadapan penguasa!” Zubayr berkata, “Jika engkau telah tiba di hadapan penguasa, maka Allah melaknat orang yang mengampuni dan yang diampuni.”

Pengampunan dari manusia yang haknya diambil diterima selama kasus tidak diajukan ke pengadilan. Namun ketika telah tiba di hadapan penguasa/pengadilan, hukum wajib ditegakkan, dan pada saat itu Allah akan memberikan ampunan pada pelaku kejahatan sehingga ia terbebas dari siksa di akhirat.

Mekanisme hukum seperti itu menjunjung akhlak dan melindungi hak-hak manusia, serta membebaskan manusia dari siksa Allah kelak di akhirat.

Lalu mengapa masih bisa dikatakan akhlak berada di atas syariat? Lalu mengapa ucapan seperti itu hanya ditujukan pada syariat Islam, kalau bukan ada tendensi untuk meruntuhkan bangunan syariat?

Bukankah dalam hukum buatan manusia hal itu juga lazim terjadi? Seorang pengendara yang kena tilang dari polisi meski memohon ampun tetap akan kena tilang kalau sudah kedapatan melanggar aturan lalu lintas, lalu mengapa hal itu tidak dikatakan kejam?

Dan tidak ada sebaik-baik manusia yang akhlaknya melebihi Rasulullah ﷺ. Beliau lembut, pemaaf, dan ramah, tapi juga tegas dalam menegakkan syariat Islam.

Beliau tetap menjatuhkan hukuman rajam bagi al-Ghamidiyah dan Maiz yang merupakan pezina mukhsan. Beliau juga marah kepada Usamah bin Zaid ra. yang berusaha meminta pengampunan pada seorang perempuan bangsawan yang kedapatan mencuri sampai-sampai Beliau bersumpah bila putrinya, Fatimah mencuri, maka Nabi sendiri yang akan memotong tangannya. Masya Allah! Apakah ada yang mengatakan Nabi orang yang berakhlak rendah?

Orang yang mengatakan akhlak berada di atas syariat atau melampaui syariat, bisa jadi orang yang tidak melihat Islam sebagai sebuah ajaran yang utuh, hanya parsial, sehingga salah meraba. Atau, ada kemungkinan ia punya niat buruk terhadap umat Islam dan syariat Islam. Wallahua’lam.

Sumber: Iwan Januar

About Author

Categories