Bermadzhab, Perlukah?
Bermadzhab, Perlukah?
Ketika kita membicarakan madzhab-madzhab fiqih, sejatinya kita tidak hanya membicarakan Imam Abu Hanifah sendiri, juga tidak Imam Mailk bin Anas sendirian sebagai “Founder” madzhab al-Malikiyah, tidak juga membicarakan Imam al-Syafi’i sendiri saja, dan bukan juga kita membicarakan fatwa-fatwa Imam Ahmad saja sebagai “ikon” madzhab al-Hanabilah.
Akan tetapi, bukan beliau-beliau yang kita bicarakan, melainkan kita sedang membicarakan sebuah institusi besar yang diampuh oleh orang-orang dengan keilmuan luas yang mumpuni dalam bidang syariah dan hukum, serta tentara-tentara akademisi yang militant dalam melakukan penelitian hukum serta menggali illah dan hikam dari setiap hukum dan dalil yang ada, baik itu ayat atau juga hadits.
Mereka yang bekerja untuk istitusi madzhab bukan dalam waktu harian atau bulanan, akan tetapi mereka bekerja dalam waktu tahunan bahkan jauh lebih panjang dari sekdar tahunan. Bukan hanya itu, pekerjaan mereka pun bersambung, tidak hanya berhenti pada satu masa; apa yang dikerjakan di masa sebelumnya terus dikaji dan disempurnakna oleh para punggawa-punggawa madzhab di masa selanjutnya.
Mereka inilah yang kemudian mengkaji dan mendalami kaidah-kaidah ushul (induk) yang telah dirumuskan oleh Imam madzhab mereka, serta menjelaskan apa yang rancu dari kaidah tersebut, mengoreksi, emanmbahkan serta memperbaiki apa yan sekiranya punya kemungkinan salah aplikasi. Kemudian memberikan sample-sample furu’ (cabang) dalam kktab-kitab mereka, serta juga merumuskan kaidah ushul baru yang Imam mereka belum merumuskan itu berdasarkan apa yang sudah digariskan dalam madzhab sang Imam.
Sampai kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sang Imam madzhab dan tentara ulama dalam setiap madzhab yang bekerja puluhan bahkan ratusan tahun tersebut tidak lagi meninggalkan masalah yang kosong jawaban kecuali sudah disiapkan oleh mereka kaidah ushul untuk dicocokan dengan masalah yang muncul.
Itu dia kenapa dalam satu madzhab kita menemukan adanya tingkatan-tingkatan ijtihad dan level ulama yang berbeda-beda dengan kelas mereka masing-masing. Karena memang semua bekerja dalam bidang dan keahlian masing-masing, guna saling melengkapi dan menyempurnakan sebuah “jalan” (madzhab) bagi para awam untuk bisa memahami syariah ini secara komprehensif. Di situlah fungsi madzhab.
Setiap madzhab punya level-level dan tingkatan mujtahid yang berbeda dengan madzhab lain, hanya saja secara global kita bisa mengklasifikasi dalam 2 level mujtahid; [1] Mujtahid Muthlaq, dan [2] mujtahid fi al-Madzhab.
Dari ulama-ulama pada 2 level ini lah kemudian muncul banyak sekali istilah-istilah ushul dalam masing-masing madzhab, serta merumuskan beberapa kaidah ushul dan Fiqih-nya. seperti kaidah ‘am wa al-khash, nash, Zahir, Majaz, Muta’awwil, Muhtamal, naskh mansukh.
Lebih rumit lagi istilah-istilah dalam istinbath hukum, seperti haml al-Muqayyad ‘ala al-Muthlaq, takhriij ushul ala al-furu’, takhrij Furu ala al-Ushul dan lain-lain yang mana para ulama madzhab tersebut bekerja dalam jangka abad (bukan tahunan) untuk sebuah “jalan” bersyariah.
Tingkatan-tingkatan Mujtahid dalam Madzhab
- Muthlaq Muthlaq
[1.1] Mujathid Muthlaq Mustaqil
Beliau adalah 4 Imam yang masyhur; Imam Abu Hanifah al-Bu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau-beliau adalah orang pertama yang merumuskan dan menggariskan jalan madzhab serta memformulasikan kaidah-kaidah ushul (induk) untuk madzhab serta sedikit mambahas masalah Furu’-nya.
[1.2] Mujtahid Muthlaq Muntasib
Mereka yang ada dalam level ini sejatinya orang-orang dengan keilmuan yang sudah mencapai derajat Mujtahid muthlaq setara dengan Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Hanya saja mereka tidak menciptakan kaidah baru yang independen, akan tetapi mereka tetap loyal kepada guru-guru mereka, yaitu para Imam yang empat.
Mereka berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh guru-guru mereka, dan pekerjaan yang paling sangat terlihat jelas hasilnya ialah mereka ini yang menjelaskan kaidah-kaidah yang sudah digariskan oleh guru mereka karena mereka adalah orang-orang terdekat sang Imam. Mereka yang menjadi penghubung antara kecerdasan sang Imam dan keawaman umat Islam terhadap syariah.
Kadang mereka juga berbeda dalam beberapa hal furu’iyyah dengan guru-guru mereka, akan tetapi tetapi ber-intisab kepada madzhab guru mereka. Imam Ya’qub Abu Yusuf dan juga Imam Muhammad al-Syaubani, contoh 2 mujtahid muntasib dari madzhab al-Hanafiyah. Imam Ibn al-Qasim serta Imam Sahnun dari madzahb al-Malikiyah. Imam al-Buwaithi dan juga Imam al-Muzani dari kalangan al-Syafi’iyyah.
- Mujtahid fi al-Madzhab
[2.1] Mujtahid Mukharrij atau Ashhab al-Wujuh
Mereka adalah tingkatan ulama yang hidup setelah masa Mujtahid muntasib. Dalam sejarahnya, mereka inilah yang membuat madzhab menjadi jauh lebih berkembang dan lebih dinamis dibanding sebelumnya.
Mereka tidak membuat kaidah-kaidah baru dalam madzhab, akan tetapi mereka melengkapi apa yang terlewat dari ulama-ulama madzhab sebelumnya. Mereka menyimpulkan hukum beberapa –bahkan banyak- hukum masalah furu’iyyah yang tidak dijelaskan oleh sang Imam dan para murid serta sahabatnya, dengan menggunakan dasar serkat kaidah induk yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya dalam mdazhab tersebut, sambil meneliti dan menyempurnakn redaksi-redaksi kaidah yang –sekiranya- tidak sempurna.
[2.2] Mujtahid Tarjih
Mereka hidup berbarengan atau setelah ulama mujtahid takhrij. Apa yang mereka lakukan tidak kalah penting dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya, walaupun memang tingkatan keilmuan yang mereka miliki tidak seluas apa yang dimiliki oleh ulama sebelumnya.
Bisa dikatakan mereka yang membuat madzhab lebih sistemik dan mudah untuk diklasifikasi. Mereka melakukan verifikasi dalam setiap hukum-hukum yang sudah disimpulkan oleh para pendahulunya, jika memang itu ada 2 atau 3 atau bahkan lebih dalam satu masalah yang sama. Dan adanya 2 sampai lebih pendapat dalam masalah yang sama di satu madzhab adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Dan dari perbedaan-perbedaan itu, mujtahid tarjih-lah yang kemudian mengklasifikasi mana yang sesuai dengan madzhab dan mana pendapat yang bukan resmi pendapat madzhab melainkan ijtihad personal salah satu ulamanya saja.
Mereka yang sering sekali menyebut dalam kitab-kitab mereka setelah membandingkan 2 atau lebih pendapat yang berseberangan dengan istilah; hadza aula (ini pendapat yang lebih utama), hadza ashahhu riwayatin (ini riwayat yang benar), hadza huwa al-madzhab (inilah pendapat madzhab), hadza huwa azhar ‘inda al-madzhab (ini yang lebih jelas dalam madzhab), hadza awfaq lil-Qiyas (ini pendapat yang lebih sesuai dengan qiyas).
Beberapa ulama memasukan tingkatan ulama ini ke tingkatan di atasnya, yakni tingkatan ujtahid Mukharrij, melihat pekerjaan yang dilakukan hampir sama, dan banyak ulama madzhab yang melakukan 2 pekerjaan ini. Akan tetapi, Imam Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul-Fiqh menjelaskan bahwa keduanya berbeda.
[2.3] Mujtahid fatwa
Mereka adalah ulama-ulama yang memang tidak sampai pada level mujtahid muthlaq, dan tidak juga setara dengan mujtahid mukharrij atau mujtahid tarjih dalam madzhab. Akan tetapi mereka adalah seorang faqih yang mumpuni, royal terhadap mafdzhab Imamnya, menghafal dalil dalam setiap masalah dari pendapat-pendapat madzhab tersebut.
Ima Ibn Shalah dalam kitabnya Adabul-Muftiy wa al-Mustaftiy, menyebutkan bahwa ulama level ini tidak sampai pada derajat Mujtahid tarjih atau juga mukhaarij karena punya cacat dalam kemampuan ushul-fiqh madzhabnya.
Untuk Apa Ini Semua?
Lalu menjadi pertanyaan kemudian, sebenarnya untuk apa itu semua? Kenapa harus ada banyak istilah rumit? Kenapa harus banyak orang terlibat?
Jawabannya ialah untuk mengurangi dan memperkecil kemungkinan salah dan keliru dalam memahami syariah serta menyimpulan sebuah hokum dari teks-teks syariah. Karena semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin banyak sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu terus berulang di setiap generasinya.
Apa yang sudah ada di masa ulama sebelumnya, deteliti oleh ulama sesudahnya, disempurnakan, dijelaskan apa yang masih rancu dan ditambahka apa yang mungkin harus ditambahkan. Semakin banyak orang yang bekerja untuk menyempurnakan itu, semakin sedikit kesalahan yang akan timbul.
Layaknya sebuah penemuan teknologi, yang dari tahun ketahun selalu diteliti dan diupgrade ke penemuan yang lebih muthakhir dan yang terpenting ialah mempermudah pengguna serta memberikan kenamanan, dan penting lagi yaitu memperkecil kemungkinan bahaya yang muncul yang bisa saja melukai pengguna.
Jadi ini bukan masalah mempersulit syariah, justru ini memudahkan kita untuk memahami syariah secara komprehensif, dengan melihat kenyataan bahwa banyak dalil baik dari ayat atau hadits yang nyatanya masing-masing bersinggungan dalam kandungan hukumnya.
Dan harus dicamkan baik-baik, bahwa memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk hanya diterjemahkan saja. Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid? Buat apa juga repot-repot menulis kitab syarah (penjelasan) hadits kalau hanya bisa dipahami dengan terjemah?
Melihat kenyataan seperti itu, lalu apakah masih kita akan mengatakan “kita kembali ke al-Quran dan hadits langsung, tanpa harus bermadzhab karena mereka juga manusia yang bisa salah, dan perkataan mereka tidak bisa dijadikan dalil!” masih kah kita berkata demikian?
Kalau madzhab bisa salah, apakah kita terbebas dari kesalahan dalam memamahi syariah denga akal yang sempit ini?
Mana yang lebih mungkin salah, pekerjaan yang dikerjakan oleh satu kelompok besar yang bekerja saling melengkapi, atau mereka yang bekerja sendirian?
Mana yang lebih mungkin salah, para ulama madzhab yang hidupnya jauh lebih dekat ke masa Nabi atau kita yang sudah terpisah ribuan tahun dari zaman Nabi?
Wajib kembali ke al-quran dan sunnah, akan tetapi kita tidak mungkin bisa memahami al-quran dan sunnah tanpa peran sebuah madzhab fiqih!
Wallahu a’lam
Ahmad Zarkasih, Lc