
Petugas dari Kejaksaan Negeri Ambarawa membagikan stiker dan kaos bertemakan seruan anti korupsi di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/9). Dalam aksi yang dilakukan untuk memperingati Hari Anti Koupsi Sedunia tersebut para petugas dari Kejaksaan mengkampanyekan kepada masyarakat untuk menghindari segala tindakan yang berbau korupsi dan mengedepankan kejujuran. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz/15.
BPS: Tingkat Anti-Korupsi Masyarakat Indonesia Menurun
Ilustrasi. foto: validnews.co
MUSTANIR.COM, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan tingkat anti korupsi masyarakat Indonesia menurun pada 2018 dibandingkan tahun lalu. Hal ini tercermin dari Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2018 yang dirilis hari ini.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan IPAK 2018 berada di skala 3,66 dari 5. Angka ini turun 0,05 poin dari tahun sebelumnya sebesar 3,71. Padahal, bila skala yang ditunjukkan semakin dekat angka 5, artinya masyarakat Indonesia semakin anti korupsi.
“Namun, ini tetap mengindikasikan masyarakat Indonesia sudah masuk kalangan anti korupsi, meski belum terlalu anti korupsi,” ucap Ketjuk, sapaan akrabnya, saat konferensi pers di kantornya, Senin (17/9).
Ia menjelaskan penurunan tingkat anti korupsi masyarakat Indonesia terpengaruhi dimensi pengalaman yang indeksnya turun dari 3,6 menjadi 3,57.
“Indeks pengalaman ini cenderung fluktuatif, namun semakin koruptif di 2018. Berbeda dengan dimensi persepsi yang sudah lebih baik, artinya pemahaman masyarakat sudah anti pada korupsi,” jelasnya.
Menurutnya, penurunan dimensi pengalaman tercermin pada pengalaman masyarakat ketika berurusan dengan pelayanan publik dari pemerintah.
Masyarakat juga semakin sedikit yang mau mengurus administrasi secara mandiri, yaitu dari semula sekitar 80,94 persen menjadi 80,14 persen. Hal ini karena masyarakat cenderung menyerahkan urusan administrasi pada perantara atau ‘calo’, di mana persentasenya meningkat dari 19,05 persen menjadi 19,86 persen.
“Persentase masyarakat yang memberikan uang atau barang melebihi ketentuan dan menganggap hal tersebut lumrah (kepada perantara) meningkat dari 18,06 persen menjadi 19,61 persen,” katanya.
Meski demikian, sambungnya, persentase masyarakat yang mersa keberatan membayar uang atau barang melebihi ketentuan juga meningkat dari 25,45 persen menjadi 26,83 persen.
Ia menyontohkan masyarakat kerap menyerahkan urusan administrasi pada perantara untuk hal-hal yang menyangkut administrasi ke kantor desa/kelurahan, RT/RW, peradilan, layanan kesehatan, KUA, PLN, hingga polisi.
Namun, sejatinya masih cukup baik dari sisi persepsi, khususnya pemahaman anti korupsi yang dibangun dari sisi keluarga, publik, dan komunitas. Dari sisi indeks keluarga tercatat sebesar 4,15, indeks publik 4,02, dan indeks komunitas 3,37.
“Hal ini tak terlepas dari faktor pendidikan masyarakat, di mana semakin tinggi pendidikan, maka cenderung semakin anti korupsi,” pungkasnya.
(cnnindonesia.com/18/9/18)