Bukan Sinkretis Tapi Dwitunggal

MUSTANIR.net – Michael Stürmer pernah mengatakan bahwa di negeri yang tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu. Dan mereka tak lain adalah orang-orang yang ingin meneguhkan kekuasaan.

Penguasaan ingatan kolektif sangatlah penting dilakukan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka, ungkapan yang sangat masyhur bahwa sejarah adalah milik penguasa, seolah nyata adanya. Karena pada hakikatnya, kenapa suatu peristiwa sejarah masa lampau direkonstruksi ulang, bukanlah untuk masa lalu itu sendiri, tapi untuk kepentingan saat ini dan masa depan.

Namun, di atas segalanya, sejarah adalah ilmu tentang perubahan, ini yang dikatakan sejarawan Prancis Marc Bloch. Dan itu juga yang terjadi di negeri ini, historiografi atau penulisan sejarah pun berkembang dari masa ke masa. Dalam historiografi tradisional, kita mengenal babad dan hikayat yang ditulis oleh leluhur kita.

Kemudian penulisan sejarah diambil alih oleh pihak kolonial yang merasa berhak untuk menulis sejarah penduduk yang dijajahnya. Ketika negeri ini merdeka, para pemimpin bangsa mencoba untuk menuliskan sejarahnya sendiri dalam historiografi nasional.

Walaupun kita sudah lama merdeka dan mulai berani menulis sejarahnya sendiri, namun dalam perjalanannya masih ditemukan cara-cara pengendalian sejarah oleh penguasa. Kebisuan sejarah kerap dilakukan oleh penguasa, bahwa demi kepentingan penguasa sejarah bisa direkayasa. Kita pernah pada suatu periode di mana untuk kepentingan penguasa, sejarah ditulis.

Padahal sejarah adalah suatu penelitian untuk melihat bagaimana sebuah masyarakat itu bergerak, berubah, dan berkembang, sekaligus mempersoalkan unsur-unsur dinamikanya. Tapi apa lacur, sejarah saat ini dianggap tidak relevan dan tidak dirasakan sebagai kebutuhan untuk mengenal dirinya dan bahkan lebih jauh lagi, menolak untuk mengenal dirinya.

Maka tidak heran, saat ini kita sudah sampai pada sebuah periode di mana kita kehilangan identitas atau minimal tidak paham atas identitas diri. Inilah yang saya rasakan ketika saya mulai menengok tentang identitas kejawaan sekaligus keislaman yang saya sandang.

Dilahirkan sebagai orang Jawa yang beragama Islam, yang acap kali dituduh tidak bisa berislam secara kaffah. Islam-Jawa adalah ajaran sinkretik hasil kawin silang antara Islam-Hindu dan adat lokal bersatu.

Cara berislam manusia Jawa hanya ada di permukaan, seperti itulah tuduhan para orientalis Barat macam Raffles. Bahkan Crawfurd lebih jauh menyebut masyarakat Jawa memiliki kekurangan “kapabilitas mental” untuk memahami Islam, sehingga perlu untuk mencampuradukkan dengan kepercayaan lamanya.

Begitulah dunia saat ini memandang dan mendefinisikan Islam-Jawa. Dari zaman Raffles dan Crawfurd, definisi itu terus direproduksi berulang-ulang oleh para orientalis hingga sarjana-sarjana muslim saat ini. Dari narasi ini, saya menyadari bahwa kejawaan dan keislaman yang saya sandang ternyata saling menegasikan. Islam versus Jawa dalam relasi yang saling berhadap-hadapan.

Dan saya pun mulai bertanya dalam diri, apakah benar yang dinarasikan saat ini bahwa cara berislam Jawa hanya di permukaan? Dan apakah benar kakek buyut kita dahulu tidak mampu memahami islam secara kaffah sehingga harus mencampuradukkannya dengan ajaran sebelum Islam?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mulai menengok jauh ke belakang. Dari penglihatan yang semakin lama semakin terang, saya mulai mendapati bahwa apa yang dituduhkan selama ini tidaklah benar.

Dan ini tentunya melegakan hati dan pikiran saya, jawaban yang selama ini saya cari mulai terjawab. Jawaban ini termaktub dalam karya-karya sastra suluk para pujangga dan bahkan karya sastra raja-raja Jawa. Yang saat ini mulai ditinggalkan oleh orang Jawa sendiri.

Dalam Serat Rerepen misalnya, Pakubuwono X menuliskan hubungan Islam-Jawa dengan sangat baik:

Karsaning Kang Maha Agung. Gunggunging Islam Jawa. Marmane langgeng tunggal loro hiku. Ja hana hingkang tinggal Jawa. Lan ja hana hadoh agami.

(Atas kehendak yang Maha Agung. Agunglah Islam-Jawa. Karena itu lestarikanlah dwitunggal itu. Jangan sampai ada yang semata Jawa. Dan jangan sampai ada yang menjauhi agama.)

Pakubuwono X yang hidup dan berkuasa di saat cengkeraman penjajah Belanda sedang pada puncaknya, ternyata masih memiliki pemahaman islam yang sangat baik. Pakubuwono X mengingatkan masyarakat Jawa untuk selalu menjaga dwitunggal Islam-Jawa tersebut. Lebih jauh beliau mengatakan:

Tinulis sajroning Qur’an. Hantepana dadya laku ban hari.

(Yang tertulis dalam al-Qur’an. Dihayati menjadi perilaku sehari-hari.)

MC Ricklefs, yang tentunya bukan orang Jawa dan bukan orang Islam, juga mengatakan hal yang sama terkait hubungan Islam-Jawa. Ketika akhirnya penduduk Jawa menerima Islam sebagai agama barunya, muncul kesadaran identitas. Bahwa menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim. Itu artinya, bukan menjadi Jawa lagi ketika orang Jawa murtad alias keluar dari islam.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, kenapa manusia Jawa pada saat ini sudah tidak terlihat identitas keislamannya? Kenapa yang selalu tampak hanya kejawaannya?

Dalam pencarian untuk menjawab pertanyaan ini, akhirnya saya menemukan bahwa ada konspirasi besar dari pihak kolonial untuk memisahkan Islam dengan Jawa. Dan ini terjadi pasca Perang Jawa, di mana pihak kolonial begitu serius untuk melakukan rekayasa politik dan kebudayaan, dalam rangka memisahkan Islam dengan Jawa.

Pasca Perang Jawa, dwitunggal itu mulai meredup. Kolonialisme melempengkan jalan bagi proses pembaratan, sekulerisasi dan bahkan kristenisasi penduduk Jawa. Dalam proses inilah diopinikan bahwa untuk menjadi orang Jawa tidak serta merta harus menjadi muslim. Dari proses ini nanti muncul generasi baru Jawa yang benar-benar tersekulerkan.

Singgungannya dengan Teosofi melahirkan generasi kejawen atau kebatinan, yang berprinsip spiritualisme tanpa agama. Dan kekhawatiran Pakubuwono X benar-benar terjadi, manusia Jawa menjadi semata Jawa, dan sebaliknya semakin menjauhi agama (Islam). []

Sumber: Ni’mat al-Azizi

Referensi:
• Irfan Afifi: Saya, Jawa dan Islam
• Asvi Warman Adam: Pelurusan Sejarah Indonesia
• Nancy K Florida: Jawa-Islam di Masa Kolonial

About Author

Categories