Negara Islam Harus Berbentuk Khilafah, Tidak Boleh Republik

MUSTANIR.net – Sepeninggal Nabi Muhammad ﷺ, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membai’at Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu menjadi seorang khalifah. Andaikan khilafah tidak wajib, tentu para sahabat ketika itu akan mengangkat Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu sebagai raja atau kaisar, seperti yang dipraktikkan oleh Romawi dan Persia.

Lagipula, sistem khilafah adalah sistem pemerintahan yang unik, khas, berbeda dengan sistem pemerintahan apapun yang ada di dunia ini. Harus dipahami sejumlah hal sebagai berikut:

Pertama, sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem khilafah. Di dalam sistem khilafah ini, khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-kitab, as-sunnah, dan ijma’ sahabat.

Dalil dari al-kitab di antaranya bahwa Allah subḥānahu wa taʿālā telah berfirman menyeru Rasul ﷺ:

“Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”

(TQS al-Maidah [5]: 48)

“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu.”

(TQS al Maidah [5]: 49)

Seruan Allah subḥānahu wa taʿālā kepada Rasul ﷺ untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat beliau. Mafhûm-nya adalah hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah ﷺ untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan.

Perintah dalam seruan ini
bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas.

Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah ﷺ adalah khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudûd dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib.

Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib.

Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.

Ke dua, sistem pemerintahan Islam (khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undang-undangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Hal ini karena:

Sistem pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan.

Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja.

Ada pun dalam sistem khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah. Sistem kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat.

Hal itu menjadikan raja
berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah, seperti yang ada dalam beberapa sistem kerajaan.

Atau ia menduduki jabatan raja sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa sistem kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim.

Sebaliknya, dalam sistem khilafah, khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja. Khalifah juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang mengistimewakannya—di hadapan pengadilan—dari individu-individu umat.

Khalifah juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem kerajaan. Akan tetapi, khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat.

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem imperium (kekaisaran)._

Sebab, sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari Islam. Berbagai wilayah yang diperintah oleh Islam—meskipun penduduknya berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu pusat—tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang bertolak belakang dengan sistem imperium.

Sebab, sistem imperium tidak menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam imperium. Akan tetapi, sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerintahan pusat imperium; dalam hal pemerintahan, harta, maupun perekonomian.

Metode Islam dalam memerintah adalah menyamakan seluruh orang yang diperintah di seluruh wilayah negara. Islam menolak berbagai sentimen primordial (‘ashbiyât al-jinsiyyah).

Islam memberikan berbagai hak pelayanan dan kewajiban kewajiban kepada non-muslim yang memiliki kewarganegaraan sesuai dengan hukum syariah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim secara adil.

Bahkan lebih dari itu, Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di antara rakyat di hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang muslim. Sistem pemerintahan Islam, dengan adanya kesetaraan ini, jelas berbeda dari imperium.

Dengan sistem demikian, Islam tidak menjadikan berbagai wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah jajahan, bukan sebagai wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula sebagai “sapi perah” yang diperas untuk kepentingan pusat saja. Akan tetapi, Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negara sebagai satu kesatuan meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya
berbeda-beda suku.

Semua wilayah dianggap sebagai bagian integral dari tubuh negara. Seluruh penduduk wilayah memiliki hak seperti penduduk pusat atau wilayah lainnya. Islam menetapkan kekuasaan, sistem, dan peraturan pemerintahan adalah satu untuk semua wilayah.

Sistem pemerintahan Islam bukan sistem federasi.

Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain dengan memiliki kemerdekaan sendiri, dan mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan.

Dalam sistem pemerintahan Islam, Marokes di barat dan Khurasan di timur dinilai sebagaimana provinsi al-Fiyum jika ibu kota negaranya di Kairo. Keuangan seluruh wilayah (provinsi) dianggap sebagai satu-kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya.

Seandainya suatu provinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka provinsi itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan menurut pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan provinsi itu, baik pemasukannya mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.

Sistem pemerintahan Islam bukan sistem republik.

Sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki). Sebab, raja memiliki kedaulatan dan kekuasaan sehingga ia memerintah dan bertindak atas negeri dan penduduk sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Rajalah yang menetapkan undang-undang menurut keinginannya. Lalu datanglah sistem republik, kemudian kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi.

Rakyatlah yang kemudian membuat undang-undang; yang menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela. Lalu pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam sistem republik presidentil dan di tangan kabinet dalam sistem republik parlementer. (Contoh mengenai pemerintahan di tangan kabinet ada di dalam sistem monarki yang kekuasaan pemerintahannya dicabut dari tangan raja; ia hanya menjadi simbol: ia menjabat raja, tetapi tidak memerintah)

Ada pun dalam Islam, kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan haram. Dalam Islam, menjadikan
kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:

“Mereka telah menjadikan para pembesar mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”

(TQS at-Taubah [9]: 31)

Ketika turun ayat di atas, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Sebagaimana penjelasan Rasulullah ﷺ ketika menjelaskan maksud ayat tersebut. Penjelasan Rasul tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram, selain Allah.

Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin Hatim yang berkata:

“Aku pernah datang kepada Nabi ﷺ, sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi ﷺ lalu bersabda, ‘Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!’ Lalu aku mendengar Beliau membaca al-Quran surat at-Taubah ayat 31 (yang artinya): Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Nabi ﷺ kemudian bersabda, ‘Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi, Ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya’.”

(HR at-Tirmidzi)

Pemerintahan dalam Islam juga tidak dengan model kabinet, yang mana setiap departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaran yang terpisah satu sama lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebih sedikit. Keuntungan satu departemen tidak akan ditransfer ke departemen lain kecuali dengan mekanisme yang panjang.

Hal ini mengakibatkan banyaknya hambatan untuk mengatasi berbagai kepentingan rakyat, karena banyaknya intervensi dari beberapa departemen hanya untuk mengurus satu kemaslahatan rakyat saja. Padahal seharusnya berbagai kemaslahatan rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur administrasi saja.

Dalam sistem republik, pemerintahan didistribusikan di antara departemen yang disatukan dalam kabinet yang memegang kekuasaan secara kolektif.

Dalam Islam tidak terdapat departemen yang memiliki kekuasaan pemerintahan secara keseluruhan (menurut bentuk demokrasi). Akan tetapi, khalifah dibaiat oleh umat untuk memerintah mereka menurut kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.

Khalifah berhak menunjuk para mu‘âwin (wazîr at-tafwîdh) untuk membantunya mengemban tanggung jawab kekhilafahan. Mereka adalah para wazîr—dalam makna bahasa—yaitu para pembantu (mu‘âwin) khalifah dalam masalah-masalah yang ditentukan oleh khalifah.

Sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi.

Menurut pengertian hakiki demokrasi, dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum-hukum syariah dengan dalih kebebasan.

Orang-orang kafir memahami betul bahwa kaum muslim tidak akan pernah menerima demokrasi dengan pengertiannya yang hakiki itu. Karena itu, negara-negara kafir penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di negeri-negeri kaum muslim. Mereka berupaya memasukkan demokrasi itu ke tengah-tengah kaum muslim melalui upaya penyesatan (tadhlîl), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa.

Anda bisa melihat, mereka mampu menghancurkan perasaan kaum muslim dengan seruan demokrasi itu, dengan memfokuskan diri pada seruan demokrasi sebagai pemilihan penguasa.

Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang menyesatkan kepada kaum muslim, yakni seakan-akan perkara yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa. Karena negeri-negeri kaum muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman, pembungkaman, dan tindakan represif penguasa diktator, baik
mereka berada dalam sistem yang disebut kerajaan ataupun
republlik.

Sekali lagi kami katakan, karena negeri-negeri Islam mengalami semua kesengsaraan tersebut, maka kaum kafir dengan mudah memasarkan demokrasi di negeri-negeri kaum muslim sebagai aktivitas memilih penguasa. Mereka berupaya menutupi dan menyembunyikan bagian mendasar dari demokrasi itu sendiri, yaitu tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan manusia.

Bahkan sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya adalah para syaikh (guru besar), mengambil tipuan itu; baik dengan niat yang baik maupun buruk.

Jika Anda bertanya kepada mereka tentang demokrasi, mereka menjawab bahwa demokrasi hukumnya boleh dengan anggapan, demokrasi adalah memilih penguasa.

Ada pun mereka yang memiliki niat buruk berupaya menutupi, menyembunyikan, dan menjauhkan pengertian hakiki demokrasi sebagaimana yang ditetapkan oleh penggagas demokrasi itu sendiri. Menurut mereka, demokrasi bermakna: kedaulatan ada di tangan rakyat—yang berwenang membuat hukum sesuai dengan kehendak mereka berdasarkan suara mayoritas,
menghalalkan dan mengharamkan, serta menetapkan status terpuji dan tercela; individu memiliki kebebasan dalam segala perilakunya—bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, bebas meminum khamr, berzina, murtad, serta
mencela dan mencaci hal-hal yang disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan individual.

Inilah hakikat demokrasi. Inilah realita, makna, dan pengertian demokrasi. Lalu bagaimana bisa seorang muslim yang mengimani Islam mengatakan bahwa demokrasi hukumnya boleh atau bahwa demokrasi itu berasal dari Islam?

Ada pun masalah umat memilih penguasa atau memilih khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan di dalam nash-nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada khalifah merupakan syarat mendasar agar seseorang menjadi khalifah.

Sungguh, pemilihan khalifah telah dilaksanakan secara praktis di dalam Islam pada saat seluruh dunia masih hidup dalam kegelapan, kediktatoran, dan kezaliman para raja. Siapa yang mendalami tata cara pemilihan Khulafaur Rasyidin—Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; semoga Allah meridhai mereka—maka ia akan dapat melihat dengan jelas bagaimana dulu telah sempurnanya pembaiatan kepada para khalifah itu oleh ahl al-halli wa al-‘aqdi dan para wakil kaum muslim.

Dengan baiat itu, masing-masing dari mereka menjadi khalifah yang ditaati oleh kaum muslim. Abdurrahman bin Auf, yang kala itu telah diangkat menjadi wakil atas sepengetahuan mereka yang menjadi representasi pendapat kaum muslim (mereka adalah penduduk Madinah), telah berkeliling di tengah-tengah mereka; ia bertanya kapada si anu dan si anu, mendatangi rumah ini dan itu, serta menanyai laki laki dan perempuan untuk melihat siapa di antara para calon khalifah yang ada, yang mereka pilih untuk menduduki jabatan khalifah.

Pada akhirnya, pendapat orang-orang mantap ditujukan epada Utsman bin Affan, lalu dilangsungkanlah baiat secara sempurna kepadanya.

Ringkasnya, demokrasi adalah sistem kufur. Bukan karena demokrasi berbicara tentang pemilihan penguasa, sehingga hal itu bukan masalah yang mendasar. Tetapi perkara yang mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada Allah, Tuhan alam semesta. Padahal Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:

“Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah.”

(TQS Yusuf [10]: 40)

“Demi Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka me nerimanya dengan sepenuhnya.”

(TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Terdapat banyak dalil (selain ayat-ayat di atas, peny.) yang saling mendukung, yang sudah diketahui bersama, yang menyatakan bahwa kewenangan menetapkan hukum adalah milik Allah subḥānahu wa taʿālā. Apalagi demokrasi juga menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa memperhatikan halal dan haram.

Demokrasi juga menetapkan kebebasan beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan untuk murtad dan berpindah-pindah agama tanpa ikatan. Demokrasi juga menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion), bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi kebebasan dalam mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang ada di tengah-tengah umat. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang berani menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari para pakar opini yang sering disebut sebagai para pahlawan.

Atas dasar ini, sistem pemerintahan Islam (khilafah) bukan sistem kerajaan, bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan pula sistem demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Ke tiga, sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah ﷺ di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan daulah Islam di sana.

Struktur negara khilafah adalah struktur yang telah dijalankan oleh khulafaur rasyidin setelah Rasulullah ﷺ wafat.

Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasinya adalah sebagai berikut:

1. Khalifah.
2. Para mu’âwin at-tafwîdh (wuzarâ’ at-tafwîdh).
3. Wuzarâ’ at-tanfîdz.
4. Para wali.
5. Amîr al-jihâd.
6. Keamanan dalam negeri,
7. Urusan luar negeri.
8. Industri.
9. Peradilan.
10. Mashâlih an-nâs (Kemaslahatan umum).
11. Baitul mal.
12. Lembaga informasi.
13. Majelis umat (syûrâ dan muhâsabah). []

Sumber: Ahmad Khozinudin

About Author

Categories