Catatan Kritis untuk Pemerintahan Jokowi
Catatan Kritis untuk Pemerintahan Jokowi
Oleh: Aria Bima (Politisi)
Mustanir.com – Pada pengujung 2015, kita bisa melihat riak politik. Riak itu terjadi sebagai akibat proses Pilpres tahun lalu maupun penyebab lain. Pada akhirnya ditemukannya keseimbangan baru. Situasi politik nasional kini lebih stabil. Energi bangsa juga mulai bisa diarahkan pada agenda-agenda strategis.
Sejalan dengan hal itu, kepemimpinan nasional juga mulai terkonsolidasi. Esensi dari sistem presidensial telah menempatkan presiden sebagai orbitasi kekuasaan mulai terlihat. Presiden boleh dikatakan saat ini telah memegang kendali penuh. Ini modal penting untuk dapat mengarahkan energi bangsa pada level teknokrasi. Secara konkret saat ini berada di tangan birokrasi ke arah pencapaian target-target pembangunan.
Tantangannya kini justru terletak pada lemahnya konsolidasi ide. Sejumlah gagasan kunci presiden seperti Revolusi Mental, Poros Maritim Dunia, membangun dari pinggiran, menghadirkan negara, dan seterusnya masih diinterpretasikan sepihak oleh birokrasi. Akibatnya banyak yang masih terlihat jalan di tempat.
Revolusi mental malah menjadi proyek seperti P4 dulu. Bahkan ada orang yang dulunya punya bisnis motivator seperti Arie Ginanjar sekarang justru berubah haluan menjadi trainer Revolusi Mental untuk PNS dengan dukungan Menpan.
Sementara itu, menguatnya hubungan antara Presiden dengan partai pengusung, terutama PDI Perjuangan, telah menghasilkan sejumlah perkembangan positif. PDI Perjuangan sebagai partai pengusung semakin menunjukkan kiprahnya sebagai partai pendukung pemerintah, bukan seolah-olah seperti partai oposisi.
Membaiknya komunikasi antara Istana Presiden dan PDI Perjuangan juga didukung dengan ditunjuknya mantan Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung Wibowo sebagai Menteri Sekretaris Kabinet. Di luar membaiknya hubungan antara Presiden dan partai pengusung, juga telah terjadi dinamika politik yang cukup signifikan.
Misalnya diselenggarakannya Pilkada serentak, merapatnya PAN ke pemerintah meski tidak keluar dari KMP, dan kiprah Presiden Jokowi dalam pelbagai even internasional. Namun, secara umum, kesan publik terhadap politik sejauh ini masih saja cenderung agak miring.
Publik cenderung masih mempersepsikan politik identik dengan kegaduhan dan korupsi. Akibatnya rakyat cenderung sinis dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Selama ini lebih kinerja Presiden yang tampak menonjol di mata rakyat. Kinerja para menteri hanya sebagian saja yang terlihat menonjol. Misalnya menteri Susi Pudjiastuti, Ignasius Jonan, dan Khofifah Indar Parawansa.
Ditambah para menteri masih sering saling serang secara terbuka di media massa maka timbul persepsi negatif bahwa ada menteri tetapi tidak ada kabinet. Artinya kebersamaan dalam Kabinet Kerja harus diwujudkan secara nyata dengan kepemimpinan yang terarah dan terukur. Hal ini perlu ditegaskan dalam praktek.
Di antara kegaduhan dan blusukan yang menandai proses politik sepanjang 2015, ada kesan Presiden berniat menunjukkan kepemimpinan secara koordinatif dan definitif. Bahwa Kabinet Kerja adalah riil, dalam arti apa yang sudah diputuskan dalam sidang kabinet jangan diperdebatkan lagi antarmenteri di media massa atau media sosial.
Marah Presiden harus dimaknai copot yang harus dicopot, usut yang harus diusut, bangun yang mesti dibangun. Sesuai dengan atribut Kabinet Kerja, yang titik beratnya pada pembangunan infrastruktur dalam rangka pemerataan dan keadilan di seluruh daerah, guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan (sutainable development).
Alhasil, saatnya Presiden dan menteri-menteri bekerja secara nyata, setelah sekian lama mengidentifikasi masalah, mumpung waktunya masih ada. Bekerja bersama, bekerja secara nyata untuk rakyat, itulah kata kuncinya, untuk menyambut tahun baru 2016. (rol/adj)