Debat Khilafah Seru di Semarang, Sang Profesor Duelkan Santri dengan Dosen Fisika

Diskusi Khilafah di Semarang. Andika Maulana (kiri), Prof Suteki (tengah), Choirul Anam (Kanan). foto: dakwahjateng


MUSTANIR.COM, Jateng — Sekitaran pukul 10.00 wib (17/12) ada yang berbeda di area Gedung Pertemuan Magister Ilmu Hukum Undip. Meski hari minggu, beberapa peserta berpakaian rapih berduyun memasuki ruang diskusi.

Adanya diskusi yang diprakarsai Prof. Suteki (Guru Besar Hukum Undip) berhasil merubah pandangan kampus sekuler yang selalu sensitif dan phobia dengan Isu Khilafah menjadi majelis ilmu Islam. Diskusi berjudul Quo Vadis Khilafah dan Demokrasi di NKRI ini menghadirkan dua pembicara yang dimoderatori langsung sang profesor.

Pembicara pertama, Andika Maulana berlatar belakang santri dengan pendidikan terakhirnya jurusan Tafsir Hadis UIN Walisongo berada dipihak kontra Khilafah. Sedangkan Pembicara kedua, Choirul Anam yang berprofesi sebagai dosen fisika diposisi Pro Khilafah. Komposisi yang terbilang unik dan bertolak belakang ini tentu diluar biasanya.

Andika Maulana menyoroti perihal term Khilafah dalam Alqur’an dan Hadis dengan menghadirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang Khilafah yang kesimpulannya bahwa Khilafah tidak memiliki sistem baku dan tidak cocok di Indonesia dengan alasan akan memecah belah. Sontak hal ini dibantah oleh Choirul Anam yang meskipun kesehariannya berkutat dengan teori fisika ternyata begitu akrab dengan dalil dan kitab-kitab para ulama.

Ibarat memukul salah sasaran, Andika mengemukakan dalil yang ternyata setelah diklarifikasi tidak digunakan oleh pihak yang pro. Choirul Anam membantah semua dalil yang dipaparkan oleh Andika.

“Sebenarnya semua dalil yang dipaparkan tadi itu bukan dalil utama yang dipakai oleh kami yang berjuang untuk mendakwahkan Khilafah.” Ungkapnya, diikuti dengan pemaparan dalil yang menjadi rujukannya.

Diakhir pembicaraan, Choirul Anam menjelaskan sebuah analogi menarik tentang para provokator listrik masuk desa. Dimana sesuatu yang baik bisa dianggap buruk dan menjadi pandangan umum masyarakat manakala ada provokator.

“Saat ada kebijakan listrik masuk desa di tengah masyarakat yang tidak faham soal listrik, kemudian muncul provokator yang berbicara bahwa listrik itu menyetrum dan bisa menimbulkan kematian, kalau ada anaknya yang menolong juga akan ikut tersengat dan mati juga, maka otomatis masyarakat ramai-ramai menolak.” Tutupnya. (dakwahjateng.net/17/12/2017)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories