Demam Film Barbie dan Misi di Baliknya

MUSTANIR.net – Dunia film dan hiburan dihebohkan dengan dirilisnya film Barbie, film yang diproduksi oleh Mattel dan Warner Bros sebagai perusahaan besar film dan industri hiburan asal Amerika Serikat. Film yang berkisah tentang boneka perempuan barbie yang hadir sebagai standar kecantikan sejak zaman kemunculannya. Film ini telah berhasil mencuri perhatian masyarakat, termasuk masyarakat tanah air.

Masyarakat berbondong-bondong membeli tiket dan menonton film Barbie di bioskop. Beberapa berangkat dengan menggunakan kostum serba merah muda, agar memenuhi euforia film yang identik dengan warna tersebut. Adanya budaya ikut-ikutan alias FOMO (Fear of Missing Out) yang muncul juga membuat masyarakat menonton film tersebut.

Maka tidak heran, dalam seminggu penayangannya film ini telah meraup untung yang besar. Dikutip Screen Daily, film Barbie ini berhasil meraup USD 158,9 juta atau sekitar Rp 2,39 triliun di seluruh dunia hingga Sabtu (22/7). Angka ini hampir mencapai target sepekan penayangan yang dibidik capai USD 300 juta atau sekitar Rp 4,51 triliun.

Berhasilnya film ini tidak luput dari bagaimana perusahaan menggunakan strategi marketing dengan biaya yang jor-joran. Mengutip Variety (23/7), kampanye pemasaran film yang mengadaptasi kisah mainan anak perempuan paling populer di dunia ini menghabiskan dana hingga US$ 150 juta atau sekitar Rp 2,25 triliun–belum termasuk produksi yang menghabiskan US$ 145 juta Rp 2,18 triliun.

Biaya tersebut digunakan mulai dari game, promosi iklan, hingga fashion.

Sudah menjadi rahasia umum di dunia kapitalis hari ini, bahwa industri film dan hiburan menjadi industri yang menjanjikan, dapat meraup untung berkali-kali lipat.

Masyarakat saat ini seolah sangat membutuhkan hiburan, hingga untuk pengeluaran bulanan mereka rela menyisihkan uang untuk suatu hal bertajuk entertain, hiburan. Hal ini jelas terjadi karena hiburan dianggap sebagai sumber kebahagiaan.

Perlu kita ketahui bahwa film adalah salah satu komponen dari 4F, penjajahan gaya baru untuk menjauhkan umat Islam dari ajarannya. Dalam film Barbie ini rupanya telah disisipi ide-ide feminisme di dalamnya.

Memang pada awal kemunculannya pada tahun 1959, Barbie digambarkan sebagai sosok berkulit putih, berambut blonde, dan tampak sempurna dengan kaki jinjitnya di atas high heels. Hal inilah yang membuat Barbie menimbulkan masalah citra tubuh akibat proporsi badannya yang tidak realistis, namun dijadikan sebagai suatu standar kecantikan.

Menghadapi kritikan tersebut, akhirnya Mattel membuat Barbie menjadi lebih realistis dengan membuat boneka yang lebih baru dan inklusif serta beragam dalam penampilan mereka.

Dalam film ini pun digambarkan bahwa Barbie memiliki berbagai bentuk tubuh dan warna kulit. Gambaran ini seolah menegaskan bahwa setiap perempuan memiliki kecantikannya sendiri dan tak selalu soal fisik yang sempurna.

Padahal, selama ini Barbie dianggap membuat banyak perempuan menerapkan standar kecantikan yang salah sehingga tak menghargai diri sendiri. Film ini dinilai mampu untuk membungkus beragam isu perempuan yang kompleks. Mulai dari pelecehan seksual terhadap perempuan, beratnya tuntutan dunia terhadap perempuan, ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, bahkan film ini sarat akan ‘queer code’ yang erat kaitannya dengan LGBT.

Adanya film ini bukan hanya sebagai alat meraih keuntungan bagi kaum kapitalis, namun juga sebagai metode penyebaran ide-ide feminisme yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Feminisme merupakan bagian dari propaganda menjauhkan kaum muslim dari ideologinya, dari Islam.

Dengan feminisme, kaum muslim digiring untuk mencintai dirinya sendiri, menjadi diri sendiri, yang ternyata akan muncul ide kebebasan dalam dirinya. Sehingga merasa bahwa agama merupakan penjerat dalam beraktivitas. Mereka menganggap tidak bisa bebas berekspresi karena pakaian diatur dalam Islam, merasa bahwa Islam memandang rendah kaum perempuan karena perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, tidak boleh poliandri seperti dibolehkannya laki-laki poligami, dan sebagainya.

Berbeda dari feminisme, Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, dan bahwa Allah secara umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Namun pada beberapa hal, Allah memberikan suatu pengkhususan untuk kaum laki-laki saja dan sebaliknya, pengkhususan untuk kaum perempuan saja. Yang juga patut dicatat, pengkhususan hukum sama sekali tidak bermakna adanya penghinaan salah satu pihak oleh pihak lain, atau adanya dominasi dan penindasan dari satu pihak kepada pihak lain, sebagaimana ilusi feminisme.

Ilusi seperti ini tentu logis bagi feminisme karena feminisme beranggapan bahwa kemuliaan dan kehinaan laki-laki dan perempuan mutlak ditentukan oleh kesetaraan hak dan kewajiban, yang berarti tolok ukurnya adalah kuantitas pelaksanaan suatu aktivitas, bukan kualitasnya.

Ilusi ini timbul karena paham materialistik yang inheren dalam ideologi kapitalisme atau sosialisme. Sedangkan dalam Islam, tolak ukur kemuliaan adalah ketaqwaan yang diukur secara kualitatif, yaitu sebaik apa seseorang itu menjalankan aktivitas dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, bukan diukur secara kuantitatif yang mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan banyak sedikitnya peran atau aktivitas yang dilakukan.

Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya kita menjadikan Islam sebagai standar berpikir, bersikap, maupun beramal. Menjadikan Islam sebagai kepemimpinan dalam berpikir kita. Memahami segala fakta yang muncul di zaman ini dan apa yang ada di baliknya. Mengkaji bagaimana sudut pandang Islam terkait fakta tersebut juga apakah boleh diikuti atau sebaliknya harus kita tinggalkan dan bahkan harus kita lawan.

Jika sudah menjadikan kepemimpinan berpikir dengan mengikuti apa yang disyariatkan Pencipta bagi manusia. Maka islam akan memberikan rahmat bagi seluruh alam. []

Sumber: Saffana Afra

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories