Hari Ini Tepat 70 Tahun Kaum Nasionalis Menghianati Kaum Muslimin Indonesia

soekarno-hatta

Hari Ini Tepat 70 Tahun Kaum Nasionalis Menghianati Kaum Muslimin Indonesia

18 Agustus 1945, Pengkhianatan Pertama RI Setelah Kemerdekaan; Dihapusnya Syariat Islam dalam Piagam Jakarta

Oleh: Artawijaya

Mustanir.com – Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Sayang, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ikhtiar umat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah jalan.

Natsir menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan,”insya Allah umat Islam tidak akan lupa!”

Jakarta, Jalan Pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul. Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap dibacakan. Soekarno berdiri di depan mikropon didampingi Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita. Menyemut di jalan-jalan sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!

Tetapi tahukah Anda? Ada peristiwa penting yang tidak diketahui oleh sebagian orang, terutama generasi bangsa saat ini, bahwa detik-detik jelang pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta.

Pembacaan itu dilakukan oleh Dr Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat, barulah Soekarno membacakan naskah proklamasi. Keterangan ini dikutip oleh Ridwan Saidi dari buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh Sidik Kertapati.

Dan tahukah Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam acara tersebut. Ada dugaan, ketidakhadiran kelompok Kristen itu dikarenakan keberatan mereka terhadap Piagam Jakarta yang diduga bakal dibacakan Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan. Sementara tokoh-tokoh yang hadir ketika itu adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati, Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers).

Kenapa kalangan Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.

Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.

Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.

Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB.

Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.

Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.

Seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan”, Ki Bagus Hadikusumo bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata ”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan, sehingga berbunyi: “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.

Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad Hassan dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal dengan Ki Bagus.

Dalam memoirnya yang berjudul ‘Hidup Adalah Perjuangan’, Kasman menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus:

“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga.

Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna.

Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit! Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.” (Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982).

Kepada Ki Bagus Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa.” KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan yang lainnya.

Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. “Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.

Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat.

“Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.

Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai ‘janji’ yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukan ajaran-ajaran Islam dalam Undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.

”Hanya dengan kepastian dan jaminan 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.

Selain itu soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, di mana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus diminimalisir.

Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat aksi politik yang memaksakan kehendak mereka.

Alkhulasah, dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut. Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:

Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.

Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.

Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan, ”Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini, kemudian di dalam rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya? Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”

Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan Mohammad Natsir juga merasakan keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan seperti ”permainan sulap” dan pat-gulipat politik yang diliputi kabut rahasia.

Sementara Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan. ”Menyambut proklamasi tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.

Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan, ”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta.

Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk.

Pertimbangan beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”

Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti Allah Subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.

Kusuma juga menuliskan keterangan yang berbeda dengan buku-buku sejarah dan pernyataan Kasman Singodimejo yang menyebut KH A Wahid Hasyim ikut dalam lobi untuk menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma mengatakan, saat lobi terjadi KH A Wahid Hasyim sedang berpergian ke Surabaya.

”Keterangan Bung Hatta bahwa pada tanggal 18 Agustus 1945 beliau telah berunding dengan KH A Wahid Hasyim tidak sesuai dengan kenyataan,” tegas Kusuma. Selain itu, tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito juga menyangsikan kehadiran KH A Wahid Hasyim dalam lobi tersebut. (lasdipo/adj)

bersambung…

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories