Drama Panjang Freeport, Hanya Sistem Islam Solusinya

Ilustrasi. Foto: detik

Oleh: Yuliyati Sambas
Member Akademi Menulis Kreatif

Hasrat hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, peribahasa ini demikian tepat diungkapkan pada apa yang terjadi atas diri Muhamad Said Didu. Maksud hati menginginkan adanya perbaikan dengan memberikan kritik dan masukan yang membangun bagi pemerintahan, apalah daya justru ia mendapat ‘hadiah’ berupa pemecatan dari jabatannya sebagai komisaris PT Bukit Asahan (PTBA).

Pada Jumat, 28 Desember 2018 lalu Muhamad Said Didu resmi mendapatkan kabar pemecatan dari jabatannya sebagai komisaris PTBA yang telah ia jalani semenjak tahun 2015. Pemecatannya tersebut dilakukan lima menit sebelum Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham, “Sesuai keputusan RUPSLB PTBA hari ini saya diberhentikan sebagai Komisaris PTBA dengan alasan saya sudah tidak sejalan dengan pemegang saham Dwi Warna (Menteri BUMN),” paparnya dalam akun @saiddidu. (Tribunmedan.com)

Pemecatannya ini diduga kuat adalah buntut dari cuitannya yang cukup pedas diarahkan atas kinerja yang dilakukan oleh pemerintah terkait langkah divestasi Freeport. Diketahui, pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau lebih dikenal sebagai PT Inalum (Persero) pada pekan lalu telah membeli saham Freeport senilai Rp 56 triliun untuk 51,23 persen. Said Didu menuliskan cuitan berkaitan dengan pembelian saham itu termasuk soal lingkungan, pajak hingga pihak pengendali Freeport.

Salah satunya, dia menyebutkan Freeport Mc Moran bisa menghindar dari sanksi lingkungan terkait dengan pengelolaan limbah. Selain itu, dia juga mempertanyakan soal Freeport Mc Moran yang masih menjadi pihak pengendali, walaupun memiliki saham lebih rendah yakni 49 persen. (CNNIndonesia, Sabtu 29 Desember 2018).

“Alasannya sangat jelas -bukan karena kinerja- tapi karena tidak sejalan dengan Menteri. Artinya jika mau jadi pejabat BUMN sekarang harus siap jadi penjilat? Saya tidak punya bakat jadi penjilat,” tulis Said Didu, dikutip CNN Indonesia (Jumat, 28 Desember 2018).

Menjadi simalakama bagi siapapun yang hidup di era kapitalis demokrasi saat ini, jika ia diam pada saat melihat adanya keburukan nampak di depan mata tentu bukan hal yang benar, namun pada saat memilih untuk terbuka dengan memberi kritikan maka ia wajib mempunyai mental siap ‘ditendang’ dari pusara kekuasaan di negeri ini.

Pembungkaman atas Kritik terhadap Kebijakan Rezim

Dalam sistem demokrasi dianut empat pilar kebebasan yakni kebebasan berpendapat, berperilaku, beragama, dan berkepemilikan. Namun demikian hal ini ternyata tidak berlaku jika bersentuhan dengan area kekuasaan dalam hal ini atas rezim yang sedang berkuasa. Bahkan untuk perkara berpendapat dalam rangka perbaikan atas permasalahan yang terjadi sebagai wujud kecintaan akan bangsa pun dibungkam dengan berbagai cara dan dalih. Kasus pencopotan Said Didu adalah contohnya, betapa ia divonis sebagai sosok yang telah begitu berani bercuit mengungkap dan mengkritik langkah yang diambil pemerintah pada saat mendivestasi Freeport.

Berbeda dengan Islam pada saat memandang terkait dengan kritik yang diajukan oleh masyarakat kepada pemimpin yang tengah berkuasa. Adalah sesuatu yang lazim saling mengkritik dan memberi masukan antara pemerintah dengan masyarakat, bahkan dilakukan sebagai wujud saling mengasihi satu dan lainnya. Ada demikian banyak contoh kasus dimana pada masa pemerintahan Islam para memimpin terbiasa mendapat kritikan dan masukan dari rakyatnya. Salah satu contohnya bahwa pada masa kepemimpinan al-Muqtafi li-Amrillah, salah satu khalifah kekhilafahan Bani Abbasiyah, diangkatlah Sultan Mas’ud bin Muhammad bin Malik Syah as-Saljuki yang kepemimpinannya meliputi Baghdad dan wilayah-wilayah Irak lainnya.

Dimasa kepemimpinannya Sultan pernah memberlakukan kebijakan berupa pemungutan pajak perdagangan kepada rakyatnya. Karena kebijakan ini bertentangan dengan syariat Islam dan dirasakan sebagai bentuk kedzaliman seorang penguasa atas rakyat yang dipimpinnya, maka pada saat itu ada seorang ulama yang demikian berani untuk mengkritisi langkah dzalimnya, ia adalah Abu Manshur Muzhafar bin Ardasyir al-Abbadi. Luar biasa langkah yang diambil oleh Sultan, ia menyadari akan kekeliruannya dan segera mencabut peraturan itu. (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, juz XIV hlm. 114-115)

Islam Solusi Tuntas atas Drama Panjang Freeport

Terkait dengan drama panjang Freeport, ini adalah buah dari mekanisme kebebasan dalam berkepemilikan khas sistem sekuler demokrasi kapitalis, dimana memungkinkan semua hal yang ada di muka bumi ini diperjual belikan, dialih kelolakan, bahkan diserahkan kepada pihak manapun termasuk dalam area kekayaan alam yang dimiliki negeri ini yang dikenal demikian subur disetiap bagiannya. Kekayaan bumi yang melimpah diboyong secara besar-besaran oleh para pengusaha asing yang telah mendapatkan restu dari pemerintah yang berkuasa.

Sementara rakyat dalam hal ini sebagai pemilik yang berdaulat atas kekayaan alam yang terkadung di bumi pertiwi dipaksa gigit jari melihat drama culas yang dipertontonkan rezim dzalim saat ini. Bahkan pada saat kekayaan alam tadi akan diambil oleh pemilik sahnya justru diarahkan menggunakan mekanisme jual beli dimana pemerintah wajib mengeluarkan biaya untuk mendivestasikannya. Sungguh kesesatan berpikir yang demikian mendalam.

Islam merupakan akidah yang darinya terpancar seperangkat aturan yang begitu detil dan sempurna. Kesempurnaan aturan Islam meliputi segala lini kehidupan. Dalam memandang masalah kepemilikan Islam membagi ke dalam tiga kriteria, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dan dengan mekanisme seperti ini Islam telah memperlihatkan demikian gemilang sejarah peradaban panjang yang dipenuhi kesejahteraan dan keadilan menaungi setiap diri masyarakat.

Terkait dengan kepemilikan umum Allah SWT sebagai al-Khaliq Yang Maha Mengetahui hakikat baik dan buruk telah memberikan rambu-rambu untuk ditaati. Melalui lisan Rasulullah Muhammad Saw, beliau bersabda:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Daud dan Ahmad)

Dari hadits ini dapat diuraikan bahwa Islam menjadikan padang rumput, air, dan api dimana hal ini berkaitan dengan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat yang jika tidak ada mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Artinya bahwa ketiga hal tersebut adalah fasilits umum yang dibutukan secara bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat luas. Dengan pengelolaan harta kekayaan yang diberikan kepada masing-masing pemilik sahnya berdasarkan aturan yang berasal dari Pemilik Alam Semesta (Allah SWT) ini niscaya drama panjang Freeport yang dipenuhi keculasan dan kedzaliman terhadap rakyat akan segera berakhir.

Tentu hal ini membutuhkan upaya yang luar biasa besar bagi semua komponen ummat untuk besatu padu dalam mendakwahkan di tengah masyarakat akan urgennya pelaksanaan aturan Islam yang sempurna. Dan kesempurnaan aturan Islam ini hanya dapat diterapkan dalam satu institusi yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan diwariskan kepada seluruh ummat sesudahnya yakni Daulah Khilafah Rasyidah. Allahu Akbar.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories