Fenomena LGBT adalah Masalah Bersama
Fenomena LGBT adalah Masalah Bersama
Oleh: Emma Lucya F
SAAT masalah Lesbian, homoseksual, biseksual, transgender (LGBT) menjadi fenomena sangat mencemaskan. Diam-diam penyakit ini telah masuk ke sekolah-sekolah.
Adalah Andini (21 tahun, bukan nama sebenarnya) sudah menjadi bagian dari komunitas LGBT di Kota Hujan, tepatnya di Cisarua. Menurut pengakuannya, cukup banyak pelajar di Kecamatan Cisarua masuk komunitas LGBT yaitu mencapai 35 siswa (Radar Bogor, 18/8/2016).
HAM Memperbanyak Pelaku LGBT
Di Cibubur lebih parah kondisinya. Joandyansah (26) yang merupakan anggota komunitas LGBT di Cibubur menyebut lebih dari 100 orang menjadi pengikutnya. Mereka berdalih atas nama HAM. Ngerinya negeri ini! AND (32) anggota komunitas LGBT yang lain mengaku beberapa homo ternyata sudah memiliki pasangan beda jenis, termasuk istri. Penyebabnya, pertama karena dipengaruhi lingkungan tempat bekerja. Kedua, faktor materi yaitu memiliki paras tampan di atas rata-rata mudah menjadi mangsa komunitas homo.
Komunitas LGBT sudah menyebar hingga ke pelosok-pelosok dan sudah berani terang-terangan menunjukkan identitas (dan kemesraan) mereka di depan khalayak umum. Dengan dalih HAM, mereka leluasa berbuat semaunya. Psikolog Tika Bisono menuturkan bahwa kaum LGBT ini datang secara berkoloni dan didominasi remaja beli berusia tak lebih dari 19 tahun.
Menurutnya, hal ini merupakan bukti lemahnya pengawasan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Ini harus mendapat penanganan tepat. Sebab, tidak sedikit keberadaan LGBT malah menjadi lahan prostitusi. Banyak WTS yang kemudian mempunyai pelanggan wanita lesbi atau gay (Radar Bogor, 18/8). Luar biasa ngeri!
Animo Masyarakat di Indonesia
Sinyo (2014) menyatakan bahwa komunitas LGBT juga mulai menggeliat dan berkembang cukup pesat di Indonesia.
Pergerakan komunitas LGBT di daratan Eropa semakin meluas hingga sampai ke kota-kota besar di Indonesia pada zaman Hindia Belanda.
Pro dan kontra terhadap keberadaan komunitas LGBT pun terjadi. Tidak hanya pada level internasional, dalam area lokal pun terjadi.
Psikolog Tika Bisono menyatakan bahwa homo adalah penyimpangan akal. Menurutnya, meskipun banyak yang mengatakan itu gen seperti layaknya hewan domba, tapi pembedanya adalah manusia diberi akal. Akal yang lurus akan berlandaskan agama (Radar Bogor, 22/8).
Menurut Sinyo (2014) dalam bukunya yang berjudul “Anakku Bertanya tentang LGBT” terdapat beberapa tip atau langkah-langkah untuk menangani fenomena LGBT.
Pertama, meluruskan niat. Seberapa kuat niat untuk berubah akan terlihat pada usaha yang dikerjakan. Niat yang kuat dari orang yang bersangkutan yang akan lebih membawa dampak nyata, bukan paksaan dari orang luar.
Kedua, tobat nasuha. Tobat semurni-murninya kepada Allah atas dosa yang telah diperbuat. Ini yang dapat menjadi pegangan kuat agar selalu ingat bahwa apa yang akan dilakukan harus dikembalikan ke niat semula.
Ketiga, menyalurkan atau menahan hasrat seksual. Penyaluran hasrat seksual dilakukan dengan cara islami yaitu menikah bagi yan sudah mampu. Kalau belum mampu ya berpuasa.
Keempat, mempertimbankan kehormatan diri, keluarga, saudara dan teman. Insyaallah semangat untuk berubah akan terus menyala dan tidak akan padam.
Kelima, sugesti untuk terus percaya diri. Yakin bahwa diri sendiri bisa mengatasi masalah tersebut.
Keenam, mencari lingkungan yang baik. Karena komunitas atau lingkungan akan membawa pengaruh pada pemikiran, gaya hidup termasuk ketertarikan seks.
Ketujuh, sabar dan sadar bahwa Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa melihat dan mengawasi apa yang kita perbuat.
Masalah Kita Bersama
Fenomena LGBT memang seperti gunung es. Apa yang terlihat bisa jadi hanya sebagian kecil dari yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Maka tentu hal ini tidak lagi menjadi permasalahan individu saja atau tugas Lembaga Swadaya Masyarakat saja, namun hal ini menjadi satu dari sekian banyak masalah kita bersama. Hendaknya semua elemen masyarakat bisa saling sinergi. Masyarakat pun harus melek info dan paham tentang semua hal yang berkaitan dengan LGBT, bagaimana pencegahan dan cara mengobatinya.
Dan yang terpenting Negara lah yang harusnya berada di garda terdepan untuk menyelesaikan permasalahan ini sampai tuntas, sampai ke akarnya. Hal ini karena negaralah yang memegang power dengan kebijakan-kebijakan yang memiliki efek luas ke tengah masyarakat. Bukan malah membiarkan atau bahkan memfasilitasi penyebaran LGBT dengan Undang-undang yang berlaku. Na’udzubillahi mindzalika. (SUMBER)