Fuad Bawazier Kritik Ekonomi Era Jokowi Bikin Tekor
Fuad Bawazier. foto: Rmol Jabar
MUSTANIR.COM, Jakarta – Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier menilai keoknya nilai tukar rupiah tak semata-mata disebabkan oleh kondisi perekonomian global.
Pasalnya, menurut Fuad, lebarnya defisit transaksi berjalan Indonesia adalah biang kerok utama dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“Defisit atau ketekoran inilah sumber utama melemahnya rupiah terhadap dolar. Jadi, jangan bingung atau terus menerus menyalahkan ekonomi global dan sebagainya,” ujar Fuad dalam pernyataan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Fuad memperkirakan mata uang Garuda masih akan terus melemah. Pekan ini, kurs rupiah sempat menembus level Rp14.300 per dolar AS.
“Mungkin saja ada waktu-waktu tertentu rupiah seperti menguat, tetapi itu hanya sementara saja dan selanjutnya akan melemah lagi. Jadi kalau ditarik garis lurus atau berjangka relatif panjang, pergerakan rupiah akan terus melemah,” jelasnya.
Menurut Fuad, penguatan rupiah dimungkinkan oleh intervensi BI, misalnya dengan mengerek suku bunga acuan atau operasi moneter di pasar valas.
“Tetapi semua ‘obat kuat’ itu bukannya tidak berisiko. Menaikkan bunga akan memberatkan perekonomian kita dan semakin sulit bersaing dengan negara lain. Intervensi valas akan menggerus cadangan devisa kita yang terus menurun,” imbuh dia.
Berdasarkan data Bank Indonesia, per kuartal I/2018, defisit transaksi berjalan mencapai US$5,5 miliar atau 2,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka itu melebar dibandingkan periode yang sama tahun lalu, US$2,4 miliar atau satu persen dari PDB. Tahun ini, Fuad memperkirakan defisit transaksi berjalan mencapai US$25 miliar.
Defisit transaksi berjalan, lanjut Fuad, terjadi akibat defisit neraca perdagangan yang berasal dari nilai impor yang melampaui ekspor dan defisit neraca transaksi jasa. Berdasarkan data BPS, per Mei 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit mencapai US$1,52 miliar.
Fundamental ekonomi yang lemah tersebut juga diikuti dengan defist Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun ini, pemerintah menargetkan defisit APBN sebesar 2,19 persen
“Jadi, praktis ekonomi Indonesia ini defisit atau tekor dari semua jurusan,” katanya.
Pemerintah telah mencoba menutupi defisit valuta asing (valas) dengan berbagai cara. Salah satunya, menambah utang valuta asing. Namun, menurut Fuad, cara tersebut tidak sehat bahkan bisa menjerumuskan.
“Utang valas pemerintah dan swasta, termasuk BUMN yang konsisten naik tajam juga mulai mengkhawatirkan kreditur pada umumnya bahwa jangan-jangan ke depannya Indonesia akan kesulitan atau gagal bayar utang,” terang dia.
Di lain pihak, pasar juga melihat ketergantungan ekonomi Indonesia pada barang impor terutama pangan dan energi yang mau tidak mau akan membutuhkan valas.
“Mampukah kita menyetop impor gandum yang secara de facto sudah menjadi pengganti pangan beras? Saya kira, rakyat akan kesulitan atau bahkan “kelaparan”,” ujarnya.
Respons Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pembahasan APBN diklaim masih berjalan dengan baik, meski nilai tukar rupiah yang terus tersungkur terhadap dolar AS. Bahkan menurutnya, depresiasi nilai tukar berkesempatan menambah pundi penerimaan negara.
Dia menuturkan depresiasi rupiah disertai kenaikan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) tentu mempertebal Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas.
Jika penerimaan naik, maka ada peluang defisit APBN bisa ditekan dari target saat ini yaitu 2,19 persen terhadap produk Domestik Bruto (PDB).
“Memang, secara defisit ini sudah disetujui 2,19 persen dari PDB, tapi kalau harga minyak naik dan rupiah ini bikin PNBP meningkat. Kalau murni dari situ, malah defisit bisa mengecil. Jadi kalau disebut bahwa APBN bisa jalan, buktinya masih bisa jalan,” terang Sri Mulyani di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (2/7).
Dengan defisit yang masih sesuai target, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menambah utang baru di luar target yang ditetapkan di dalam APBN. Termasuk tidak menambah utang dalam bentuk valuta asing.
“Ini berdasarkan Undang-Undang (UU) APBN dan ini info publik,” jelasnya.
Depresiasi rupiah sudah semakin akut sejak awal tahun ini. Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat, rupiah telah terdepresiasi 5,8 persen sejak awal tahun.
Kebijakan bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve yang berencana meningkatkan suku bunga acuan The Federal Reserve lebih dari tiga kali tahun ini dianggap menjadi biang keladinya.
Meski demikian, pemerintah tidak mau menyalahkan kebijakan tersebut. Ia menganalogikan kondisi ini seperti gempa bumi yang besar, namun tentu tidak akan makan korban jiwa asal diantisipasi dengan benar.
Makanya, dalam kebijakan anggaran ke depan, pemerintah akan melakukan relaksasi fiskal bagi pelaku usaha demi mengimbangi kebijakan stabilisasi yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
“Supaya tidak memberikan dampak yang besar, kami akan lakukan relaksasi atau support. Dengan demikian, kami akan melakukan adjustment terhadap shock ini, namun dampak dalam negeri bisa diminimalisasi,” jelas dia.
Beberapa waktu lalu, Sri Mulyani pernah menyatakan pelemahan rupiah merupakan hal wajar dan merupakan penyesuaian nilai tukar yang normal.
“Jadi kami lihat dulu, selama ini (pergerakan nilai tukar) mencerminkan suatu fundamental dan kekuatan ekonomi yang tidak berubah atau bergerak jauh dari faktor positifnya, ya kami akan lihat ini sebagai adjusment yang normal,” tutur Sri Mulyani.
Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menuding Sri Mulyani sengaja membiarkan rupiah anjlok ke angka Rp14.400.
“Saya kira, Bu Sri Mulyani mempercepat Pak Jokowi jatuh kali ya,” tambah Ferry.
Ferry menyebut kondisi sekarang lebih parah ketimbang krisis moneter di 1998. Pasalnya saat itu rupiah anjlok, tapi usaha di akar rumput masih kuat. Sementara, rupiah anjlok disertai hancurnya usaha UMKM sehingga tinggal tunggu waktu soal krisis moneter.
(cnnindonesia.com/3/7/18)